Apakah Bank Itu Tuhan?
Kata Mas bro Bob (adminnya JAK), mungkin ini artikel akuntansi paling ‘galau’ yang pernah anda baca, sampai mikir apakah bank itu Tuhan.. hahaha. Apa pasalnya? Ini terjadi ketika diberikan pekerjaan rekonsiliasi kas di tahun-tahun pertama (90-an) saya bekerja. Ya saya tahu. Jelaslah bank itu buka Tuhan. Maksud saya: mengapa, dalam banyak pekerjaan akuntansi, saldo rekening koran dari bank diasumsikan selalu benar? Nah.. sudah menyerupai sifat Tuhan kan?Apakah Karena Sistem Bank Dianggap Lebih Handal?
Sejak di bangku kuliah, kita (mahasiswa Akuntansi) dicekoki doktrin bahwa: ketika ada perbedaan antara saldo kas pada buku perusahaan dengan saldo kas pada rekening koran (printout transaksi dari bank), maka yang harus direkonsiliasi adalah buku kas perusahaan. Itulah inti dari tujuan rekonsiliasi catatan kas perusahaan terhadap catatan kas oleh bank—yang biasa disingkat dengan “rekonsiliasi bank” saja. Hal itu didasari oleh satu asumsi dasar, bahwa: catatan bank-lah yang lebih akurat/benar.[quote]Pertanyaannya: Mengapa MESTI buku perusahaan yang direkonsiliasi? Mengapa catatan bank yang diasumsikan lebih benar?[/quote]
“Karena sistem bank dianggap lebih handal” jawab kawan karib di masa kuliah dahulu—yang masih seing kongkow bareng setelah sama-sama bekerja.
Saya pikir, argument kawan saya itu juga tidak sepenuhnya benar. Jika anda generasi tahun 90-an, anda pasti ingat; bahkan hingga tahun 1995-pun masih banyak bank yang memakai komputer generasi sebelum windows, sementara perusahaan rata-rata sudah menggunakan komputer berbasis windows.
“Yang aku maksudkan dengan sistem itu tidak melulu komputer, tetapi sistem operasional bank secara keseluruhan—mulai dari sistim informasi, manajemen operasional, sumber daya manusia, hingga ke sistem pengendalian internal-nya” jawab kawan saya sengit.
Itupun, menurut saya, juga tidak cukup logis. Saya masih ingat betul, sebelum krisis moneter melanda Indonesia (di tahun 1997) bank tumbuh di mana-mana, bak jamur di musim penghujan, dalam berbagai ukuran (skala). Hingga ada pemeo di kalangan usaha yang mengatakan bahwa: “Pemilik warteg-pun bisa mendirikan bank, jika mau.” Maksud saya, pemandangan dimana perusahaan nasabah lebih besar dibandingkan bank-nya adalah bukan sesuatu yang langka pada saat itu.
Di masa sekarangpun, fenemona seperti itu masih ada. Contoh nyata: accounting firms yang masuk golongan the Big Four yang berbasis di U.S. sana, membuka kantor cabang di Indonesia yang tentunya dioperasikan dengan menggunakan sistem mutakhir induknya di luar negeri sana. Bukan hanya accounting firm, hal serupa juga banyak terjadi di sector-sektor lain, terutama pertambangan. Sementara, mereka membuka rekening pada bank-bank nasional di Indonesia yang belum tentu sistemnya lebih handal. Apakah dalam kasus seperti ini prosedur rekonsiliasi kas menjadi berubah; saldo rekening koran mengikuti saldo kas perusahaan? Saya belum pernah dengar hingga sekarang.
Rekonsiliasi Bank Tidak Selalu Berarti Saldo Kas Perusahaan Salah
Ya ya ya. Saya tahu. Adanya proses rekonsiliasi kas tidak selalu berarti bahwa saldo kas perusahaan salah. Bisa jadi hanya disebabkan oleh adanya perbedaan tanggal pengakuan kas masuk/keluar antara perusahaan dengan pihak bank, terutama untuk transkasi-transaksi yang terjadi menjelang penutupan buku.Misalnya:
Tanggal 25 April, PT. JAK melakukan pelunasan utang kepada Toko ABC dengan menerbitkan cek senilai Rp 5,000,000. Ndilalah, toko ABC baru mencairkan cek tersebut pada tanggal 5 Mei, sementara pihak bank sudah tutup buku tanggal 30 April. Sehingga jika dibandingkan antara saldo kas perusahaan dengan saldo pada rekening koran, terdapat perbedaan sebesar Rp 5,000,000.
Memang. Perbedaan 5 juta tersebut tidak perlu dibuatkan jurnal penyesuaian, tapi kan TETAP perlu dibuatkan rekonsiliasi (disebut cek beredar—outstanding check). MENGAPA?
