23 September 2009
Strategi Pembangunan Zakat Nasional
Salah satu upaya mendasar dan fundamental
untuk mengentaskan atau memperkecil masalah kemiskinan adalah dengan cara
mengoptimalkan pelaksanaan zakat. Demikian pendapat Dr Yusuf Qardlawi, salah
seorang ulama dan penulis yang sangat produktif, dalam sebuah bukunya yang
berjudul Musykilatul Faqri wa Kaifa 'Aalajaha al-Islam (Problematika
Kefakiran/Kemiskinan dan Bagaimana Solusinya menurut Islam).
Hal itu dikarenakan zakat adalah sumber
dana yang tidak akan pernah kering dan habis. Maksudnya, selama umat Islam
memiliki kesadaran untuk berzakat dan selama dana zakat tersebut mampu dikelola
dengan baik, maka dana zakat akan selalu ada serta bermanfaat untuk kepentingan
dan kemaslahatan masyarakat.
Kita bisa melihat bahwa pertumbuhan
pengelolaan zakat di Indonesia sangat menggembirakan, terutama dalam 15 tahun
terakhir. Jika sebelum tahun 1990-an pengelolaan zakat masih bersifat terbatas,
tradisional, dan individual, maka sesudah itu, pengelolaan zakat memasuki era
baru. Unsur-unsur profesionalisme dan manajemen modern mulai coba diterapkan.
Salah satu indikatornya adalah bermunculannya badan-badan dan lembaga-lembaga
amil zakat baru yang menggunakan pendekatan-pendekatan baru --yang berbeda
dengan sebelumnya.
Implikasinya, amil kini telah tumbuh
menjadi profesi baru. Amil tidak lagi dipandang sebagai profesi sambilan, yang
dikerjakan secara asal-asalan, dan dengan tenaga dan waktu sisa. Saat ini, amil
memerlukan konsentrasi dan aktivitas kerja secara full time. Amil juga tidak
lagi menjadi aktivitas yang dilaksanakan menjelang Idul Fitri saja, melainkan
sebuah profesi yang dikerjakan sepanjang waktu.
Memasuki pintu negara
Pada akhir dekade 90-an, tepatnya pada
tahun 1999, pengelolaan zakat mulai memasuki level negara, setelah sebelumnya
hanya berkutat pada tataran masyarakat. Hal tersebut ditandai dengan
disahkannya Undang-undang (UU) No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. UU inilah
yang menjadi landasan legal formal pelaksanaan zakat di Indonesia, walaupun di dalam
pasal-pasalnya masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan yang harus
diperbaiki dan disempurnakan.
Sebagai konsekuensi UU tersebut, pemerintah
(tingkat pusat sampai daerah) wajib memfasilitasi terbentuknya lembaga
pengelola zakat. Yaitu Badan Amil Zakat Nasional(BAZNAS) untuk tingkat pusat
dan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) untuk tingkat daerah. BAZNAS dan
BAZDA-BAZDA bekerja sama dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ), baik yang bersifat
nasional maupun daerah. Sehingga diharapkan bisa terbangun sebuah sistem zakat
nasional yang baku, yang bisa diaplikasikan oleh semua pengelola zakat.
Pemerintah pusat maupun daerah diharapkan memberikan perhatian penuh terhadap
lembaga zakat ini, sehingga bisa bekerja secara profesional dan transparan.
Dengan cara ini diharapkan problematika kemiskinan yang terjadi di negara kita
secara bertahap dapat direduksi.
Strategi pokok
Secara nasional, zakat memiliki potensi
menggembirakan. Menurut sebuah studi, potensinya mencapai angka Rp 6-7 triliun
setiap tahun. Dalam studi lain, PIRAC menemukan potensi zakat mencapai Rp 4,3
triliun. Namun dalam riset terbaru yang dilakukan oleh Pusat Budaya dan Bahasa
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, potensi tersebut mencapai angka Rp 19,3
triliun. Menurut analisa penulis, potensi zakat saat ini memang mencapai angka
Rp 19-20 triliun. Idealnya, potensi zakat itu mestinya minimal 2,5 persen dari
total GDP negara.
Tentu saja, data-data tersebut memberikan
gambaran kepada kita bahwa zakat bila dikelola dengan baik bisa menjadi sumber
kekuatan dalam memberdayakan kondisi perekonomian negara dan masyarakat. Untuk
itu, dibutuhkan dukungan kuat dari seluruh pihak, agar pengelolaan zakat ini
dapat terlaksana dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis ingin menguraikan
beberapa strategi pokok pembangunan zakat ke depan. Paling tidak, ada empat
strategi yang harus dikembangkan. Pertama, meningkatkan sosialisasi kepada
seluruh komponen bangsa.
