BERITA HEBOH TERDAHSYAT ABAD INI :

AKUNTANSI ZAKAT SEBUAH KEHARUSAN



AKUNTANSI ZAKAT SEBUAH KEHARUSAN
July 29, 2010 isa7695 Leave a comment Go to comments

i

Rate This

Quantcast


Sejarah akuntansi syariah (baca akuntansi zakat), sebenarnya
sudah lama lahir. Jika diruntut, sejak ada perintah untuk
membayar zakat itu. Adanya perintah membayar zakat
itulah mendorong pemerintah untuk membuat laporan
keuangan secara periodik Baitul Maal, sementara para
pedagang muslim atau produsen muslim wajib menghitung hartanya
(assetnya) apakah sudah sesuai dengan nishabnya (batas harta yang
harus dibayarkan).
Penghitungan dengan sistem akuntan syariah itu di Indonesia belum
terbiasa. Maklum, Bank Mualamat saja, sebagai Bank Syariah Islam
pertama di Indonesia baru berdiri pada awal Nopember 1991. Itu
artinya akuntan syariah baru akan lahir setelah puluhan tahun bank itu
berdiri. Tetapi fenomena munculnya transaksi syariah, usaha syariah
di kalangan pebisnis Indonesia, kini telah mendorong lahirnya para
akuntan syariah untuk lebih mendalami masalah audit di bidang zakat
dan bentuk perdagangan lainnya secara syariah Islam.
Itu sebabnya, penyusunan dan penyempurnaan akuntansi zakat
oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) merupakan sebuah keharusan.
Mengapa? ”Karena ini sebuah keniscayaan sejarah untuk pelaksanaan
dan pengelolaan zakat sesuai dengan kaedah syariah Islam dan sejalan
dengan adanya konsep GCG/ good governance,” ujar Dr. Setiawan
Budi Utomo, Ketua Tim Kerja Akuntansi Zakat IAI, kepada Muh.
Yusuf, wartawan Akuntan Indonesia, di Jakarta, belum lama ini.
Menurut Setiawan, posisi amilin (pengelola zakat) yang diformalkan
dalam bentuk LAZ maupun BAZ merupakan lembaga kepercayaan
publik yang sensitif pada isu public trust (kepercayaan publik) dalam
penghimpunan dan penyaluran dana zakat.
Berikut petikan wawancara itu.
Apa latar belakang penyusunan Standar
Akuntansi Syariah dan Zakat?
UU Zakat mewajibkan kepada Lembaga Amil Zakat (LAZ) maupun
Badan Amil Zakat (BAZ) untuk diaudit secara independen atas laporan
keuangannya. Sayangnya, sampai kini, di Indonesia, belum ada standar
akuntansi untuk zakat yang dikeluarkan oleh standard setter akuntansi
syariah, IAI. Yang ada, baru pedoman akuntansi yang dibuat secara
mandiri oleh masing-masing institusi dan lembaga.
Akibatnya, banyak ditemukan kesulitan dan dispute oleh para auditor
dari Kantor Akuntan Publik (KAP) dalam melaksanakan tugasnya di
lapangan mengingat ketiadaan standar akuntasi zakat itu, disamping
adanya beragam interpretasi, pedoman akuntansi yang digunakan
serta beragamnya pendapat fikih (ketentuan hukum syariah) seputar
pelaksanaan dan pengelolaan zakat.
Hal itu, sama persoalannya dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS),
baik bank maupun nonbank serta Lembaga Bisnis Syariah (LBS). Usaha
ini memerlukan standar akuntasi untuk setiap transaksinya, sebab LKS
dan LBS memilki akuntabilitas dan komitmen untuk melaksanakan
kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang pada utamanya
adalah transaksinya secara syariah.
Konteksnya dengan zakat?
Zakat merupakan salah satu bentuk transaksi syariah dalam domain
sosial sehingga perlu pengaturan sendiri perlakuan akuntansinya yang
bersifat standar sebagaiamana dalam transaksi komersial dikenal
mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, salam, istishna’, dsb.
Dengan demikian, penyusunan akuntansi zakat oleh IAI merupakan
sebuah kaharusan syariah zakat sekaligus sebuah meniscayaan sejarah
untuk pelaksanaan dan pengelolaan zakat yang sesuai dengan kaedah
syariah. Ini juga sekaligus untuk memenuhi tuntutan dan ketentuan
good governance yang meliputi transparency, responsibility, accountability,
fairness, dan independency.
Posisi amilin (pengelola zakat) yang diformalkan dalam bentuk LAZ
maupun BAZ merupakan lembaga kepercayaan publik yang sensitif
pada isu public trust (kepercayaan publik) dalam penghimpunan dan
penyaluran dana-dana zakat. Jadi, Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan No. 109 yaitu mengenai Akuntansi Zakat, Infak dan
Sedekah ini untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian dan
pengungkapan transaksi zakat, infak, dan sedekah.
Lalu, apa saja cakupan pengaturan dalam
standar Akuntansi zakat itu?
Ruang lingkup dan cakupan pengaturan standar akuntansi zakat
pada akhirnya akan diperuntukkan bagi entitas yang menerima dan
menyalurkan zakat, infak dan sedekah (amil); Entitas yang membayar
zakat (muzakki); dan Entitas yang menerima zakat (mustahiq).
Srandar ini tidak berlaku untuk entitas yang melakukan aktivitas
penerimaan dan penyaluran zakat tetapi bukan sebagai kegiatan
utamanya. Entitas itu harus mengikuti ketentuan dalam PSAK 101
mengenai Penyajian Laporan Keuangan Syariah.
Standar ini juga menegaskan, entitas yang menerima dan menyalurkan
zakat, infak, dan sedekah yang disebut entitas pengelola zakat, infak,
dan sedekah diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan, baik
yang dimiliki oleh pemerintah maupun nonpemerintah.
Dr. Setiawan Budi Utomo
Ketua Tim Kerja Akuntansi Zakat
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
Akuntansi Zakat
Sebua h Keharusan
edisi ke2 new size.indd 14 5/6/2008 3:08:36 PM
A K U N T A N I N D O N E S I A
m i t r a d a l a m p e r u b a h a n