Sebelum lanjut ke persoalan “mengapa” ini, saya ada pengalaman, yang mungkin ada manfaatnya jika saya share (jika tidak, anggaplah ini “obrolan warung kopi” di sore hari.)
Hati-hati Menggunakan Lembar Kerja Rekonsiliasi
Terutama lembar kerja rekonsilasi kas yang dibuat oleh pegawai accounting perusahaan (bukan oleh auditor), saya ingin menyarakan agar hati-hati menggunakannya. Terlebih-lebih jika perusahaan menerapkan manajemen kas yang extra-ketat seperti yang selalu saya gunakan. Mengapa?Ini pengalaman saya beberapa tahun yang lalu (jika tidak salah di tahun 2007.) Jika saya tidak keliru, saat makan siang saya dihubungi oleh kasir, katanya bank telpon untuk konfirmasi penolakan cek—karena saldo kas di bank tidak cukup. Ini aneh. Sebelum-sebelumnya tidak pernah sampai kekurangan saldo.
Sesampainya di kantor kembali, saya menanyakan lebih lanjut: apa yang terjadi? Mengapa sampai kekurangan saldo kas di bank?
Kasir sendiri tidak tahu. Menurutnya, dia hanya melakukan pembayaran sesuai dengan payment plan yang dibuat oleh A/P accountant (dengan menggunakan analisa umur utang). Hal yang paling critical di sini adalah: A/P accountant wajib memeriksa saldo kas sebelum membuat rencana pembayaran ke vendor. Setelah saya telusuri, akhirnya saya temukan masalahnya: ternyata A/P accountant menggunakan saldo kas setelah direkonsiliasi oleh cash accountant.
Ketika saya tanyakan mengapa itu dilakukan, dia beralasan: karena utang yang jatuh tempo lebih besar dibandingkan saldo kas yang ada. Lalu mengapa bukan rencana pembayarannya yang diturunkan? Dia pikir, pasti ada cek beredar yang belum dicairkan oleh vendor/supplier. Dengan kata lain, dia menggunakan saldo yang real ada di bank.
[quote]Logikanya sudah benar (mengikuti doktrin akuntansi dasar), bahwa: saldo kas terekonsiliasi lebih valid dibandingkan dengan saldo kas yang tidak/belum terekonsiliasi.[/quote]
Tetapi itu SANGAT BERBAHAYA, terutama jika ada jeda waktu antara pembuatan payment plan dengan pelaksanaan payment-nya itu sendiri. Dalam kasus ini, A/P Accountant membuat payment plan Rabo sore, sementara payment baru dilakukan siang keesokan harinya (Kamis). Saldo terekonsiliasi IYA valid di Rabo sorenya, tetapi siapa yang bisa menjamin “cek beredar” yang di lembar kerja rekonsiliasi tersebut tidak dicairkan di hari Kamis pagi?
Paling aman, menurut saya SELALU GUNAKAN CONSERVATISM PRINCIPLE. Dalam artian: CEK YANG SUDAH TERCATAT SEBAGAI CEK KELUAR DALAM BUKU PERUSAHAAN, SELALU DIASUMSIKAN SUDAH DICAIRKAN. Denga kata lain, khusus untuk keperluan payment plan, sebaiknya minimalkan penggunaan lembar kerja rekonsiliasi. Terutama di lingkungan manajemen kas yang serba ketat.
[quote]Secara umum, menurut saya pribadi (tidak tahu orang lain), lembar kerja rekonsiliasi dibuat lebih banyak untuk menjawab pertanyaan pihak luar (terutama sekali ekstrnal auditor) mengenai: RASIONALISASI perbedaan antara saldo kas buku perusahaan dengan rekening koran.[/quote]
Auditor Juga Menganggap Saldo Di Rekening Koran Lebih Valid
Pada umumnya, di dunia auditing (yang banyak digeluti oleh para auditor), dalam setiap pemeriksaannya selalu menggunakan ‘three-way-matching’ antara:- Arus barang
- Arus dokumen; dan
- Arus uang (kas)
Sebagai gambaran kasar saja, dalam pemeriksaan pajak misalnya, dokumen yang paling utama (harus tersedia) adalah catatan kas dan rekening koran. Dalam kondisi yang tidak ideal: catatan biaya dan pendapatan (nota dan invoice) boleh jadi ompong-ompong, uraian arus barang bahkan sering mudah untuk diabaikan (tidak terlalu ngotot meminta jika perusahaan bilang tidak ada atau tidak tahu), tetapi CATATAN KAS dan REKENING KORAN harus ada.
