PERAN AKUNTANSI DALAM MENYEHATKAN LEMBAGA PENGEOLA DANA UMAT
ISLAM
By mursyidi
Adanya undang-undang pengelolaan zakat mengakibatkan
tumbuh-kembang lembaga-lembaga swadaya mayarakat dalam bentuk lembaga amil
zakat (LAZ). Undang-undang ini memberikan ketentuan bahwa badan amil zakat
(BAZ) dan LAZ harus melaksanakan akuntabilitas dalam pengelolaanya, baik dalam
sektor kuangan maupun sektor non keuangan.
Akuntabilitas dalam sektor keuangan tidak terlepas dari
sistem pengelolaan dana zakat itu sendiri. Salah satu sitemnya adalah sistem
informasi akuntansi, yang sampai saat ini masih memi-liki keberagaman di antara
LAZ sehingga pengukuran kinerjanya masih beragam, bahkan tidak dapat dilakukan
sesuai dengan prinsip-prinsip pengukuran kinerja keuangan dan kinerja syariah
zakat itu sendiri. Untuk ini sangat diperlukan standardisasi akuntansi keuangan
yang khusus untuk pengelolaan keuangan dana zakat (dana umat) bukan berdasarkan
pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) organisasi nir laba yang ada
sekarang.
Akuntansi keuangan mempunyai tugas pokok: pengakuan,
penentuan, perlakuan, penya-jian, dan pengungkapan. Pada proses pengakuan dana
umat didasarakan pada persyaratan syariah yang berlaku; penentuan dilakukan
dengan dasar perkiraan yang rasional dan berkeadilan, yang dapat dilakukan
dengan teknik-teknik akuntansi. Proses perlakuan, penyajian dan pengung-kapan
dapat sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip akuntansi yang disesuaikan dengan
harapan dari syariah dana umat.
Sampai dengan makalah ini dibuat, belum ada standar yang
dapat dipergunakan dalam menjalankan akuntansi dana umat baik yang dikeluarkan
melalui peraturan perundang-undangan maupun oleh Ikatan Akuntan Indonesia.
Kondisi inilah yang menjadi pemicu untuk menyampaikan gagasan-gagasasn tentang
akuntansi dana umat terutama dana zakat. Hal ini dilakukan karena dana zakat
memiliki spesifikasi tersendiri dan berbeda dengan dana-dana lainnya.
Ada tida jenis dana yang berasal dari umat, yaitu: pertama,
dana yang sifatnya sumbangan dan tidak wajib, yang dikenal di Indonesia dengan
istilah sedekah dan infak. Dana ini dapat diperguna-kan secara bebas, kapan dan
di mana saja asalkan untuk kesejahteraan umat; kedua, dana wakaf, yang
mempunyai sifat sunnah, tidak wajib namun pihak yang memberi wakaf dapat
menentukan batas waktu dan penggunaannya, pihak pengelola tidak bebas untuk
meman-faatkannya; dan ketiga adalah dana zakat. Jenis dana yang ketiga ini
bersifat wajib bagi umat yanh mampu dan memenuhi persyaratan, dan
pengelolaannya sangat khusus, dan mempunyai tata cara distribusinya yang sangat
ketat.
Sajian dalam makalah ini bukan merupakan hasil penelitian
secara empirik, namun hanya merupakan kajian pengamatan dan teoritis yang
diolah menjadi gagasan baru untuk dapat menja-di wacana baru yang harus
didiskusikan lebih intensif, sehingga dapat menghasilkan standar akuntansi
pengelolaan dana umat (SAPDU). Standar akuntansi sangat diperlukan untuk
melakukan perencanaan, dan memberikan interpretasi yang relatif seragam dari
para stakeholders terhadap lembaga pengelola dana umat (LPDU), dan juga dapat
dijadikan informasi untuk mengu-kur kinerja LPDU, dan para pengelolanya.
A. Pendahuluan
Setiap
organisasi/lembaga/badan baik berorientasi laba dan nir-laba harus mempertang-gungjawabkan
aktivitasnya dalam bentuk kualitatif maupun kuantitatif. Salah satu
pertanggung-gungjawaban dari sektor keuangan adalah hasil dari proses
akuntansi, yang berbentuk laporan keuangan.
Akuntansi
diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu akuntansi manajemen dan akuntansi
keuangan. Produk yang dihasilkan oleh akuntansi manajemen adalah informasi yang
bersifat rinci dalam rangka memenuhi kebutuhan manajemen sebagai dasar
kebijakan dan perencanaan. Sedangkan produk yang dihasilkan oleh akuntansi
keuangan adalah informasi untuk tujuan pemenuhan harapan pihak eksternal
(stokeholder dan stakeholders).
Informasi
dari proses akuntansi manajemen misalnya rincian dari cost center, revenue
center, profit center, dan investment center dalam menggunakan dan memanfaatkan
sumber daya yang ada. Sedangkan informasi yang dihasilkan oleh akuntansi
keuangan adalah laporan keuangan, yang terdiri dari laporan laba-rugi/laporan
aktivitas, laporan perubahan ekuitas, laporan neraca, laporan arus kas, dan
catatan atas laporan keuangan.
Lambaga
yang didirikan untuk mengelola dana umat antara lain lembaga amil zakat (LAZ),
badan amil zakat (BAZ), lembaga atau badan penelola wakaf, dan badan/lembaga
lainnya yang didirikan berdasarkan kekuatan hukum. Lembaga-lembaga tersebut
mempunyai cirri khas dan berbeda dengan lembaga nir-laba maupun lembaga/badan
yang berorientasi laba. Untuk itu diperlukan pedoman dan panduan akuntansi yang
spesifik pula. Ada beberapa konsep dan prinsip-prinsip yang tidak sama dengan standar akuntansi untuk
dunia usaha, standar akuntansi organisasi nir laba dan akuntansi
pemerintahan.
Perkembangan dunia saat ini mengakibatkan berkembang konsep dan praktik
pengelo-laan zakat dan wakaf dari konvensional menjadi kontemporer. Fikih zakat
dan wakaf bergeser lebih luas dari pokok yang ada. Ini bukan berarti
bertentangan, namun terjadi ekstensifikasi objek dan subjek zakat dan wakaf.
Kondisi ini akan memberikan pengaruh pada tata cara pengelolaan-nya, tidak
hanya sekedar apa adanya, atau hanya berprinsip pada kejujuran, namun harus
dikeloka dengan ilmu pengetahuan yang memberikan tata cara dan praktik
manajemen yang sistematis, rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai
bukti implementasi prinsip kejujuran dan keterbukaan.
Dunia saat
ini selalu mengukur nilai ekonomi untuk semua aktivitas dan konsekwensinya,
sehingga akan men imbulkan tambahan nilai ekonomis, artinya kekayaan yang
tangible dan intangible berkembang/bertambah dengan suatu aktivitas, sehingga
dapat dikatakan “menghasil-kan”; dengan kata lain dapat menambah penghasilan
atau menambah kemampuan ekonomis bagi orang/lembaga/badan yang melakukan
aktivitas ekonimi tersebut. Prinsip ini mengakibatkan diterapkannya zakat pada
semua sector perekonomian yang mengakibatkan suatu harta berkembangan (tumbuh)
baik dengan sendirinya maupun diusahakan. Begitu pula konsep wakat berkembangan
dengan memunculkan prinsip memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi pengentasan
kemiskinan, sehingga wakaf harus dikelola secara professional.
Tekni
perhitungan, pengelolaan keuangan dan pertanggungjawabannya memerlukan suatu
ilmu pengetahuan yang modern, tidak konvensional. Ini semua ada pada ilmu
akuntansi. Informasi akuntansi yang memadai dan wajar dapat membimbing
lembaga/badan untuk tumbuh berkembangan dan sehat baik secara manajemen modern
maupun sehat menurut syariat.