15 ai
Laporan Utama
Standar akuntasi ini tidak hanya mengatur transaksi zakat saja
melainkan infak/sedekah, maka akan diatur juga dalam penjelasannya
mengenai Zakat yaitu sebagian dari harta yang wajib dikeluarkan
oleh wajib zakat (muzakki) untuk diserahkan kepada penerima zakat
(mustahiq). Di samping itu juga dijelaskan mengenai infak/sedekah
yaitu sebagian harta yang tidak wajib dikeluarkan oleh pemiliknya,
yang diserahkan yang peruntukannya dapat tertentu (muqayyadah)
atau tidak tertentu (mutlaqah).
Agar memenuhi syarat dan rukun zakat, diatur pula ketentuan
mengenai nisab yaitu batas minimum atas kepemilikan sejumlah harta
yang wajib dikeluarkan zakatnya dalam satu tahun. Juga penerima zakat
(mustahiq) adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat.
Demikian pula menangani wajib zakat (muzakki) adalah orang atau
badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan
zakat.
Kini lembaga amil zakat sudah
berkembang sejauh mana?
Pengelolaan zakat di Indonesia sebelum tahun 90-an memiliki beberapa
ciri khas, seperti, diberikan langsung oleh muzakki. Jika melalui amil
zakat hanya terbatas pada zakat fitrah dan zakat yang diberikan pada
umumnya hanya bersifat konsumtif untuk keperluan sesaat. Jenis
zakat hanya terbatas pada harta-harta yang secara eksplisit (manthuq)
dikemukakan secara rinci dalam Al-Qur’an maupun hadits Nabi, yaitu
emas dan perak, pertanian (terbatas pada tanaman yang menghasilkan
makanan pokok), peternakan (terbatas pada sapi, kambing/domba),
perdagangan (terbatas pada komoditas yang berbentuk barang), dan
rikaz (harta temuan).
Kondisi itu diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain, belum
tumbuhnya lembaga pemungut zakat, rendahnya kepercayaan
masyarakat pada amil zakat dan profesi amil zakat masih dianggap
profesi sambilan.
Sedangkan perkembangan zakat setelah tahun 90-an sampai kini
terutama, pengelolaan zakat telah diatur melalui UU No. 38/1999
tentang Pengelolaan Zakat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA)
No. 581/ 1999 dan Keputusan Dirjend Bimbingan
Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 tahun
2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Tujuan pengelolaan zakat, antara lain, meningkatkan
pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat,
meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan
dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat
dan keadilan sosial, serta Meningkatkan hasil guna
dan daya guna zakat.
UU itu juga mengatur keorganisasian pengelola
zakat yang terdiri atas dua jenis, yaitu Badan Amil
Zakat dan Lembaga Amil Zakat.
Setiap pengelola yang karena kelalaiannya tidak
mencatat atau mencatat dengan tidak benar tentang
zakat, infaq, dan hibah, diancam dengan hukuman
kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyakbanyaknya
Rp. 30 juta. Sanksi ini agar BAZ dan LAZ lebih baik dalam
melakukan pengelola zakat.
Pengumpulan zakat, meski masih jauh dengan potensinya, bagi
kalangan potensi zakat di Indonesia lebih dari Rp 7 triliun setiap
tahun. Dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan yang cukup berarti.
Bulan Ramadhan 1425 H, BAZ dan LAZ Nasional menghimpun zakat
sebesar Rp 35 miliar, tahun berikiutnya sebesar Rp 47,2 miliar.
Demikian pula pendayagunaan zakat sudah didasarkan pada
program-program yang disusun oleh BAZ dan LAZ maupun oleh
program sinergi seperti Perbankan Syariah Peduli Umat (PSPU) yang
dikoordinasikan oleh bank Indonesia bekerjasama dengan BAZNAS
dan perbankan syariah dengan memperhatikan kondisi mustahiq dan
skala prioritas, seperti pemberian beasiswa dari tingkat SD sampai
perguruan tinggi, pemanfaatan dana zakat bersifat produktif, dan
mendirikan rumah sakit gratis untuk kaum dhu’afa.
Sejak tahun 90-an kalangan pers banyak
andil dalam pengelolaan zakat, begitu juga
kalangan ormas Islam.
Bagaimana perkembangannya?
Ya. Pengelolaan zakat nasional memasuki sejarah baru pada tahun
1993, dengan berdirinya Dompet Dhuafa Republika. Lembaga ini
merupakan lembaga pengelola zakat yang didirikan para jurnalis dan
didukung oleh koran berbasis Islam, kemudian menjadi organisasi
pengelola zakat yang independen dan mandiri.
Dompet Dhuafa Republika dikenal oleh publik sebagai lembaga
zakat yang mempelopori model pengelolaan zakat secara profesional.
Kepercayaan masyarakat ditunjukkan dengan terus meningkatnya
dana sosial yang dihimpun dalam bentuk zakat, infak/sedekah, wakaf,
dana kemanusiaan dan dana kurban.
Pada periode ini kemunculan organisasi pengelola zakat yang
dibentuk masyarakat semakin banyak, baik dalam lingkup organisasi
keislaman, maupun perusahaan. Banyaknya organisasi pengelola
zakat mendorong interaksi dan komunikasi antar
pengelola zakat. Salah satu peran yang dimainkan
Dompet Dhuafa Republika pada kondisi ini,
berinsiatif untuk membentuk Asosiasi organisasi
pengelola Zakat “Forum Zakat” (disingkat FOZ)
pada 7 Juli 1997. FOZ dideklarasikan 11 lembaga,
seperti Dompet Dhuafa Republika, Bank Bumi
Daya, dan Pertamina Fungsi Forum itu sebagai
forum konsultatif dan kordinatif antar pengelola
zakat, dan mensinergikan kekuatan antar pengelola
zakat, baik yang dibentuk pemerintah, maupun
masyarakat.
Seiring dengan kiprah lembaga-lembaga pengelola
zakat, khususnya melalui Forum Zakat, pemerintah
