02 September 2009
Masa Depan Zakat Indonesia
Pertumbuhan dunia perzakatan tanah air dari
waktu ke waktu mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dari sisi
penghimpunan, dana zakat yang terkumpul menunjukkan tren kenaikan secara
kontinu. Pada 2002, data nasional pengumpulan zakat yang ada pada BAZNAS, meski
belum mencakup semua lembaga zakat, menunjukkan angka Rp 68,4 miliar. Kemudian
pada 2008, angka ini naik menjadi Rp 930 miliar, atau meningkat sebesar 1.260
persen dalam kurun waktu 6 tahun. Ditargetkan, pada 2009 ini angka tersebut
bisa mencapai Rp 1 hingga 1,2 triliun. Sebuah pencapaian yang sangat baik dan
menunjukkan kesadaran masyarakat yang terus meningkat, meski nilai ini masih
kurang dari 10 persen dari total potensi zakat yang ada. Sedangkan dari sisi
pendayagunaan, meskipun belum ada datanya secara nasional, program zakat
diyakini telah mampu meng-cover ratusan ribu mustahik setiap tahunnya, terutama
dalam tiga tahun terakhir.
Namun demikian, masih banyak pekerjaan
rumah yang harus diselesaikan oleh para pemangku kepentingan (stakeholder)
dunia perzakatan, baik dari sisi sosialisasi, regulasi, pengelolaan, maupun
dari sisi sumber daya manusianya. Keempat aspek ini perlu mendapatkan perhatian
yang sangat serius agar instrumen zakat, infak, dan sedekah ini bisa memainkan
peran yang lebih signifikan dalam perekonomian Indonesia pada masa yang akan
datang.
Sosialisasi dan Kelembagaan
Di antara problem mendasar belum optimalnya
penghimpunan zakat melalui lembaga adalah masih kurangnya sosialisasi kepada
masyarakat. Sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa menyalurkan zakat
langsung kepada mustahik adalah lebih afdal. Padahal, dalam catatan shirah
nabawiyyah, pada zaman Rasulullah SAW tidak pernah ada satu contoh pun yang
menunjukkan bahwa zakat diberikan kepada mustahik oleh muzaki secara langsung
tanpa melalui perantara petugas khusus amil zakat. Pengecualian adalah pada
pemberian infak dan sedekah, di mana seorang munfik dapat menyerahkan langsung
dana infak kepada penerimanya. Karena itu, Rasulullah SAW selalu menunjuk
sejumlah sahabat untuk menjadi petugas khusus pemungut zakat.
Pola seperti ini terus berlanjut hingga
zaman Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin 'Affan. Persoalan
mulai muncul pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, di mana beliau banyak
menghadapi fitnah politik dan penentangan dari sejumlah pihak yang berusaha
memecah belah umat Islam. Dalam penelitian Ugi Suharto (2005) tentang Kitab
Al-Amwal karya Abu Ubaid, dinyatakan bahwa kondisi politik yang tidak menentu pada
masa itu menyebabkan timbulnya keraguan untuk membayar zakat kepada lembaga
(baca: negara). Hal tersebut dikarenakan situasi politik dan pemerintahan yang
tidak stabil. Seorang sahabat bernama Ibn Umar ra, setiap kali ditanya oleh
para pembantunya dari kaum Anshar tentang kepada siapakah mereka harus membayar
zakat, selalu memberikan jawaban yang berbeda-beda.
Pada satu waktu Ibn Umar ra menyerukan
untuk membayar zakat kepada Ummal (petugas pengumpul zakat). Lalu pada
kesempatan lain, beliau menyatakan sebaiknya zakat diserahkan kepada kaum
mayoritas yang sedang berkuasa (ghalaba). Namun, kemudian beliau pun
menyesuaikan pandangannya dengan situasi yang terjadi, dengan mengatakan,
''Bayarlah zakat langsung kepada mereka yang berhak menerimanya.'' (Ugi Suharto,
2005). Inilah barangkali yang menjadi dasar argumentasi sebagian pihak yang
menyatakan bahwa zakat sebaiknya langsung diberikan kepada mustahik. Apalagi
ada keraguan terhadap komitmen pemerintah terhadap Islam dan umat Islam,
termasuk apakah dana yang ada akan sampai ke tangan yang berhak menerimanya
atau justru akan dikorupsi.
Jadi, melihat akar sejarah tersebut, kata
kunci yang sangat menentukan adalah faktor kepercayaan. Inilah yang menjadi
pekerjaan rumah BAZ dan LAZ yang ada. Masyarakat harus terus-menerus diyakinkan
bahwa BAZ dan LAZ yang ada adalah lembaga yang betul-betul amanah. Keberhasilan
BAZNAS meraih ISO 9000:2001 seharusnya bisa memecah keraguan yang ada. Apalagi
ada ancaman sanksi pidana penjara dan denda bagi amil yang tidak amanah (Pasal
21, UU 38/1999).