Ada
beberapa lembaga amil zakat atau badan amil zakat laporan
pertanggungjawaban-nya telah diaudit oleh akuntan publik dan dipublikasikan
melalui media masa. Ini berdampak pada persepsi pembaca laporan keuangan
tersebut, dan sepintas para pembaca mempercayai-nya. Padahal jika dikaji lebih
dalam, ada beberapa pertanyaan: apakah akuntan publik yang memeriksa laporan
keuangan LAZ/BAZ sudah berdasarkan standar yang bernuansa akuntansi syariah,
apakah memang berdasarkan syariah harta zakat yang dikumpulkan dibiarkan
menumpuk dalam LAZ dan BAZ tersebut, apakah masyarakat mengerti atas fungsi
dari zakat, apakah para pembaca laporan keuangan mengerti siapa pemilik LAZ/BAZ
tersebut, adakah shareholder/staockholder ataukah stakeholder, apakah dapat
dinyatakan resmi semua mustahik sebagai pemilik LAZ/BAZ; apakah dana zakat
milik LAZ/BAZ atau utang LAZ/BAZ, jika merupakan utang apakah mustahik berhak
menagih; apakah kinerja yang ditampilkan dalam laporan keuangan sudah sesuai
dengan tujuan syariah zakat dan wakaf; dan masih banyak lagi pertanyaan
lainnya.
Jika
akuntansi publik mengaudit dana zakat dalam suatu LAZ/BAZ paling tidak
menyatakan bahwa standar yang digunakan masih berdasarkan standar akuntansi
keuangan untuk usaha/organisasi nil laba umum, dan tidak boleh memberikan opini
“Wajar Tampa pengecualian”, karena ini akan membodohi dan membohongi masyarakat.
Hal ini karena standar akuntansi keuangan yang sesuai dengan prinsip zakat dan
syariah zakat belum ada. Kondisi ini pun merupakan tanggungjawab para pengelola
LAZ/BAZ, pemerintah, cendikiawan dan para praktisi akuntansi serta Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI), para akademisi dan pihak lainnya yang terkait untuk
segera merumuskan standar akuntansi keuangan zakat dan wakaf; dan ini hukumnya
sudah wajib agar keadilan dapat diwujudkan.
Berdasarkan uraian di atas, maka makalah ini akan menyajikan bagaimana
prinsip-prinsip umum akuntansi zakat dan wakaf, dengan terlebih dahulu
memaparkan sistem pemungutan zakat, pengelolaan dan penyaluran dana umat, dan
tugas pokok akuntansi.
B. Perbandingan Lembaga Nir Laba dan Lembaga Pengelolaan
Dana Umat.
Lembaga
nir laba merupakan lembaga sektor publik yang bergerak dalam usaha yang tidak
mempunyai misi memperoleh laba. Lembaga ini bisa dimiliki oleh seseorang atau
sekelom-pok orang; dengan kata lain lembaga ini masih mempunyai pemilik.
Lembaga nir laba sejenis ini misalnya lembaga swadaya masyarakat, lembaga
pendidikan formal, partai politik, perkumpulan dan perhimpunan. Dari segi
kepemilikan, lembaga ini mempunyai hak atas kekayaan yang diperolehnya, dan
menjadi ekuitas. Pengasilan, kas dan asset lainnya dapat dipergunakan
sepenuhnya untuk pengembangan kelembagaan, anggota, dan komunitas lainnya;
tidak mempu-nyai pembatasan kecuali kebijakan manajement.
Lembaga
pengelola dana umat (LPDU) didirikan atas niat kepentingan umum (umat), bukan
untuk sekelompok orang yang menjadi anggotanya. Lembaga ini bergerak dalam
bidang penitipan amanat dalam bentuk harta dari para penyandang dana karena
adanya ajaran syariah; bukan karena maksud mempengaruhi pihak lain. Lembaga ini
bergerak terbatas sesuai dengan sifat dari dana yang diperolehnya. Dana yang
diperolehnya tidak dapat untuk mengembangkan kelembagaan secara sembarang atau
sekehendak pengelola, namun dibatasi oleh aturan syariah. Sifat ini yang
membedakan LPDU dengan lembaga nir laba lainnya. Akibatnya standar akuntansi untuk organisasi nir laba
tidak dapat sepenuhnya diaplikasikan dalam LPDU.
C. Sistem Pemungutan zakat
Beberapa
ayat al-Quran memaparkan kewajiban mengeluarkan zakat bagi seorang mukmin; juga
kewajiban memungut zakat bagi yang berwenang. Hal ini mencerminkan bahwa dalam
pemenuhan kewajiban zakat dapat melalui dua sistem, yaitu sistem self
assessment dan sistem official assessment.
Sistem self assessment mencerminkan bahwa kewajiban zakat
dihitung sendiri oleh muzaki, dan didistribusikan oleh muzaki dan atau oleh
amil. Ini didasarkan pada al-Qur’an sebagai berikut:
(#qßJŠÏ%r&ur
no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨“9$# (#qãèx.ö‘$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
“Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang
ruku’ (QS al-Baqarah: 43)
Sistem ini dilakukan apabila tidak ada lembaga pengelola
zakat yang dapat dipercaya berdasar-kan pandangan ulama dan pemerintah.
Sistem
official assessment mencerminkan pemungutan zakat oleh para amil yang terdaftar
dan dilindungi oleh hukum. Ini didasarkan pada ayat al-Qur’an sebagai berikut:
õ‹è{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y‰|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.t“è?ur
$pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgø‹n=tæ ( ¨bÎ)
y7s?4qn=|¹ Ö`s3y™ öNçl°; 3 ª!$#ur ìì‹ÏJy™ íOŠÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (Q.S. Al-Taubah: 103)
Sistem ini mengandung unsur paksaan, dan diterapkan apabila
kewajiban zakat tidak dipenuhi oleh seorang mukmin. Pelaksanaan sistem ini
harus didasari dengan hukum positif yang jelas dan tegas.
Selain dua
sistem pemungutan zakat di atas, juga para muzaki terkadang meminta bantuan
kepada amil untuk menghitung dan mengambil zakatnya. Pada kondisi ini muzaki
dan amil sama-sama aktif untuk menetapkan nilai kewajiban zakat seseorang.
Pada saat
melakukan perhitungan dasar pengenaan zakat baik muzaki dan amil selalu
memperhatikan prinsip keadilan antara hak dan kewajiban muzaki dan mustahik.
Perhitungan harus menghasilkan dasar yang jelas sehingga nilai zakat tidak
memberatkan muzaki dan tidak merugikan mustahik. Metode yang dapat
dipertanggungjawabkan harus dikembangkan dan ditentukan secara tegas dalam
suatu standar atau peraturan perundang-undangan, walaupun banyak yang
berpendapat bahwa dasar pengenaan zakat dapat dilakukan berdasarkan taksiran,
misalnya tersirat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Said bin Musaiyib bahwa
“Nabi SAW mengirim seseorang untuk menaksir banyak zakat anggur dan buahan
mereka”
Untuk melakukan penaksiran diperlukan keahlian yang
didasarkan pada pengalaman atau pengetahuan yang diakui secara umum dan
terbuka. Orang yang melakukan pekerjaan ini selayaknya sudah melalui uji
kompetensi, sehingga zakat yang ditetapkan lebih mendekati tujuan syariah zakat
itu sendiri.
D. Pengelolaan dan Penyaluran Dana Umat
Dana umat
dikelola dalam rangka ghaniyun lil an (menyelesaikan masalah ekonomi saat ini)
dan ghaniyun lil ghad (menyelesaikan masalah ekonomi berkelanjutan). Cara
pertama bersifat konsumtif dan cara kedua bersifat produktif atau investasi.
Cara pertama dilakukan dengan membagikan dana zakat kepada mustahik untuk
menanggulagi masalah ketidakmam-puan pembiayaan hidup keseharian yang bersifat
primer; sedangkan cara kedua dilakukan untuk memberikan modal kerja atau
investasi bagi mustahik sehingga kelak mereka dapat menjadi muzaki.
Selain kedua cara di atas, terkadang
para pengelola zakat melakukan investasi dan penyimpanan dana zakat yang
menghasilkan return, atau mengelolanya sebagai modal; kerja dalam suatu usaha
perdagangan, sehingga dari modal kerja di atas menghasilkan pendapatan. Cara
ini hampir tidak dihindari oleh para pengelola, misalnya lembaga amil zakat
mendirikan bangunan untuk pendidikan dari dana zakat, kemudian menghasilkan
return dari pemasukan sumbangan uang pendidikan, atau membelikan sesuatu untuk
pihak tertentu dari dana zakat serta memiliki nilai lebih dari harga
perolehannya. Return dari pengelolaan dana zakat ini harus ditentukan apakah
sebagai tamabahan dana zakat atau tambahan dana milik lembaga amil zakat.