juga semakin menyadari, sudah saatnya dibuat
edisi ke2 new size.indd 15 5/6/2008 3:08:38 PM
A K U N T A N I N D O N E S I A
m i t r a d a l a m p e r u b a h a n ai 16
Laporan Utama
instrumen regulasi zakat di Indonesia. Melalui komitmen bersama
berbagai pihak di Indonesia termasuk legislatif, maka pada akhir
pemerintahan Presiden BJ. Habibie disahkan UU tentang Pengelolaan
Zakat pada 23 September 1999.
Dampak dari itu, berdirinya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
sebagai lembaga pengelola zakat tingkat nasional yang dinisbahkan
dapat melakukan peran kordinatif di antara lembaga pengelola zakat.
Sayangnya, fungsi BAZNAS tampaknya
belum berjalan secara optimal.
Fungsi kordinatif BAZNAS sesungguhnya diperlukan dan menentukan
kerjasama pelaku zakat di Indonesia. Namun dalam perkembangannya
peran ini masih memerlukan berbagai prasyarat pendukung sehingga
bisa mencapai kondisi yang optimal.
Kepengurusan BAZNAS dilahirkan melalui Surat Keputusan Presiden,
akan tetapi perannya masih terbatas. Kondisi ini masih terjadi karena
masih belum jelasnya posisi dan kedudukan BAZNAS; apakah
BAZNAS merupakan badan negara non-departemen setingkat
kementerian negara ataukah BAZNAS lembaga dalam naungan dan
di bawah pembinaan Departemen Agama.
Juga karena BAZNAS yang diharapkan memiliki peran besar dalam
pengelolaan zakat secara nasional, akan tetapi belum mendapatkan
dukungan dana dari APBN yang memadai. Pada masa depan hal ini
harus semakin diperjelas dan ditegaskan.
Pada Oktober 2006 sudah berdiri satu BAZ tingkat Nasional
(BAZNAS), 32 BAZ tingkat provinsi dan tidak kurang dari 330 BAZ
Kabupaten/Kota. Sedangkan LAZ yang sudah dikukuhkan berjumlah
18 LAZNAS.
Semakin banyaknya organisasi pengelola zakat di Indonesia
menciptakan suasana pengamalan zakat yang bergairah dan semarak.
Bagaimana hubungan zakat dan pajak?
UU Pengelolaan Zakat menegaskan berlakunya pembayaran zakat
sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Meskipun belum memenuhi
harapan utama umat Islam, yaitu zakat sebagai pengurang pajak, akan
tetapi akomodasi pembayaran zakat sebagai pengurang penghasilan
kena pajak merupakan bentuk motivasi dan pengakuan sehingga umat
diharapkan lebih terdorong untuk membayarkan zakatnya melalui
lembaga pengelola zakat formal.
Hanya saja, pelaksanaan zakat sebagai pengurang penghasilan
kena pajak, masih menghadapi kendala, antara lain, masih banyak
masyarakat muslim selaku wajib pajak belum mengetahui tentang
adanya peraturan perundang-undangan ini, sebagian aparat pajak
yang juga belum mengetahui bagaimanakah prosedur pelaksanaan
zakat sebagai pengurang pajak dan penggunaan Bukti Setor Zakat dan
pengaturan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWZ) yang belum merata.
Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta
tahun 2003 – 2004 yang meneliti potensi dan sosial umat Islam.
Dalam riset terhadap 1500 keluarga muslim yang dipilih secara acak
(probability sampling) dan 300 organisasi filantropi (LAZIS, BAZIS dan
kepanitiaan masjid) yang seluruh sampelnya dipilih dengan metoda
purposif (non probability sampling).
Riset mencatat, potensi dana umat dari sektor zakat, infak dan sedekah
yang mungkin dapat digali mencapai Rp19.3 triliun per tahun. Angka
ini diperoleh dari rata-rata sumbangan keluarga muslim per tahun
sebesar Rp 409.267 dalam bentuk tunai (cash) dan Rp 148.200 dalam
bentuk barang (in kind). Jika jumlah rata-rata sumbangan dikalikan
dengan jumlah keluarga muslim, sebesar 34,5 juta (data BPS tahun
2000), maka total dana yang dapat dikumpulkan Rp 14,2 triliun.
Sementara total sumbangan dalam bentuk barang sebesar Rp 5,1
triliun.
Kembali ke soal pembahasan aturan
akuntansi zakat.
Apa yang menjadi pro kontra?
Dalam perjalanan pembahasan akuntansi zakat banyak persoalan
yang menjadi fokus perdebatan di kalangan anggota tim kerja, yang
memerlukan diskusi lebih lanjut diantaranya, zakat atas perkumpulan
harta (entitas), Cara perhitungan zakat untuk wajib zakat entitas
(perusahaan).
Dari perspektif akuntansi, zakat yang dihitung berdasarkan dua
pendekatan itu mempunyai beberapa aspek yang harus dipertimbangkan
yakni berdasarkan asset neto. Di sini akan menimbulkan kesulitan
dalam menghitung asset neto, dengan semakin banyaknya intangible
asset yang tidak tercatat di dalam neraca. Misalnya, perusahaan yang
bergerak di bidang computer software, zakat yang dikenakan akan
lebih kecil dibandingkan perusahaan tekstil, walaupun kemungkinan
besar keuntungan yang dihasilkan perusahaan computer software akan
lebih besar daripada perusahaan tekstil dan berdasarkan keuntungan
neto; dinilai lebih cocok, karena perusahaan yang menghasilkan
keuntungan yang besar akan dikenakan zakat yang lebih besar, tanpa
memperhatikan besaran aset neto yang dimiliki perusahaan tersebut.
***(MY)
Daftar Lembaga Amil Zakat Nasional (Oktober 2006)
1 Dompet Dhuafa Republika
2 Pos Keadilan Peduli Umat,
3 Yayasan Dana Sosial Al-Falah Surabaya,
4 Baitul Mal Hidayatullah
5 Baitul Mal Muamalat
6 BSM Peduli Umat
7 Baitul Mal BRI
8 BAMUIS BNI
9 LAZIS Dewan Dakwah Islam Indonesia
10 LAZIS Muhammadiyah
11 BAZMA Pertamina
12 Rumah Zakat Indonesia
13 LAZ Persis
14 LAZ ICMI
15 DPU Daarut Tauhid
16 LAZ Amanah Takaful
17 LAZ Nahdhatul Ulama
18 LAZ IPHI
Sumber : Forum Zakat, 2006