Karena itulah, sosialisasi ini harus mampu
meyakinkan masyarakat bahwa yang lebih sesuai dengan tuntunan syariah adalah
dengan menyerahkan zakat kepada lembaga amil, dan bukan langsung kepada
mustahik. Inilah yang lebih afdal dan lebih sesuai sunah Rasul, serta lebih
memiliki potensi untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Tanpa
pengelolaan melalui lembaga amil yang amanah, dampak pemberian zakat hanya akan
bersifat temporal dan sesaat.
Sedangkan mengenai komitmen duet
presiden-wapres terpilih SBY-Boediono terhadap pengembangan ekonomi syariah
secara umum, termasuk terhadap zakat, kita bisa merujuk kepada janji Boediono
beberapa waktu lalu. Beliau menyatakan secara eksplisit bahwa ekonomi syariah
adalah kunci untuk bisa lepas dari krisis, dan berjanji untuk mengembangkannya
secara serius (Republika, 9 Juni 2009). Sebuah janji yang harus kita kawal,
agar ia bisa menjadi kenyataan.
Regulasi dan SDM
Isu lain yang menentukan masa depan zakat
di tanah air adalah amandemen UU 38/1999 tentang pengelolaan zakat. Penulis
melihat bahwa waktu yang tersisa untuk menyelesaikan proses pembahasan UU ini
adalah kurang dari dua bulan. Penulis khawatir, jika DPR 2004-2009 tidak mampu
menyelesaikan proses amandemen ini dalam waktu yang tersisa, pembahasan oleh
DPR periode berikutnya akan memakan waktu yang lebih lama lagi. Apalagi
komitmen para caleg terpilih 2009-2014 terhadap zakat masih belum jelas.
Keberadaan amandemen UU ini sangat penting ke depannya, terutama dalam penataan
pembangunan zakat.
Isu lain terkait regulasi adalah masalah
struktur organisasi, fungsi, dan kewenangan lembaga zakat, mulai dari tingkat
nasional hingga tingkat kecamatan. Harus ada pembagian yang jelas antara
lembaga zakat di semua tingkatan, termasuk model pengembangan lembaga zakat ke
depan, apakah BAZ dan LAZ dileburkan jadi satu, atau dibuat seperti model
sektor moneter, di mana ada lembaga zakat sentral laiknya Bank Indonesia, dan
BAZ-LAZ yang berperan laiknya bank pemerintah dan bank swasta.
Selanjutnya adalah kebijakan zakat
pengurang pajak. Ini adalah kebijakan yang diharapkan dapat mendongkrak
penghimpunan zakat sehingga memberikan peluang yang lebih besar kepada
instrumen zakat untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Riset
Patmawati (2006) menunjukkan bahwa dengan adanya distribusi zakat, kelompok 40
persen masyarakat terbawah di negara bagian Selangor Malaysia, mampu menikmati
kue total pendapatan yang lebih besar, dari 8,62 persen menjadi 10,62 persen.
Sedangkan kelompok 20 persen masyarakat teratas mengalami penurunan share dari
54,5 persen menjadi 49,8 persen. Kesenjangan di antara kedua kelompok tersebut
dapat dikurangi melalui pemanfaatan zakat. Sedangkan, angka kemiskinan dapat
dikurangi 15 persen.
Karena itu, penulis melihat bahwa integrasi
zakat dalam kebijakan fiskal nasional merupakan kebutuhan yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi. Amandemen UU 38/1999 adalah langkah awal proses integrasi
ini. Di samping itu, juga diperlukan sejumlah terobosan kreatif terkait
kebijakan zakat. Sebagai contoh, ketentuan bebas fiskal tidak hanya diterapkan
kepada mereka yang memiliki NPWP, namun kepada warga negara yang memiliki NPWZ
(Nomor Pokok Wajib Zakat). Artinya, jika seorang muslim tidak memiliki NPWP dan
NPWZ, ia diharuskan membayar fiskal.
Kemudian selanjutnya, yang juga sangat
menentukan masa depan zakat adalah SDM zakat itu sendiri. Upaya menghasilkan
SDM zakat yang berkualitas melalui sistem dan institusi pendidikan yang
terintegrasi dengan baik, harus menjadi prioritas agenda zakat nasional ke
depan. Keberadaan perguruan tinggi yang membuka departemen atau konsentrasi
ekonomi syariah harus terus-menerus didorong. Insya Allah, jika kesemua agenda
ini dapat dilaksanakan, masa depan zakat Indonesia akan menjadi lebih baik.
Wallahu'alam.
Irfan Syauqi Beik, Dosen FEM IPB dan
Anggota ISEFID
Republika, 2 September 2009
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.