Pada
prinsipnya dana zakat harus dipergunakan secara spesifik dan memegang prinsip
“pemasukan sama dengan pengeluaran”, tidak ada dana cadangan, dan dana tidak
menumpuk dalam lembaga pengelola zakat. Dana yabg berasal dari zakat selalu
habis, kecuali dana zakat bagian amil. Untuk itu pengelola harus mempunyai
wailayah binaan dan mengidentifikasi mustahik dan program-program pemberdayaan
zakat.
Subjek dan
objek zakat pada masa sekarang diperluas sehingga ada istilah zakat
konvensional dan zakat kontemporer. Jenis zakat terakhir misalnya zakat atas
uang, surat berharga, aktiva produktif, penghasilan dari pekerjaan, penghasilan
dari usaha jasa dan industri, penghasilan dari profesi, dan penghasilan lainnya
yang bersifat menambah harta kekayaan seorang muslim. Penetapan dasar pengenaan
zakat kontemporer membutuhkan metode yang sistematis dan lebih mendekati
kemudahaan bagi pengelola, dan keadilan bagi muzaki maupun bagi mustahik. Ini
membutuhkan pengelolaan yang profesional.
E. Tugas Pokok Akuntansi
Akuntansi
dalam arti suatu proses mempunyai lima tugas pokok, yaitu: pengakuan,
penentuan, perlakukan dan pencatatan,
penyajian, dan pengungkapan (IAI, 1994).
1. Pengakuan,
artinya transaksi keuangan yang terjadi ditetapkan pengakuan hak
kepemilikan-nya. Dalam dunia usaha terdapat beberapa pendekatan untuk mengakui
kepemilikan suatu harta, atau timbulnya suatu kewajiban kewajiban; misalnya FOB
shipping point, FOB destination untuk barang.
2. Penentuan,
artinya suatu harta atau kewajiban setelah diakui kepemilikannya, proses
selanjutnya adalah menentukan nilai dari suatu harta atau kewajiban. Banyak
metode dalam menentukan nilai suatu aktiva atau utang yang dapat diakui,
midalnya metode harga pokok, metode harga pasar, nilai pengganti, nilai
sekarang, dan lainnya.
3. Perlakukan dan
pencatatan, yaitu proses memperlakukan transaksi keuangan yang sudah diakui dan
ditentukan nilainya dalam kelompok aktiva, utang, ekuitas, pendapatan, atau
beban (expense), yang dituangkan dalam pencatatan dalam bentuk jurnal dan buku
besar. Proses ini sangat penting dalam rangka penyusunan laporan yang
sistematis.
4. Penyajian. Tugas
akuntansi ini adalah suatu proses pelaporan hasil dari pencatatan. Bentuk
laporan dapat berupa report dan dapat pula berbentuk statement. Penyajian ini
dilakukan untuk tujuan memenuhi harapan pihak internal maupun eksternal sebagai
bahan untuk mengukur posisi keuangan, posisi kas, kinerja manajerial, dan
kinerja organisasi.
5. Pengungkapan.
Proses ini akan menyatu dengan laporan keuangan, karena pengungkapan merupakan
penjelasan kondisi organisasi, catatan atas laporan keuangan, kinerja non
keuangan yang telah dicapai, dan hal-hal lain yang tidak dapat dicantumkan
dalam laporan keuangan. Pengungkapan ini menjadi sangat penting artinya apabila
suatu organisasi sepenuhnya milik stakeholders, bukan hanya
stockeholder/sharehoder.
F. Akuntansi Zakat
Sebagaimana dijelaskan di atas, fungsi akuntansi adalah
memberikan panduan dan metode yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan
dalam menetapkan dasar pengenaan zakat, dan proses pertanggungjawaban keuangan,
sehingga dapat mendekati prinsip keadilan bagi muzaki, amil dan mustahik. Satu
sama lain tidak saling menganiaya dan dianiaya. Ini sesuai dengan pesan ayat
al-Qur’an sebagai berikut:
… ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ‘ öNà6Ï9ºuqøBr& Ÿw šcqßJÎ=ôàs? Ÿwur šcqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ
“… dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu
tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (QS al-Baqarah: 279).
Pembahasan mengenai akuntansi zakat akan mengacu pada tugas
pokok akuntansi dengan menyajikan prinsip-prinsip umum yang perlu didiskusikan
dan dicarikan solusinya.
1. 1. Pengakuan
Suatu harta yang dilimpahkan oleh seorang muslim ke amil
zakat dapat dinyatakan sebagai harta zakat harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1) Zakat dilakukan
oleh muslim.
2) Zakat atas
harta yang dimiliki.
3) Zakat dari
harta yang halal.
4) Zakat dilakukan
atas dasar niat, dan dapat dituangkan dalam bentuk lisan, perbuatan dan dokumen
tertulis.
Berdasarkan syarat-syarat di atas, maka untuk proses
pengakuan dalam akuntansi zakat adalah bahwa suatu penerimaan dana dari muslim
perlu dinyatakan sejala jelas bahwa dana tersebut adalah dana zakat. Untuk
memperjelas hal ini perlu adanya dokumen pengakuan dari muzaki baik berupa slip
setoran, atau keterangan dalam media elektronik (misalnya melalui e-zakah). Ini
sangat penting dalam rangka proses manajemen dana umat, dan menjadi dasar
pembuatan pertanggungjawaban amil zakat.
Pengakuan suatu aktiva, pendapatan dan beban dalam akuntansi
zakat dapat berdasarkan cash bases dan dapat pulan berbasis akrual (accrual
bases). Prinsip ini diharpakan bersifat konsisten. Namun tidak menutup
kemungkinan berdasarkan basis campuran, misalnya penghasilan berbasis akrual dan
kas, dan beban berbasis kas dan akrual, karena prinsip ini mengandung utang
piutang. Dalam zakat piutang wajib dizakati dan utang dapat dikurangkan dari
dasar pengenaan zakat (DPZ.).
1. 2. Penentuan
Zakat dapat dihitung dengan sistem self assessment dan dapat
pula dilakukan secara official assessment. Ada dua proses dalam penentuan ini,
yaitu penentuan dasar pengenaan zakat dan penentuan nilai zakat itu sendiri.
Penentuan dasar pengenaan zakat (DPZ) dilakukan dengan menilai harta yang akan dizakati,
yaitu berdasarkan taksiran nilai yang mendekati nilai sesungguhnya. Sedangkan
penentuan nilai zakat dilakukan dengan mengalikan tariff yang telah ditetapkan
berdasarkan syariah terhadap DPZ-nya.
Pada saat menentukan DPZ perlu diperhatikan azaz keberadilan,
di mana pihak muzaki tidak diberatkan, namun juga tidak mengurangi hak
mustahik. Penentuan DPZ dapat dilakukan dengan penaksiran nilai oleh seorang
ahli yang didasarkan pada tingkat pendidikan, pengalaman dan kompetensinya.
Penaksiran nilai suatu aktiva dapat dilakukan dengan berbagai dasar dan cara,
antara lain atas dasara ahrga perolehan (at cost), harga pasar (at market),
nilai sekarang (present value), nilai pengganti (replacement cost), nilai yang
dapat direalisir (realizable value) dan harga eceran.
Penilaian berdasarkan harga perolehan mempunyai kendala pada
saat harga barang berfluktuasi, terjadi perbedaan harga antara perolehan barang
yang satu dengan barang lainnya yang sejenis. Jika kondisi harga barang naik,
barang yang ada pada saat haul dinilai last in first out (LIFO), maka nilai
barang yang ada akan lebih kecil sehingga akan mengurangi hak mustahik.
Sebaliknya jika barang yang ada dinilai dengan cara first in first out (FIFO),
maka nilai barang yang ada adalah untuk barang yang dibeli pada akhir-akhir
periode haul. Metode FIFO lebih mendekati keberadilan dibandingkan dengan
metode LIFO. Untuk memberikan suatu keberadilan penilaian persediaan barang
dengan metode at cost, maka digunakanlah metode rata-rata (average). Penilaian
atas dasar ini tidak dapat mencerminkan nilai barang pada saat haul.