PENCATATAN DALAM AKUNTANSI SYARI’AH DAN AKUNTANSI ZAKAT
Latar Belakang

            Teori akuntansi konvensional dinyatakan baik secara verbal maupun matematis. Namun, Prinsip dan kebiasaan-kebiasaan akuntansi konvesional yang berasal dari approach empiris-deduktif tampak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dalam Islam, di mana prinsip tak dinyatakan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan sunnah dan lebih didasarkan pada penafsiran, berbagai aturan untuk suatu isu bisa sampai ke tujuannya secara bersamaan. Bangkitnya akuntansi syariah di Indonesia tidak hanya karena terpicu terjadinya skandal akuntansi sebuah perusahaan telekomunikasi yang berbasis di Amerika Serikat, WorldCom beberapa tahun silam. Tetapi akuntan syariah muncul sejalan dengan adanya kesadaran untuk bekerja lebih jujur, adil dan tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadist.
            Dalam sistem akuntansi konvensional yang berbasis pada pembukuan mengakui adanya utang atau pemasukan yang sifatnya belum riil, accrual basis, ini lawan dari cash basis. Accrual basis tersebut  sudah terbukti banyak kegagalan, utamanya dalam mendorong para akuntan lebih jujur dan adil, sehinggga dianggap melanggar syariah. Perbedaan-perbedangan pandangan seperti itu membuat ketertarikan penulis untuk melihat lebih dalam reason yang bisa dijadikan referensi sehingga yang menimbulkan perbedaan antara akuntansi syariah dengan akuntansi konvensional.

Permasalahan
  1. Apa itu Akuntansi Syariah?
  2. Apa itu Akuntansi Konvensional?
  3. Bagaimana perbandingan akuntansi syariah dan akuntansi barat?
  4. Mengapa orang-orang liberalis memberikan pengaruh negatif terhadap adanya akuntansi syariah?




Kajian Teori

Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syariah menurut aliran idealis adalah Enterprise Theory (Harahap 1997; Triyuwono 2002b), karena menekankan akuntabilitas yang lebih luas. Meskipun, dari sudut pandang syariah, seperti dijelaskan Triyuwono (2002b) konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak langsung memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b) konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect participants.

Pembahasan
  1. Apa itu Akuntnasi Syariah?
Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
Jadi dari paparan diatas dapat disimpulkan Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
  1. Apa itu Akuntansi Barat ?
Akuntansi barat adalah sistem akuntansi yang sering digunakan diberbagai negara pada saat ini. Akuntansi secara umum itu dapat didefinisikan sebagai
  1. Bagaimana perbandingan akuntansi syariah dan akuntansi barat?
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.

 Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
1.         Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
2.         Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
3.         Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
4.         Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
5.         Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
6.         Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
7.         Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:

1.         Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
2.         Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
3.         Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
4.         Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
5.         Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
6.         Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.