Yang menjadi target utama sosialisasi ini
adalah kalangan pejabat, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, ulama,
akademisi, praktisi bisnis, dan masyarakat umum secara keseluruhan. Tujuannya
agar elemen-elemen tersebut memiliki kesadaran kolektif akan urgensi dan
pentingnya berzakat, terutama berzakat melalui lembaga yang amanah, baik BAZ
maupun LAZ. Para pejabat, misalnya, diharapkan mengeluarkan kebijakan yang
senantiasa memiliki orientasi keberpihakan nyata terhadap pemungutan dan
pendistribusian zakat. Sehingga berbagai hambatan regulasi dan aturan dapat
diminimalisasi.
Kalangan ulama pun diharapkan menjadi agen
pemberi informasi zakat yang tepat kepada masyarakat. Hendaknya masyarakat
dibimbing untuk berzakat melalui BAZ dan LAZ yang dapat dipercaya. Dan masih
banyak contoh lain. Pendeknya, semua pihak harus memiliki kesadaran bahwa
berzakat melalui lembaga memberikan keuntungan-keuntungan. Antara lain menjamin
efektivitas, efisiensi, dan ketepatan sasaran dalam pendayagunaan zakat. Kedua,
penguatan lembaga-lembaga zakat yang ada, baik BAZ maupun LAZ. Ada beberapa
aspek yang perlu diperkuat. Antara lain sumber daya manusia (SDM), program
kerja, standardisasi mekanisme kerja dan auditing, penguatan database muzakki
dan mustahik, serta regulasi yang mendukung perkembangan BAZ dan LAZ. BAZNAS
sebagai lembaga zakat di tingkat nasional harus menjadi akselerator proses
penguatan ini.
SDM yang ada haruslah memiliki komitmen
kuat. Antara lain diindikasikan kesediannya mencurahkan waktu secara khusus
sebagai amil, mengembangkan kemampuan mengelola dan mendayagunakan zakat, serta
senantiasa mengedepankan prinsip-prinsip kejujuran, profesionalisme, dan
transparansi dalam setiap aktivitasnya. Kemudian pelatihan-pelatihan yang
mendorong pada peningkatan skill dan keterampilan perlu diperbanyak
kuantitasnya, serta ditingkatkan kualitasnya.
Sementara itu, setiap BAZ dan LAZ harus
memiliki program kerja yang jelas dan terukur. Sasaran-sasaran program harus
dapat didefinisikan secara jelas dan gamblang. Kemudian perlu juga dibangun
standar mekanisme kerja BAZ/LAZ, yang didukung mekanisme audit yang transparan,
sebagai bukti public accountability BAZ/LAZ.
Memang, penulis akui, sampai saat ini belum
ada standar yang bersifat nasional. Karena itu, diharapkan BAZNAS periode
sekarang mampu merumuskan standardisasi ini, yang tentu saja dengan dukungan
dan bantuan pihak-pihak lain, termasuk masukan-masukan dari BAZ dan LAZ.
Ketiga, mengefektifkan pendayagunaan zakat. Dalam langkah ini, ada dua
indikator utama yang menentukan apakah dana zakat telah didayagunakan secara
tepat atau tidak. Indikator pertama adalah shariah-compliance, kesesuaian
dengan nilai-nilai syariat Islam. Ini sangat penting karena zakat adalah ibadah
yang memiliki rambu-rambu syariah jelas. Indikator kedua adalah ketepatan
sasaran berdasarkan skala prioritas. Hal ini sangat penting agar dana zakat
tidak jatuh kepada orang-orang yang tidak berhak menerima.
Keempat, mengembangkan sinergi antar BAZ
dan LAZ yang ada, termasuk dengan komponen masyarakat lainnya, seperti lembaga
keuangan syariah. Sinergisitas adalah kunci keberhasilan pembangunan zakat di
Indonesia. Sebagai contoh, penguatan database muzakki dan mustahik tidak akan
mungkin tercapai bila tidak ada sinergi antarlembaga pengelola zakat. Hingga
saat ini, kita belum memiliki data yang akurat mengenai jumlah muzakki dan
mustahik di Indonesia, termasuk peta persebarannya. Untuk itu, masalah
ketersediaan database ini menjadi sesuatu yang urgen.
Penulis berharap, melalui sinergi yang
terjalin dengan kuat, di mana di dalamnya terdapat unsur saling tsiqoh dan
percaya yang kuat, maka pembangunan zakat secara nasional akan dapat berjalan
dengan baik. Wallahu a'lam.
KH Dr Didin Hafidhuddin, Ketua Umum Badan
Amil Zakat Nasional
Sumber: Republika Online
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.