DPZ dapat
terdiri dari nilai harta, yaitu barang dagang dan surat berharga, dan juga
penghasilan. Formula dasar yang dipergunakan untuk menilai DPZ tampak sebagai
berikut:
DPZ = (Nilai harta + Penghasilan) – (Utang + Kebutuhan
Minimum)
Harta yang
menjadi unsur DPZ disesuaikan dengan objek zakat, yaitu terdiri dari:
1) Kas, yaitu uang
tunai dan sejenisnya misalnya tabungan, giro, deposito dan sejenisnya.
2) Piutang yang
masih dapat diterima.
3) Surat-surat
berharga.
4) Barang
dagangan.
5) Harta tetap
yang menghasilkan.
Sedangkan penghasilan terdiri dari:
1) Hasil dari
pekerjaan dan pekerjaan bebas.
2) Hasil
pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
3) Hasil
petenakan, perikanan dan yang dihasilkan dari produksi dan jasa hewan.
4) Hasil
pengelolaan harta, yang berupa jasa, royalty, hak cipta, dan sewa.
5) Hasil lainnya,
misalnya hadiah, dan sejenisnya.
Jenis jenis penghasilan di atas sangat diperlukan penentuan
nilainya, tidak terkecuali Kas dalam bentuk valuta asing, apakah dipergunakan
nilai beli atau nilai jual. Kurs pasar atau kurs tengah. Semuanya itu
didasarkan pada cara penaksiran yang sistematis, rasional dan dapat
dipertanggungjawabkan. Teknik penilaian ini hanya ada pada akuntansi.
Utang sebagai unsur
pengurang DPZ perlu ditentukan apakah seluruh nilai utang, atau hanya sebagian
utang saja. Uutang yang dapat dikurangkan dari harta yang akan dizakati adalah
utang jangka pendek. Namun untang jangka pendek yang mana, jika utang jangka
pendek dipergunakan untuk pembelian harta yang tidak terutang zakat, maka tidak
dapat dikurangkan. Untuk menentukan nilai utang ini diperlukan metode yang
sistematis, rasional dan akuntabel.
Penghasilan sebagai DPZ dapat berupa penghasilan bruto atau
penghasilan neto. Ini akan bergantung pada cara penentuan zakat. Jika
dipergunakan DPZ penghasilan neta, maka jenis penghasilan ini dihasilkan dari
pengurangan penghasilan bruto dengan biaya yang telah dikeluarkan yang bersifat
operasional dan tidak berlebihan (israf).
Untuk kebutuhan dasar tidak dapat dipastikan penentuannya,
karena masing-masing orang tidak akan sama, misalnya seorang dokter yang
mempunyai penghasilan yang sama dengan seorang pengusahaan angkutan akan
berbeda kebutuhan dasarnya. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan dasar bersifat
situasional.
Semua uraian tentantg proses penentuan dalam akuntansi zakat
masih harus didiskusi-kan secara seksamna sehingga dapat diperoleh standardisasinya.
Hal ini karena sampai saat ini masih belum memiliki pedoman penentuan harta,
utang, penghasilan dan beban.
1. 3. Perlakukan dan pencatatan
Proses perlakuan dan pencatatan dalam akuntansi zakat hanya
dilakukan oleh amil sebagai pengelola. Perlakukan dimaksudkan untuk menetapkan
dana umat masuk dalam kategori dana zakat atau dana non zakat. Dana zakat perlu
diklasifikasi dalam dana untuk setiap ashnaf, dan diperlakukan terpisah dengan
akun Kas, karena sudah pasti penggunaannya. Begitu pula untuk mencapai prinsip
keseimbangan, perlu diperlakukan dana zakat yang belum tersalurkan sebagai
utang kepada para ashnaf.
Dana zakat yang diinvestasikan atau dijadikan modal kerja
dan menghasilkan, maka hasilnya harus diperlakukan sebagai penambah dana zakat
yang bersangkutan. Hal ini sangat penting karena dana zakat adalah milik para
ashnaf tertentu, dan tidak dapat dipergunakan untuk aktivitas lain yang tidak
mempunyai dampak pada pembinaan ashnaf yang bersangkutan. Dana zakat harus
diperlakukan secara spesifik dan berbeda dengan dana umat non zakat.
Dana umat yang diperoleh, didistribusikan, dan dikembangkan
melalui investasi atau sebagai modal kerja diperlakukan sesuai dengan prinsip
syariah, dapat dilihat dari pencatatannya.
Proses pencatatan dalam akuntansi merupakan aktivitas
merekam transaksi keuangan dalam buku jurnal dan buku besar, yang mencerminkan
akun-akun sebagai bentuk perlakukan. Proses perlakukan dan pencatatan merupakan
kegiatan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya transaksi keuangan akan
diperlakukan dan dicatat sebagai aktiva, utang, ekuitas, penghasilan dan beban.
Proses
perlakuan dan pencatatan akan menjadi pasti apabila dikaitkan dengan posisi
suatu organisasi. Pengelola dana umat, baik BAZ, LAZ atau bentuk lain merupakan
suatu badan yang tidak mempunyai pemilik (shareholder/stockhorlder). Lembaga
ini mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Lembaga
pengelola dana umat merupakan bentuk layanan umat (BLU).
2) Asset yang ada
dalam lembaga tersebut bukan milik lembaga yang bersangkutan.
3) Tidak mempunyai
kepemilikan (equities), sehingga asset tidak dapat dijaminkan dan lembaga
tersebut tidak boleh penambahan dana melalui utang/pinjaman dari pihak ketiga.
Nama akun yang menampung selisih antara harta dan kewajiban masih perlu
didiskusikan.
4) Pengelolaan
dana harus didasarkan pada prinsip dan tujuan syariah, sehingga diperlukan
akuntansi syariah yang sesuai, tidak menggunakan standar akuntansi yang ada
(PSAK 45).
Proses dan prinsippPerlakuan dan pencatatan akan berpengaruh
pada pelaporan sebagai proses penyajian.
1. 4. Penyajian
Akuntansi keuangan sebagai suatu teknis akan menghasilkan
laporan keuangan yang ditujukan kepada para pemakai luar organisasi. Lapaoran
keuangan ini sebagai salah satu alat pertanggungjawaban manajemen atas
operasionalisasi organisasi yang dikelolanya.
Laporan keuangan yang disajikan mencerminkan posisi keuangan, perubahan
ekuitas, kinerja, dan arus kaas. Posisi keuangan dicerminkan dalam laporan
neraca; perubahan ekuitas dicerminkan dalam laporan perubahan wkuitas; kinerja
keuangan dicerminkan dalam laporan aktivitas; dan posisi kas dicerminkan dalam
laporan arus kas. Penyusunan laporan keuangan ini merupakan proses penyajian.
Penyajian Posisi Keuangan
Posisi
keuangan disajikan dalam lapaoran neraca, yang mencerminkan asset,
kewajian dan ekuitas. Dalam akuntansi
zakat laporan neraca harus mencerminkan antara lain:
1) Kas merupakan
akun yang menampung uang dan sejenisnya yang dapat dipergunakan kapan saja dan
untuk kegiatan apa saja.
2) Akun dana
merupakan uang tunai yang diperoleh dari dana umat yang penggunaannya untuk
kegiatan sepesifik, midalnya akun dana zakat, akun dana wakaf, akun dana
lainnya.
3) Akun investasi
dalam jangka pendek maupun jangka panjang dirinci dengan akun investasi dari
dana zakat, akun investasi dari dana wakaf, akun investasi dari dana lainnya.
Investasi dapat berupa surat-surat berharga, tanah, bangunan dan asset lainnya.
4) Utang
diklasifikasikan berdasarkan utang lancer dan utang jangka panjang berdasarkan
sumber dana (dari zakat per muzaki, dari wakaf per muwakif, dan lainnya).
5) Aset selain
uang tunai yang diterima dari umat diperlakukan sebagai aset titipan dan
merupakan utang lembaga pengelola untuk memanfaatkannya, bukan merupakan
ekuitas (modal donasi).
6) Aset yang
berasal dari para pendiri lembaga pengelola zakat juga merupakan asset titipan,
bukan ekuitas lembaga yang bersangkutan.
7) Lembaga yang
bersangkutan hanya mempunyai ekuitas dari hasil pengelolaan dana yang
dialokasikan untuk cadangan. Jika lembaga ini dibubarkan atau bubar, maka sisa
dana seluruhnya diserahkan kepada mustahik, lembaga sosial, pemerintah, atau
lembaga penge-lola dana umat lainnya.