  1. Mengapa orang-orang liberalis memberikan pengaruh terhadap adanya akuntansi syariah?
Akuntansi syariah merupakan akuntansi yang dilaksanakan atas dasar prinsip-prinsip syariah, islamiah. Prinsip-prinsip islamiah banyak dikatakan sebagai prinsip yang kekal, sehingga membuat orang-orang liberalis menganggap akuntansi syariah akan menguasai akuntansi. “Metode akuntan syariah, juga mengakui accrual basis tetapi dengancatatan. Artinya, penerimaan yang kurang pasti hanya diberi waktu tenggang selama tiga bulan. Jika dalam kurun waktu itu uang tidak masuk secara cash, maka pembukuan laba dan rugi harus dikoreksi.” Dengan adanya prinsip-prinsip islamiah yang kuat yang harus diterapkan dalam akuntansi syariah membuat metode yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan akuntansi syariah tidak terlibat masalah. Seperti metode akuntan conventional juga menggunakan accrual basis, tetapi bedanya tidak sampai kedalam proses asal muasal uang yang dicacatkan dalam pembukuan. Selain itu, waktunya lebih longgar dan banyak justification terhadap uang yang dicatatkan dalam pembukuan, makanya setiap Mengapa kini masih banyak perusahaan takut diaudit dengan metode akuntansi syariah, karena hasilnya akan memunculkan banyaknya kecurangan dan kesalahan dalam laporan keuangan.

5.     akuntansi pragmatis dan idealis
Akuntansi Syariah: ANTARA Aliran Pragmatis DAN IDEALIS

Perkembangan akuntansi syariah saat ini menurut Mulawarman (2006; 2007a; 2007b; 2007c) masih menjadi diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi. Diskursus terutama berhubungan dengan pendekatan dan aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya. Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan teoritis antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis.


2.1. Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis

Aliran akuntansi pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya). Modifikasi dilakukan untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syariah. Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI[3] secara internasional dan PSAK No. 59[4] atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi syari’ah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas terbatas.

Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syariah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syariah. Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syariah, sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka peluang perbankan syari’ah mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syariah, sosial maupun lingkungan. Sinyal ini terbukti dari beberapa penelitian empiris seperti dilakukan Sulaiman dan Latiff (2003), Hameed dan Yaya (2003b), Syafei, et al. (2004).

Penelitian lain dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang menguji secara empiris praktik pelaporan keuangan perbankan syariah di Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar AAOIFI, perusahaan di samping membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan disclose analisis laporan keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan responsibilitas sosial dan lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan Hameed dan Yaya (2003b) menunjukkan bank-bank syariah di kedua negara belum melaksanakan praktik akuntansi serta pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.

Syafei, et al. (2004) juga melakukan penelitian praktik pelaporan tahunan perbankan syariah di Indonesia dan Malaysia. Hasilnya, berkaitan produk dan operasi perbankan yang dilakukan, telah sesuai tujuan syariah (maqasid syari’ah). Tetapi ketika berkaitan dengan laporan keuangan tahunan yang diungkapkan, baik bank-bank di Malaysia maupun Indonesia tidak murni melaksanakan sistem akuntansi yang sesuai syariah. Menurut Syafei, et al. (2004) terdapat lima kemungkinan mengapa laporan keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan syariah. Pertama, hampir seluruh negara muslim adalah bekas jajahan Barat. Akibatnya masyarakat muslim menempuh pendidikan Barat dan mengadopsi budaya Barat. Kedua, banyak praktisi perbankan syariah berpikiran pragmatis dan berbeda dengan cita-cita Islam yang mengarah pada kesejahteraan umat. Ketiga, bank syariah telah establish dalam sistem ekonomi sekularis-materialis-kapitalis. Pola yang establish ini mempengaruhi pelaksanaan bank yang kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan Pengawas Syari’ah lebih menekankan formalitas fiqh daripada substansinya. Kelima, kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli syariah. Praktisi lebih mengerti sistem barat tapi lemah di syariah. Sebaliknya ahli syariah memiliki sedikit pengetahuan mengenai mekanisme dan prosedur di lapangan.


2.2. Akuntansi Syariah Aliran Idealis

Aliran Akuntansi Syariah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a). Landasan filosofis seperti itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat[5]. Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syariah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Berbeda dengan tujuan akuntansi syariah idealis (filosofis-teoritis), mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan Willett 1994).


Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS, Triyuwono (2001) dan Slamet (2001) mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shariate ET. Menurut konsep ini stakeholders pihak yang berhak menerima pendistribusian nilai tambah diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu direct participants dan indirect participants. Menurut Triyuwono (2001) direct stakeholders adalah pihak yang terkait langsung dengan bisnis perusahaan, yang terdiri dari: pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditur, pemasok, pemerintah, dan lain-lainnya. Indirect stakeholders adalah pihak yang tidak terkait langsung dengan bisnis perusahaan, terdiri dari: masyarakat mustahiq (penerima zakat, infaq dan shadaqah), dan lingkungan alam (misalnya untuk pelestarian alam).