Demikian juga bila terjadi ketidaksesuaian antara arus barang, arus dokumen dan arus uang. Yang digunakan pada akhirnya adalah arus uang (kas).
Mengapa?
Prosedur dasar auditing ini, berasal dari asumsi dasar yang didoktrinkan sejak kita dibangku kuliah, terutama sekali mengenai SISTIM PENGENDALIAN KAS yang menyebutkan bahwa: Pembayaran tunai (cash) hanya dilakukan untuk transaksi-transaksi yang nilai nominalnya kecil—alias tidak material.
Asumsi dasar tersebut, dalam auditing, kemudian diterjemahkan menjadi: TRANSAKSI YANG NILAI NOMINALNYA BESAR (material) SEBAGIAN BESAR, SEHARUSNYA TERCATAT DI BUKU KAS.
Apa yang terjadi jika ada perbedaan antara buku kas perusahaan dengan rekening koran? Yang dianggap valid adalah yang direkening koran. Asumsinya? Kemungkinan kesalahan oleh bank lebih kecil, dan yang paling penting: BANK TAK MUNGKIN MEMANIPULASI (merekayasa) REKENING KORAN.
Banyak Kecurangan Dilakukan Dengan Mengksploitasi Asumsi-Asumsi Akuntansi dan Undang-Undang
Melanjutkan topik auditing di atas. Pertanyaan selanjutnya adalah:[quote]Apakah asumsi-asumsi itu sertaus persen benar?[/quote]
Saya bekerja di KAP tak lebih dari 5 tahun, lantaran saya merasa perlu tahu kejadian-kejadian ekonomis/legal/bisnis practice di balik angka-angka yang terlihat di jurnal, buku besar dan laporan keuangan. Saya merasa tidak cukup puas dengan membandingkan angka-angka tersebut dengan standard/regulasi atau mencari logika paling rasional hanya berdasarkan asumsi dan konvensi. I want to see the fact. I want to know what really behind those numbers are, using my very own personal hands, NOT ASSUMPTIONS.
Sehingga, harus jujur saya akui bahwa: pengalaman saya menjadi auditor tidak cukup banyak dan mendalam.
Yang saya tahu: pengehindaran pajak banyak dilakukan dengan cara mengeksploitasi asumsi-asumsi dasar tersebut (misal: lebih banyak menggunakan transaksi-transksi secara tunai, tentu saja tidak dicatat di sistem resminya perusahaan.) Dan sampai sejauh ini, mereka aman-aman saja. Artinya apa? Silahkan dipersepsikan sendiri.
Apakah praktek kecurangan manajemen terhadap shareholders dan stakeholders lainnya dilakukan dengan cara yang sama? YES, in many cases.
[quote]Bagi saya pribadi, penyakit kronis salah kelola dan salah eksekusi, dalam menjalankan kehidupan secara umum, sebagian besar berasal dari judgment dan interpretasi yang berdasarkan pada asumsi dan konvensi yang dilegalisasi dengan embel-embel aturan, kode, standar, dan bentuk bureaucracy lainnya.[/quote]
So, Apakah Bank Itu Memang Tuhan di Alam Nyata?
Jika saya rangkum dari awal hingga akhir, saldo kas bank masih tetap dianggap sebagai saldo kas yang lebih handal, lebih akurat, lebih bisa dipercaya, atau setidaknya lebih valid alias sah. Sehingga pertanyaannya masih tetap sama: MENGAPA DEMIKIAN, apakah bank itu Tuhan di alam nyata?Saya menghabiskan setidaknya 7 hingga 10 tahun untuk menemukan jawaban atas pertanyaan ini. Tidak ada di standard dan tidak ada di undang-undang manapun—termasuk tax law yang digunakan oleh IRS (U.S. Tax authority.)
Lalu apa jawabannya? Jawabannya ada 2:
Jawaban di permukaan – Sangat sederhana: cek beredar dan setoran dalam perjalanan bisa hilang, bisa dicuri orang, bisa salah transfer, bisa salah auto debit, dan berbagai risiko lainnya yang dihindari oleh bank. Mengapa kelihatannya hampir semua risiko harus ditanggung oleh nasabah/perusahaan? Mengapa regulatorpun mengamini asumsi ini? Silahkan baca jawaban yang kedua berikut ini.
Jawaban yang jauh di dalam (yang sesungguhnya) ini njlimet, seseorang perlu belajar banyak aspek selain perlakuan akuntansi, perpajakan dan bisnis secara umum. Setidaknya, belajar tentang KAPITALISME, maka akan tahu jawaban yang sebenarnya, mengapa bank, cenderung secara membabi-buta, dianggap selalu lebih handal, lebih akurat, dan lebih valid, mirip dengan sifat TUHAN Yang Maha Benar. Selamat berakhir pekan.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.