8) Dan masih
banyak lagi prinsip-prinsip penyajian posisi keuangan lembaga pengelola dana
umat yang harus didiskusikan lebih lanjut.
Penyajian Aktivitas
Pada
prinsipnya lembaga pengelola dana umat diperbolehkan melakukan kegiatan yang
berorientasi pada laba dalam rangka pengembangan dana umat itu sendiri sehingga
mempunyai cadangan dana yang cukup untuk melakukan kegiatan sosialnya. Namun
ini hanya merupakan satu aktivitas yang menjadi satu kesatuan aktivitas lembaga
pengelola dan umat secara keseluruhan sebagai entitas. Oleh karena itu
penghasilan yang diperoleh dan beban yang ditanggung disajikan dalam laporan
aktivitas, dan disajikan untuk selama satu tahun takwim atau satu haul lembaga
yang bersangkutan.
Penyajian laporan aktivitas menganut prinsip-prinsip antara
lain sebagai berikut.
1) Penghasilan
dari pengelolaan dana umat harus dirinci berdasarkan penghasilan dari dana
zakat per ashnaf, dari dana wakaf per muwakif, dan dari dana lainnya.
2) Beban
pengelolaan dana umat dirinci berdasarkan beban untuk dana zakat per ashnaf,
untuk dana wakaf per muwakif., dan beban lainnya.
3) Surplus yang
terjadi akibat hasil pengurangan penghsilan dan beban-beban harus mencer-minkan
sumber dananya, dan mencerminkan surplus yang dialokasikan untuk cadangan.
Penyajian Arus Kas
Arus kas
disajikan dalam laporan arus kas, yang mencerminkan sumber dan penggunaan kas
yang ada sehingga dapat diketahui saldo kas sebagaimana tercantum dalam laporan
neraca. Laporan arus kas untuk lembaga pengelola dana umat harus memenuhi
prinsip-prinsip antara lain sebagai berikut.
1) Laporan arus
kas harus mencerminkan pemasukan dan penggunaan uang tunai.
2) Sumber
pemasukan uang tunai perlu dirinci berdasarkan dari zakat, wakaf, pengelolaan
dana, dan lainnya.
3) Pengeluaran
uang tunai perlu dirinci berdasarkan untuk muzaki per ashnaf, pengelolaan dana
dan aset wakaf, investasi, dan lainnya.
1. 5. Pengungkapan
Laporan keuangan yang disajikan merupakan ikhtisar dari
proses pencatatan, yang tidak dapat memberikan informasi yang cukup bagi
pengguna untuk dapat menilai posisi dan kinerja suatu organisasi termasuk
lembaga pengelola dana umat. Untuk memberikan harapan yang lebih dapat dipahami
maka laporan keuangan memerlukan penjelasan-penjelasan sebagai suatu
pengungkapan kejadian atau keadaan keuangan dan non keuangan lembaga pengelola
dana umat (LPDU). Pengungkapan dapat mencakup kedudukan lembaga termasuk visi
dan misinya; rincian akun; metode yang dipergunakan; system distribusi zakat;
capaian kinerja financial dan non financial; dan lainnya.
Akun dana, penghasilan dan beban dapat disajikan dalam
laporan neraca dan laporan aktivitas secara global, dan rinciannya disajikan
dalam pengungkapan. Hal ini dilakukan karena rincian sangat diperlukan bagi
para pengguna laporan keuangan sehingga tidak cukup waktu untuk melihat dalam
pembukuannya, maka mutlak diperlukan penyajian sebagai bagaian laporan
keuangan.
Kinerja keuangan yang dianalisis berdasarkan alat analisis
keuangan yang disyaratkan oleh syariah dana umum, misalnya rasio distribusi
dana, perolehan dana dan penggunaan dana disajikan dalam pengungkapan. Ini
diperlukan untuk melihat pertanggungjawaban LPDU mengapa ada dana yang ridak
tersalurkan, atau apakah ada dana yang disalurkan ke mustahik melebihi bagian
yang lain. Kinerja juga dapat berupa kinerja non-keuangan, misalnya berapa
musthik yang dapat dibina apakah potensial untuk menjadi muzaki atau hanya
bersifat konsumtip; daerah binaan dan lainnya.
Pengungkapan juga mencerminkan metode penilaian persediaan
barang, surat berharga, metode penyusutan aktiva tetap dan metode akuntansi
yang dipergunakan; dan apakah dana yang bagaimana dana cadangan dibentuk.
Selain itu juga memuat kebijakan LPDU dalam mengelola dana umat baik dana zakat,
wakaf dan dana lainnya.
Dana umat dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yang
mempunyai karakteristik yang berbeda, yaitu:
1) Dana zakat,
yang mempunyai sifat wajib bagi muslim yang mampu, dan disalurkan untuk
pihak-pihak yang spesifik (nustahik). Dana ini diharapkan habis disalurkan
dalam satu haul, tidak boleh ada sisa; baik untuk tujuan konsumtif maupun
tujuan produktif. Tujuan dana ini antara lain adalah mengentaskan kemiskinan.
Pihak muzaki dan amil tidak dapat sembarang menentukan penyalurannya, tanpa
memperhatikan ashnaf sebagai mustahik.
2) Dana wakaf,
yang bersifat tidak wajib dan memiliki keleluasaan penggunaannya, namun pihak
muwakif dapat menentukan batas waktu dan penggunaan harta yang diwakafkannya.
3) Dana lainnya yang
disumbangkan oleh muslim kepada LPDU. Jenis dana ini bersifat suka rela dan
biasanya bebas untuk memanfaatannya.
Jenis-jenis dana di atas perlu diungkapkan dan dijelaskan
implementasi penyaluran dan pemanfaatannya, sehingga dapat diketahui kinerja
LPDU dan dapat dijadikan bahan pertimbangan
untuk pengambilan keputusan bagi pihak yang berkepentingan.
G. Standardisasi Akuntansi Zakat
Praktik
akuntansi dalam LPDU akan terkait dengan beberapa bidang akuntansi, misalnya
akuntansi manajemen, sistem informasi akuntansi, pemeriksaan akuntan, dan
akuntansi keuangan. Dari beberapa bidang akuntansi, yang sangat mendesak untuk
disusun standarnya adalah akuntansi keuangan dan pemeriksaan akuntan. Akuntansi
manajemen dan sistem informasi akuntansi dapat disusun berdasarkan standar
akuntansi keuangan dengan format sesuai kebutuhan LPDU itu sendiri. Ini sangat
diperlukan untuk dapat memberikan kepastian informasi yang wajar dari lembaga
yang bersangkutan.
Standar
akuntansi keuangan untuk LPDU mencerminkan proses pengakuan, perlakuan,
pencatatan, penyajian dan pengungkapan atas dana yang dikelola LPDU. Standar
akuntansi keuangan dana umat (SAKDU) harus dituangkan tersendiri karena
memiliki karakteristik yang unik dan sangat berbeda dengan transaksi keuangan
lainnya.
Penyusunan
SAKDU harus melibatkan semua pihak yang dianggap sebagai agent dan stakeholder.
Agent adalah para pengelola LPDU yang mempunyai kepentingan untuk
memper-tanggungjawabkan operasi lembaga yang dikelolanya, dan stakeholder
adalah pihak-pihak yang terkait dengan dana umat, musalnya muzaki, mustahik,
muwakif, pemerintah, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, majelis
ulama, para cendikiawan, Ikatan Akuntan Indonesia dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan.
KSAKDU
Proses
penyusunan SAKDU adalah sebagai berikut.
Draf SAKDU
Hasil seminar/loka karya
stakeholders dan agents
Draf Ketetapan SAKDU
Public hearing
IAI, Pemerintah dan MUI
Konvensi
DPR atau Pemerintah
Diundangkan atau di-SK-an
Implementasi
LPDU
H. Peran Akuntansi Dalam Menyehatkan LPDU
Pada
proses pengakuan dan penetapan nilai dasar pengenaan zakat akuntansi sangat
berperan dan banyak dibahas oleh parah ahli antara lain, Mursyidi (2004),
‘Isham Abdul Hadi (1999), Sami Ramadhan (1994), Husayn Syahatah (2005), Nadjdi
Rifa’I (1991), Syauqi Isma’il Syahathah (1408H), Muhammad Kamal ‘Athiyah
(1406H). Mereka membahas tentang prinsip-prinsip dasar dan tata cara penetapan
dasar penganaan zakat untuk berbagai aspek harta dan penghasilan. Konsep-konsep
yang dikemukakan atas dasar penelitian dan fatwa yang disarikan dari hasil
seminar dan loka karya tentang zakat misalnya kumpulan fatwa yang dikeluarkan
oleh Baituz Zakah Kuwait (1979 – 1989); Ketetapan Majma’ al-Fiqh al-Islami di
Madinah; hasil muktamar penetapan zakat kontemporer, Universitas al-Azhar
Kairo; dan ketetapan Majma’ al- Buhuts al-Islamiyah, Rabithah al’Alam
al-Islami.