2.3. Komparasi Antara Aliran Idealis dan Pragmatis

Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbincangan mengenai perbedaan antara aliran akuntansi syariah pragmatis dan idealis di atas adalah, pertama, akuntansi syariah pragmatis memilih melakukan adopsi konsep dasar teoritis akuntansi berbasis entity theory. Konsekuensi teknologisnya adalah digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis. Kedua, akuntansi syariah idealis memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis berbasis shariate ET. Konsekuensi teknologisnya adalah penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya. Untuk memudahkan penjelasan perbedaan akuntansi syariah aliran pragmatis dan idealis, silakan lihat gambar berikut:



PEMBAHASAN
Sistem akuntansi konvensional yang berbasis pada pembukuan mengakui adanya utang atau pemasukan yang sifatnya belum riil, accrual basis, ini lawan dari cash basis. Accrual basis tersebut sudah terbukti banyak kegagalan, utamanya dalam mendorong para akuntan lebih jujur dan adil, sehinggga dianggap melanggar syariah. Pengamat ekonomi Dr. Syahrir, mengakui para ahli hukum dan akuntan korporasi AS memang sangat ahli dalam “bermain” pada letter of the law, tetapi samasekali meniadakan spirit of the law atau jiwa rasa keadilan dalam lembaga hukum. Perusahaan WorldCom yang mempunyai klaim asset US$107 miliar, setara dengan Rp 963 triliun itu, kini gulung tikar alias bangkrut karena harga sahamnya yang semula mencapai US$ 80 per lembar tinggal US$ cent 9. Inilah dongeng kebangkrutan terbesar sepanjang sejarah perusahaan Amerika yang selalu mengagung-agungkan sistem akuntansi berbasis kapitalisme itu. Sebelum itu juga pernah terdengar cerita, terjadi skandal akuntansi pada tiga perusahaan yakni bidang energi (Enron), obat-obatan (Merck), dan mesin cetak (Xerox). Ketiga perusahaan itu sempat “sempoyongan” karena diguncang skandal manipulasi keuangan. Enron membukukan keuntungan anak perusahaan dimasukkan dalam laba pembukuan perusahaan induknya untuk mengangkat harga saham di pasar. Itu cerita dari belahan dunia sana (baca negara maju).
Perbedaan Itu
Sampai sejauh ini, masalah sistem accrual basis yang konvensional dan cash basis yang syariah menjadi perdebatan seru dalam KAS. Secara ekstrem kubu syariah bahkan mengingatkan apa yang terjadi pada perusahaan di benua lain itu juga bakal terjadi di Indonesia, termasuk pada perusahaan berbasis akuntansi syariah. Mantan Dirut Bank Muamalat, Zainulbahar Noor, setidaknya meyakini akan hal itu. “Tinggal tunggu waktu saja, karena sistem akuntansinya sama saja. Tak ada perbedaan sistem akuntansi yang dipakai di AS maupun di Indonesia,” kata Zainul. “Karena induknya sama, maka dampaknya pun akan sama.” Mantan perintis Bank Muamalat yang juga dosen pada Universitas Assafi’iyah itu juga memperkirakan, kejadian serupa bukan hanya dapat terjadi pada perusahaan lokal yang auditnya berbasis pada akuntansi konvensional, tetapi juga dapat menerpa pada perusahaan yang auditnya berbasis syariah. Karena itu tadi; sistem accrual basis juga diterapkan pada akuntansi syariah. “Ini jelas melanggar syariah Islam,” tandas Zainulbahar Noor. Sistem accrual basis itu, katanya, telah mengakui adanya pendapatan yang terjadi di masa yang akan datang, karena syariah Islam melarang untuk mengakui suatu pendapatan yang sifatnya belum pasti. Hal ini disebabkan karena masa yang akan datang adalah kekuasaan dan wewenang Allah sepenuhnya untuk mengetahuinya (Baca QS Al-Baqarah:255). Dengan kata lain, tegas Zainul, penerapan metode accrual basis dalam pengakuan pendapatan akan menyebabkan bank, asuransi atau usaha yang berbasiskan pada syari’ah melanggar syariat Islam. “Bahkan, saya dapat menyimpulkan penerapan metode accrual basis merupakan loop hole bagi terjadinya korupsi,” katanya, seraya mengatakan, dari dulu saya tidak setuju dengan usulan teman-teman dari Ikatan Akuntan Indonesia yang menyarankan Bank-bank syariah juga menggunakan sistem accrual basis. Sistem tersebut tidak cocok dalam syariah, karena memberikan banyak pintu untuk memungkinkan terjadi penyimpangan loop hole yang mengarah terjadinya korupsi. Ia mencontohkan, pada tahap awal dimulailah dalam bentuk pempublikasian neraca dan laba rugi akhir tahun yang bersifat window dressing. “Kita mengetahui betapa banyaknya bank-bank yang menggelembungkan angka total pendapatan akhir tahun dengan maksud untuk menggelembungkan angka tingkat laba melalui perlipatgandaan angka pendapatan, laba, dengan mengkredit pos pendapatan dari pendebetan pendapatan yang akan diterima (Interest Earned Not Collected/IENC). Cara ini dilakukan dalam upaya meyakinkan masyarakat bahwa bank bersangkutan menguntungkan untuk menarik dana masyarakat lebih banyak dan maksudmaksud lainnya, antara lain mengarah pada tindakan kriminal dalam keuangan bank.” Bahkan, metoda accrual basis juga dapat disalahterapkan untuk menyulap bank yang tadinya merugi menjadi bank yang untung. Korupsi apa yang terjadi dalam hal ini? Pada peringkat awal adalah tindakan korupsi dalam pengertian universal yaitu cacat moral dengan ‘’memalsukan’’ angka dalam jumlah yang tidak sebenarnya, melaksanakan perbuatan yang tidak wajar, sebuah perusakan integritas dan kebajikan umat. Pada peringkat berikutnya, akan terjadi pengkorupsian dalam arti pemalsuan angka-angka neraca dan laba rugi yang semakin melebar dan membengkak sehingga membangkrutkan bank atau perusahaan terkait. Kejadian yang menyimpang ini kerap baru diketahui secara mendadak sementara publik telah terninabobokan oleh prestasi finansial yang semu tersebut. “Itulah sebabnya, saya sejak awal kurang setuju dengan metode itu.Meskipun  pendapat saya itu tidak populer saya tetap yakin sistem cash basis pada usaha syariah masih yang terbaik,” kata Zainul. Kenyataan saat ini, katanya, bank-bank syariah atau usaha yang berbasis syariah wajib memasukkan pendapatan yang akan ditagih menjadi pendapatan riil di dalam laporan pendapatan rugi labanya, sesuai dengan aturan yang ditetapkan pada Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia PAPSI tahun 2003. Pendapat Zainul ini mendapatkan perlawanan sejumlah anggota Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Ellya Noorlisyati, praktisi akuntan yang juga wakil ketua IAI Cabang Jakarta adalah salah satu tokoh yang tidak sependapat dengan Zainulbahar. Ia mengingatkan bahwa suatu janji itu berdasarkan syariah juga wajib dipenuhi. Ellya mengilustrasikan, seseorang yang menyewakanrumahnya. Jika si A mengontrakkan sebuah rumah, Rp 500 ribu per bulan, maka dia akan membukukan pendapatan selama satu tahun dari sewa rumah sebesar Rp 6 juta. Metode pembukuan seperti itu tidak akan bertentangan dengan kaidah Islam, karena sudah terjadi kesepakatan kontrak sewa, pemilik rumah dengan penyewa dengan harga Rp 500.000 per bulannya. Accrual basis atau dasar akrual, kata Ellya, adalah suatu proses akuntansi untuk mengakui terjadinya peristiwa atau keadaan nonkas. Accrual basis mengakui pendapatan dan adanya peningkatan yang terkait dengan asset (aktiva) dan beban (expenses) serta peningkatan