Sedangkan
proses perlakuan zakat dalam arti pencatatan (recording) dan pelaporan
(reporting) masih belum memiliki standar sehingga interpretasi implementasinya
masih diserahkan kepada amil atau pengelola atau agent yang bersangkutan. Proses ini sangat penting manakala
stakeholders ingin mengatahui posisi dan kinerja amil atau kinerja LPDU. Untuk ini diperlukan kajian khusus baik
secara konseptual (teoritis) maupun praktis (penyusunan standar).
Kajian akuntansi yang terkait dengan syariah dinamakan
akuntansi syariah (Iwan Triyuwono, 2000), yaitu proses akuntansi yang
menyediakan informasi operasi dan keuangan suatu organisasi yang sesuai dengan
prinsip syariah (Hameed, 2003). Akuntansi syariah dalam tatanan filosofis
teoritis difokuskan pada metodologi membangun dan mengembangkan akuntansi yang
didasari oleh praktik dan folosofi syariah. Wacana ini diawali dari penentuan
tujuan akuntansi syariah, kemudian metodologi dan penentuan teoritisnya
(Triyuwono, 2000; Harahap, 2001). Pada tatanan praktis, akuntansi syariah
merupakan akuntansi yang sudah diterapkan di lembaga/organisasi midalnya bank
syariah, (PSAK 59) dan baitul maal wat
tamwil (BMT). Baik tatanan teoritis maupun praktis, akuntansi syariah untuk LAZ
dan BAZ, dan lembaga pengelola dana umat (ummah fund) lainnya masih terlihat
konvensional dan belum mempunyai standarnya.
Gambling dan Karim (1991), Baydoun dan Willet (1994, 2000),
Rahman (2000) Haniffa dan Hudaib (2001) Yaya (2002), dan Hameed (2003)
memberikan penjelasan bahwa akuntansi syariah harus mengungkapkan Islamic value
untuk tujuan akuntabilitas yang tidak hanya terbatas pada ukuran keuangan dan
berorientasi pada direct stakeholders, namun lebih luas lagi indirect
stakeholders seperti masyarakat luas. Khan (1994) menjelaskan bahwa informasi
yang diungkapkan tidak hanya untuk mengevaluasi kemampuan manjaga aset,
memelihara likuiditas, penggunaan sumber daya yang profitable dan keputusan
terhadap syariah, namun juga informasi pertenggungjawaban kepada karyawan,
pelanggan, masyarakat dan lingkungan
Produk akhir dari akuntansi adalah informasi keuangan, yang
akan diinterpretasikan oleh para pemakainya untuk melihat posisi dan kinerja
sumber informasi baik dari bidang keuangan maupun aktivitasnya (Bodnar, 2000).
Formulasi untuk melihat posisi dan kinerja keuangan suatu organisasi disebut
analisis laporan keuangan. Garrison (1988) menyatakan bahwa tujuan pelaporan
keuangan adalah membantu para pemakai potensial laporan keuagan untuk
memprediksi masa depan melalui perbandingan, evaluasi dan analisa. Pendekatan
yang menarik adalah menggunakan ratio keuangan dalam bentuk model-model untuk
memprediksi apakah suatu perusahaan menuju kegagalan atau kesuksesan bisnis.
Untuk kondisi ini para stakeholder belum bisa melihat kinerja dan posisi
lembaga pengelola umat, karena informasi yang dihasilkannya masih beragam
karena belum memiliki standar.
Pembentukan suatu standar (termasuk standar akuntansi dana
umat) dapat berawal adanya tekanan atau harapan yang kuat (pressure) dari para
stakeholder, baik secara langsung maupun tidak langsung, juga dapat berawal
dari kebutuhan para pengelola dana umat itu sendiri sebagai agent. Ada beberapa
pendekatan yang dapat dilakukan untuk membuat suatu standar, yaitu pendekatan
teori keagenan (agency theory) dan teori stakeholder. Kedua teori ini salaing
melengkapi, di mana semua pihak yang terkait dan mempunyai kepentingan terhadap
suatu organisasi dapat memberikan sumbangan, bahkan dapat memberikan tekanan
(pressure) terhadap pembentukan suatu
standar.
Teori-teori akuntansi syariah yang berkembang sampai saat
ini masih bertumpu pada organisasi bisnis yang berorientasi pada shareholders,
misalnya akuntansi untuk bank atau lembaga keuangan syariah, sehingga
rasio-rasio keuangannya pun ditujukan untuk organisasi bisnis, misalnya bank
syariah dan asuransi syariah; belum mencerminkan model yang mencapai visi, misi
dan tujuan syariah pengelolaan dana umat.
Dalam mengeksplor indikator-indikator kinerja keuangan dan
non-keuangan LPDU yang terkait dengan informasi akuntansi syariah dipergunakan
teori agen (agency theory) dan teori
stakeholder, yaitu teori deskriptif yang
berusaha untuk menjelaskan tindakan atau aksi dari pihak-pihak yang terlibat
hubungan kontrak dalam merubah metode pengukuran akuntansi (Kelly, 1983). Teori
ini memperlihatkan konflik kepentingan antara pemilik (principal) dan manajer
(agent). Zimmer & Whittred (1990: 21-37) dan Kiswara (1999: 5-8) juga
menjelaskan bahwa agency theory merupakan teori deskripsi yang menjelaskan
agency relationship.
Dalam perspektif syariah, LPDU merupakan lembaga yang
dimiliki oleh stakeholders, tidak oleh shareholders. Lembaga ini membawa misi
muamalah yang bersifat amanah. Haroen, 2000: ix menjelaskan bahwa prisnsip
muamalah adalah mengandung kemaslahatan, menjunjung tinggi prinsip-prinsip
keadilan, jujur, saling tolong menolong, tidak mempersulit, dan suka sama suka.
Transaksi dalam muamalah tersebut harus dicatat, yang sekarang dikenal dengan
akuntansi. Yusuf Abdurrahman & Unti Ludigdo (2004) menjelaskan bahwa
akuntansi harus lebih menekankan pada kepentingan pertanggungjawaban
(accountability) agar semua pihak yang terlibat dalam transaksi tidak
dirugikan. Dengan pencatatan yang jelas dan jujur dan menekankan pada konsep
akuntabilitas maka konflik antara pihak-pihak yang terlibat akan dapat
dihindari.
Akuntansi LPDU harus disusun sesuai dengan misi dan tujuan
syariah dana umat. Pengelola dana umat sebagai agent harus melakukan pencatatan
sesuai dengan misi dan tujuan zakat yang dapat diekplor dari harapan-harapan
stakeholders (principal). Dari sini akan dapat diukur kinerja LPDU tanpa
menimbulkan konflik yang signifikan, karena dapat memenuhi semua pihak; dan
konsep representation faithfulness dapat dicapai. Hal ini karena didasari
tujuan yang sama antara principal dan agent, yaitu pertanggungjawaban kepada
Allah SWT.
Untuk
melihat suatu lembaga dinyatakan sehat dapat diambil dari model good corporate
governance (GCG), yang digambarkan sebagai berikut:
Kontrol
Good Governance Performance
Akuntabilitas
Perencanaan Strategis
Implementasi
Sumber: Joko Widodo, 2001: 14
Aktivitas
yang tercermin dalam gambar di atas mengandung unsur keuangan (financials) dan non-keuangan (non
financial), yang timbul dari empat pusat pertang-gungjawaban (responsibility
center), yaitu investment center, revenue center, profit center, dan cost
center. Pusat pertanggungjawaban tersebut akan menerbitkan infor-masi yang
diproses dalam akuntansi pertanggungjawaban (responsibility accounting). Di
samping itu juga para pengelola harus menerbitkan informasi keuangan yang
dibutuhkan oleh para external users (kreditur, calon investor, penyandang dana
dan para stakeholders), yaitu laporan keuangan dari proses akuntansi keuangan
(laporan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja, Neraca, dan Laporan Arus
Kas).
Jika
meminjam istilah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 bahwa tujuan
pelaporan keuangan pemerintah adalah:
1. Akuntabilitas,
yaitu untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan
kebijakan yang dipercayakan kepada unit organisasi pemerintah dalam rangka
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui laporan keuangan pemerintah
secara periodik.
2. Manajerial,
yaitu menyediakan informasi keuangan yang berguna untuk perencanaan dan
pengelolaan keuangan pemerintah serta memudahkan pengendalian yang efektif atas
seluruh aset, hutang dan ekuitas dana.
3. Transparansi,
yaitu menyediakan informasi keuangan yang terbuka bagi masyarakat dalam rangka
mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
I. Simpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk pada saat ini
di Indonesia belum mempunyai standar akuntansi untuk melakukan proses penentuan
dasar pengenaan zakat (DPZ), perlakukan dan pencatatan pengelolaan zakat, dan
pelaporannya. Standar akuntansi sangat diperlukan untuk melakukan perencanaan,
dan memberikan interpretasi yang relatif seragam dari para stakeholders.
Adanya
undang-undang pengelolaan zakat dan wakat mengakibatkan terjadi ekstensifi-kasi
objek dan subjek zakat dan wakat, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi
nyata dan berkembang dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hal ini
mengakibatkan berbagai aspek permasalahan kontemporer timbul termasuk dalam
bidang penetapan nilai, sistem pengelolaan dana dan sistem akuntabilitas muncul
dan diperlukan penganganan yang serius. Salah satu aspek penting adalah
akuntansi dan aspek yang terkait di dalamnya.
Oleh
karena itu sangat perlu dilakukan penelitian, diskusi-diskusi, dan loka-karya
yang intens terutama mengenai system informasi akuntansi tentang pengelolaan
dana umat, sehingga syariah dari dana umat dapat tercapai.
J, Daftar Rujukan
Baydoun, N., and Willet, R.2000. Islamic Corporate Reports.
ABACUS, Vol 36. No.1.
Freedman, M. and Jaggi, B. (1988). An Analysis of the Impact
of Corporate Pollution Disclosures; A Reply. Advances in Public Interest
Accounting. Vol.2.
Freeman , R.E. (1984). Strategic Management: A Stakeholder
Approach, Boston. Fitman. USA.
Gambling, Trevor dan Rifaat Abdel Karim .1991. Bussines and
Accounting Ethics in Islam. London: Mansell.
Hameed, Shahul bin Hj. Muhamed Ibrahim.2003. Islamic
Accounting, A New Push. Akuntan Nasional: Januari-Pebruari 2003.
Harahap, Sofyan Safri. 2001. Menuju Perumusan Teori
Akuntansi Islam. Jakarta: Penrbit Quantum.
Husayn Syabathah. 1992. Halat Tathbiqiyah Haula Mauhasabah
azzakah wa al-Muhasabah al-Dharibah. Maktabah al-Taqwa.
Ikatan Akuntan Indonesia. 1994. Akuntansi Keuangan
Ikatan Akuntan Indonesia. Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah.
“Isham Abdul Hadi Abu Nashr. 1999. Al-Ithar al-Fiqhi wa
Muhasabi li al-Zakah.
Iwan Triyuwono dan Roekhuddin.1998. Konsistensi Praktik
Sistem Pengendalian Intern dan Akuntabilitas pada Lazis. Prosiding Simposium
Nasional Akuntansi II Ikatan Akuntan Indonesia. Malang.
IwanTriyuwono. 2000. Organisasi dan Akuntansi Syariah.
Yogyakarta: LKiS.
IwanTriyuwono. 2001. Metafora Zakat dan Shariah Enterprise
Theory sebagai Konsep Dasar dalam Membentuk Akuntansi Syariah. Jurnal Akuntansi
dan Auditing Indonesia. Volume 5 No.2 Desember 2001
Joko Widodo. 2001. Good Governance, Telaah dari Dimensi
Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otomomi Daerah.
Penerbit Insan Cendekia. Surabaya.
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000 tentang pedoman teknis pengelolaan zakat.
Khan, Muhammad Akram.1994. Accounting Issues and Concepts
for Islamic Banking. London: The Institute of Islamic Banking and Insurance.
Muhammad Kamal “Athiyah. 1406 H. Nadhariyah al-Muhasabah
al-Maliyah fi al-Fikr al-Islami. Bank Faishal. Ciprus.
Mursyidi. 2003. Akuntansi Zakat Kontemporer. Penerbit PT
Remaja Rosdakarya. Bandung
Najdi Riafa’i. 1991. Al-Muhasabah ‘an aa-Zakah. Al-Maktabah
al-“Alamiyah.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan.
Sami Ramadhan. 1994. Muhasabauz Zakah Fiqhan wa Tathbiqa.
Fakujltas Perdagangan Universitas al-Azhar. Kairo
Syauqi Isma’il Syahatah. 1977. Al-Tathbiq al-Mu’ashir li
al-Zakah. Dar al-Syuruq. Jeddah.
Undang-undang RI Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat.
Undang-undang RI Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Yaya, Rizal. 2001. From Conventional Accounting to Islamic
Accounting, Does it Need A Slight or An Extensive Overhaul?. Jurnal Akuntansi
dan Auditing Indonesia Vol. 5 No. 2 Desember 2001.PERAN AKUNTANSI DALAM MENYEHATKAN LEMBAGA PENGEOLA DANA UMAT
ISLAM
By mursyidi
Adanya undang-undang pengelolaan zakat mengakibatkan
tumbuh-kembang lembaga-lembaga swadaya mayarakat dalam bentuk lembaga amil
zakat (LAZ). Undang-undang ini memberikan ketentuan bahwa badan amil zakat
(BAZ) dan LAZ harus melaksanakan akuntabilitas dalam pengelolaanya, baik dalam
sektor kuangan maupun sektor non keuangan.
Akuntabilitas dalam sektor keuangan tidak terlepas dari
sistem pengelolaan dana zakat itu sendiri. Salah satu sitemnya adalah sistem
informasi akuntansi, yang sampai saat ini masih memi-liki keberagaman di antara
LAZ sehingga pengukuran kinerjanya masih beragam, bahkan tidak dapat dilakukan
sesuai dengan prinsip-prinsip pengukuran kinerja keuangan dan kinerja syariah
zakat itu sendiri. Untuk ini sangat diperlukan standardisasi akuntansi keuangan
yang khusus untuk pengelolaan keuangan dana zakat (dana umat) bukan berdasarkan
pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) organisasi nir laba yang ada
sekarang.
Akuntansi keuangan mempunyai tugas pokok: pengakuan,
penentuan, perlakuan, penya-jian, dan pengungkapan. Pada proses pengakuan dana
umat didasarakan pada persyaratan syariah yang berlaku; penentuan dilakukan
dengan dasar perkiraan yang rasional dan berkeadilan, yang dapat dilakukan
dengan teknik-teknik akuntansi. Proses perlakuan, penyajian dan pengung-kapan
dapat sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip akuntansi yang disesuaikan dengan
harapan dari syariah dana umat.
Sampai dengan makalah ini dibuat, belum ada standar yang
dapat dipergunakan dalam menjalankan akuntansi dana umat baik yang dikeluarkan
melalui peraturan perundang-undangan maupun oleh Ikatan Akuntan Indonesia.
Kondisi inilah yang menjadi pemicu untuk menyampaikan gagasan-gagasasn tentang
akuntansi dana umat terutama dana zakat. Hal ini dilakukan karena dana zakat
memiliki spesifikasi tersendiri dan berbeda dengan dana-dana lainnya.
Ada tida jenis dana yang berasal dari umat, yaitu: pertama,
dana yang sifatnya sumbangan dan tidak wajib, yang dikenal di Indonesia dengan
istilah sedekah dan infak. Dana ini dapat diperguna-kan secara bebas, kapan dan
di mana saja asalkan untuk kesejahteraan umat; kedua, dana wakaf, yang
mempunyai sifat sunnah, tidak wajib namun pihak yang memberi wakaf dapat
menentukan batas waktu dan penggunaannya, pihak pengelola tidak bebas untuk
meman-faatkannya; dan ketiga adalah dana zakat. Jenis dana yang ketiga ini
bersifat wajib bagi umat yanh mampu dan memenuhi persyaratan, dan
pengelolaannya sangat khusus, dan mempunyai tata cara distribusinya yang sangat
ketat.