yang terkait dengan utang (liabilities) dalam jumlah tertentu yang akan diterima atau dibayar (biasanya) dalam bentuk kas di masa yang akan datang. Sistem itu juga sudah diadopsi lewat Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 59 dan juga Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) yang mengharuskan bank syariah untuk menerapkan metode accrual basis dalam pengakuan pendapatan dan beban mereka. Dalam sistem accrual basis, kata Ellya, dasar akrual digunakan untuk mengakui adanya pendapatan dan atau peningkatan aktiva yang akan diterima di masa yang akan datang pada saat transaksi tersebut terjadi. Misalnya, sebuah perusahaan melakukan penjualan secara kredit, maka perusahaan tersebut akan mencatat adanya piutang (hak perusahaan tersebut terhadap pembeli yang akan diterima di masa yang akan datang). “Model ini tampaknya tidak bertentangan dengan kaidah di dalam Islam,” katanya meyakini.
Dewi Astuti, yang sudah mengantongi beberapa sertifikat akuntansi
syariah seperti, Islamic Banking Practices dari BIMB, Malaysia, Issuesand developmenton Islamic Economic, Banking and Finance dari IslamicUniversity Malaysia, dan CiIPA- Certified Islamic Profesional Accountant,berpendapat, salah satu kebaikan akuntan syariah adalah menganut\sistem cash basis sebagai lawan dari accrual basis.“Metode akuntan syariah, juga mengakui accrual basis tetapi dengancatatan.Artinya, penerimaan yang kurang pasti hanya diberi waktu tenggang selama tiga bulan. Jika dalam kurun waktu itu uang tidak masuk secara cash, maka pembukuan laba dan rugi harus dikoreksi.”Kata wanita yang kini tinggal di kawasan Griya Kencana II Blok OCiledug itu.Astuti yang sebelumnya bekerja di British American Tobacco (1991-1992) mengatakan, metode akuntan conventional juga menggunakan accrual basis, tetapi bedanya tidak sampai kedalam proses asal muasal uang yangdicacatkan dalam pembukuan. Selain itu, waktunya lebihlonggar dan banyak justification terhadap uang yang dicatatkan dalampembukuan.
Apa latar belakang penyusunan Standar
Akuntansi Syariah dan Zakat?
UU Zakat mewajibkan kepada Lembaga Amil Zakat (LAZ) maupun Badan Amil Zakat (BAZ) untuk diaudit secara independen atas laporan keuangannya. Sayangnya, sampai kini, di Indonesia, belum ada standar akuntansi untuk zakat yang dikeluarkan oleh standard setter akuntansisyariah, IAI. Yang ada, baru pedoman akuntansi yang dibuat secaramandiri oleh masing-masing institusi dan lembaga.Akibatnya, banyak ditemukan kesulitan dan dispute oleh para auditordari Kantor Akuntan Publik (KAP) dalam melaksanakan tugasnya dilapangan mengingat ketiadaan standar akuntasi zakat itu, disampingadanya beragam interpretasi, pedoman akuntansi yang digunakanserta beragamnya pendapat ikih(ketentuanhukumsyariah) seputarpelaksanaan dan pengelolaan zakat.
itu, sama persoalannya dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS),baik bank maupun nonbank sertaLembaga Bisnis Syariah (LBS). UsahaIni memerlukan standar akuntasi untuk setiap transaksinya, sebab LKSdan LBS memilki akuntabilitas dan komitmen untuk melaksanakankegiatan usahanyaberdasarkan prinsip syariah yang pada utamanyaadalah transaksinya secara syariah.
Konteksnya dengan zakat?
Zakat merupakan salah satu bentuk transaksi syariah dalam domain
sosial sehingga perlu pengaturan sendiri perlakuan akuntansinya yang
bersifat standar sebagaiamana dalam transaksi komersial dikenal
mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, salam, istishna’, dsb.
Dengan demikian, penyusunan akuntansi zakat oleh IAI merupakan
sebuah kaharusan syariah zakat sekaligus sebuah meniscayaan sejarah
untuk pelaksanaan dan pengelolaan zakat yang sesuai dengan kaedah
syariah. Ini juga sekaligus untuk memenuhi tuntutan dan ketentuan
good governance yang meliputi transparency, responsibility, accountability,
fairness, dan independency.
Posisi amilin (pengelola zakat) yang diformalkan dalam bentuk LAZ
maupun BAZ merupakan lembaga kepercayaan publik yang sensitif
pada isu public trust (kepercayaan publik) dalam penghimpunan dan
penyaluran dana-dana zakat. Jadi, Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan No. 109 yaitu mengenai Akuntansi Zakat, Infak dan
Sedekah ini untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian dan
pengungkapan transaksi zakat, infak, dan sedekah.
Lalu, apa saja cakupan pengaturan dalam
standar Akuntansi zakat itu?
Ruang lingkup dan cakupan pengaturan standar akuntansi zakatpada akhirnya akan diperuntukkan bagientitas yang menerima danmenyalurkan zakat, infak dan sedekah (amil); Entitas yang membayarzakat(muzakki); dan Entitas yang menerima zakat (mustahiq).Srandar ini tidak berlaku untukentitas yang melakukan aktivitaspenerimaan dan penyaluran zakat tetapi bukan sebagai kegiatanutamanya. Entitas itu harus mengikuti ketentuan dalam PSAK 101mengenai Penyajian Laporan Keuangan Syariah.Standar ini juga menegaskan, entitas yang menerima dan menyalurkanzakat, infak, dan sedekah yang disebut entitas pengelola zakat, infak,dan sedekah diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan, baikyang dimiliki oleh pemerintah maupun nonpemerintahStandar akuntasi ini tidak hanya mengatur transaksi zakat sajamelainkan infak/sedekah, maka akan diatur juga dalam penjelasannyamengenai Zakat yaitu sebagian dari harta yang wajib dikeluarkanoleh wajib zakat (muzakki) untuk diserahkan kepada penerima zakat(mustahiq). Di samping itu juga dijelaskan mengenai infak/sedekahyaitu sebagian harta yang tidak wajib dikeluarkan oleh pemiliknya,yang diserahkan yangperuntukannya dapat tertentu (muqayyadah)atau tidak tertentu (mutlaqah).Agar memenuhi syarat dan rukun zakat, diatur pula ketentuanmengenai nisab yaitu batas minimum atas kepemilikan sejumlah hartayang wajib dikeluarkan zakatnya dalam satu tahun. Juga penerima zakat (mustahiq) adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat.Demikian pula menangani wajib zakat (muzakki) adalah orang ataubadan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat.
Diposkan oleh hedsya blog di 22.54




















Analisa Penerapan Akuntansi Zakat pada Dompet Dhuafa Republika sebagai Organisasi Pengelola Zakat --
Purnomo Budi Wibowo / Muyassaroh ; Ari Sunardi / /
Stekpi Jakarta 2008
Bahasa:Indonesia

Tujuan penelitian ini adalah:
Mengetahui penerapan akuntansi zakat pada Dompet Dhuafa Republika sebagai oraganisasi pengelola zakat., dan untuk mengetahui kesesuaian sistem pelaporan akuntansi pada Dompet Dhuafa Republika dengan PSAK No. 45., dan juga untuk mngetahui kegiatan Dompet Dhuafa Republika dengan ketentuan syari'ah Islam.

Metode pengumpulan data melakukan Field Reseacrh (riset lapangan), dengan melakukan :
1. Dokomentasi
2. Wawanacara

Dan jenis data yang diambil adalah :
A. Data Primer
B. Data Sekunder

Metode Analisa data, skripsi ini menggunakan analisis deskriptif, yaitu dengan memperoleh, menyajikan, dan menganalisa mengenai penerapan prinsip akuntansi zakat., adapun tahapan-tahapan analisa adalah sebagai berikut :

1. Menelusuri sumber-sumber penelitian
2. Melakukan wawancara kepada responden untuk memperoleh data yang di perlukan dalam skripsi
3. Membandingkan hasil penelitian kepustakaan dengan penerapannya pada Dompet Dhuafa Republika dan menganalisa data-data yang di kumpulkan mengenai penerapan prinsip akuntansi zakat.

Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan mengenai penerapan akuntansi pada Dompet Dhuafa Republika adalah :

- Mengenai penerapan akuntansi zakat dilaksanakan dengan profesional dan bertanggung jawab., dan setipa dana yang diterima lembaga di laporkan secara langsung., laporan keuangan di laporkan secara berkualitas, dan dapat di pahami olrh penggunanyadan tidak bertentangan dengan syariah Islam.
- Penyajiannya laporan keuangan Dompet Dhuafa Republika pada PSAK No.45., tentang laporan keuangan organisasi Nirlaba., pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip antara laporan keuangan yang distandarkan oleh PSAK No.45.

























Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Lintas Umum

Baca juga yang ini :

Berita
Facebook


0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.