Sajian dalam makalah ini bukan merupakan hasil penelitian
secara empirik, namun hanya merupakan kajian pengamatan dan teoritis yang
diolah menjadi gagasan baru untuk dapat menja-di wacana baru yang harus
didiskusikan lebih intensif, sehingga dapat menghasilkan standar akuntansi
pengelolaan dana umat (SAPDU). Standar akuntansi sangat diperlukan untuk
melakukan perencanaan, dan memberikan interpretasi yang relatif seragam dari
para stakeholders terhadap lembaga pengelola dana umat (LPDU), dan juga dapat
dijadikan informasi untuk mengu-kur kinerja LPDU, dan para pengelolanya.
A. Pendahuluan
Setiap
organisasi/lembaga/badan baik berorientasi laba dan nir-laba harus mempertang-gungjawabkan
aktivitasnya dalam bentuk kualitatif maupun kuantitatif. Salah satu
pertanggung-gungjawaban dari sektor keuangan adalah hasil dari proses
akuntansi, yang berbentuk laporan keuangan.
Akuntansi
diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu akuntansi manajemen dan akuntansi
keuangan. Produk yang dihasilkan oleh akuntansi manajemen adalah informasi yang
bersifat rinci dalam rangka memenuhi kebutuhan manajemen sebagai dasar
kebijakan dan perencanaan. Sedangkan produk yang dihasilkan oleh akuntansi
keuangan adalah informasi untuk tujuan pemenuhan harapan pihak eksternal
(stokeholder dan stakeholders).
Informasi
dari proses akuntansi manajemen misalnya rincian dari cost center, revenue
center, profit center, dan investment center dalam menggunakan dan memanfaatkan
sumber daya yang ada. Sedangkan informasi yang dihasilkan oleh akuntansi
keuangan adalah laporan keuangan, yang terdiri dari laporan laba-rugi/laporan
aktivitas, laporan perubahan ekuitas, laporan neraca, laporan arus kas, dan
catatan atas laporan keuangan.
Lambaga
yang didirikan untuk mengelola dana umat antara lain lembaga amil zakat (LAZ),
badan amil zakat (BAZ), lembaga atau badan penelola wakaf, dan badan/lembaga
lainnya yang didirikan berdasarkan kekuatan hukum. Lembaga-lembaga tersebut
mempunyai cirri khas dan berbeda dengan lembaga nir-laba maupun lembaga/badan
yang berorientasi laba. Untuk itu diperlukan pedoman dan panduan akuntansi yang
spesifik pula. Ada beberapa konsep dan prinsip-prinsip yang tidak sama dengan standar akuntansi untuk
dunia usaha, standar akuntansi organisasi nir laba dan akuntansi
pemerintahan.
Perkembangan dunia saat ini mengakibatkan berkembang konsep dan praktik
pengelo-laan zakat dan wakaf dari konvensional menjadi kontemporer. Fikih zakat
dan wakaf bergeser lebih luas dari pokok yang ada. Ini bukan berarti
bertentangan, namun terjadi ekstensifikasi objek dan subjek zakat dan wakaf.
Kondisi ini akan memberikan pengaruh pada tata cara pengelolaan-nya, tidak
hanya sekedar apa adanya, atau hanya berprinsip pada kejujuran, namun harus
dikeloka dengan ilmu pengetahuan yang memberikan tata cara dan praktik
manajemen yang sistematis, rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai
bukti implementasi prinsip kejujuran dan keterbukaan.
Dunia saat
ini selalu mengukur nilai ekonomi untuk semua aktivitas dan konsekwensinya,
sehingga akan men imbulkan tambahan nilai ekonomis, artinya kekayaan yang
tangible dan intangible berkembang/bertambah dengan suatu aktivitas, sehingga
dapat dikatakan “menghasil-kan”; dengan kata lain dapat menambah penghasilan
atau menambah kemampuan ekonomis bagi orang/lembaga/badan yang melakukan
aktivitas ekonimi tersebut. Prinsip ini mengakibatkan diterapkannya zakat pada
semua sector perekonomian yang mengakibatkan suatu harta berkembangan (tumbuh)
baik dengan sendirinya maupun diusahakan. Begitu pula konsep wakat berkembangan
dengan memunculkan prinsip memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi pengentasan
kemiskinan, sehingga wakaf harus dikelola secara professional.
Tekni
perhitungan, pengelolaan keuangan dan pertanggungjawabannya memerlukan suatu
ilmu pengetahuan yang modern, tidak konvensional. Ini semua ada pada ilmu
akuntansi. Informasi akuntansi yang memadai dan wajar dapat membimbing
lembaga/badan untuk tumbuh berkembangan dan sehat baik secara manajemen modern
maupun sehat menurut syariat.
Ada
beberapa lembaga amil zakat atau badan amil zakat laporan
pertanggungjawaban-nya telah diaudit oleh akuntan publik dan dipublikasikan
melalui media masa. Ini berdampak pada persepsi pembaca laporan keuangan
tersebut, dan sepintas para pembaca mempercayai-nya. Padahal jika dikaji lebih
dalam, ada beberapa pertanyaan: apakah akuntan publik yang memeriksa laporan
keuangan LAZ/BAZ sudah berdasarkan standar yang bernuansa akuntansi syariah,
apakah memang berdasarkan syariah harta zakat yang dikumpulkan dibiarkan
menumpuk dalam LAZ dan BAZ tersebut, apakah masyarakat mengerti atas fungsi
dari zakat, apakah para pembaca laporan keuangan mengerti siapa pemilik LAZ/BAZ
tersebut, adakah shareholder/staockholder ataukah stakeholder, apakah dapat
dinyatakan resmi semua mustahik sebagai pemilik LAZ/BAZ; apakah dana zakat
milik LAZ/BAZ atau utang LAZ/BAZ, jika merupakan utang apakah mustahik berhak
menagih; apakah kinerja yang ditampilkan dalam laporan keuangan sudah sesuai
dengan tujuan syariah zakat dan wakaf; dan masih banyak lagi pertanyaan
lainnya.
Jika
akuntansi publik mengaudit dana zakat dalam suatu LAZ/BAZ paling tidak
menyatakan bahwa standar yang digunakan masih berdasarkan standar akuntansi
keuangan untuk usaha/organisasi nil laba umum, dan tidak boleh memberikan opini
“Wajar Tampa pengecualian”, karena ini akan membodohi dan membohongi masyarakat.
Hal ini karena standar akuntansi keuangan yang sesuai dengan prinsip zakat dan
syariah zakat belum ada. Kondisi ini pun merupakan tanggungjawab para pengelola
LAZ/BAZ, pemerintah, cendikiawan dan para praktisi akuntansi serta Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI), para akademisi dan pihak lainnya yang terkait untuk
segera merumuskan standar akuntansi keuangan zakat dan wakaf; dan ini hukumnya
sudah wajib agar keadilan dapat diwujudkan.
Berdasarkan uraian di atas, maka makalah ini akan menyajikan bagaimana
prinsip-prinsip umum akuntansi zakat dan wakaf, dengan terlebih dahulu
memaparkan sistem pemungutan zakat, pengelolaan dan penyaluran dana umat, dan
tugas pokok akuntansi.
B. Perbandingan Lembaga Nir Laba dan Lembaga Pengelolaan
Dana Umat.
Lembaga
nir laba merupakan lembaga sektor publik yang bergerak dalam usaha yang tidak
mempunyai misi memperoleh laba. Lembaga ini bisa dimiliki oleh seseorang atau
sekelom-pok orang; dengan kata lain lembaga ini masih mempunyai pemilik.
Lembaga nir laba sejenis ini misalnya lembaga swadaya masyarakat, lembaga
pendidikan formal, partai politik, perkumpulan dan perhimpunan. Dari segi
kepemilikan, lembaga ini mempunyai hak atas kekayaan yang diperolehnya, dan
menjadi ekuitas. Pengasilan, kas dan asset lainnya dapat dipergunakan
sepenuhnya untuk pengembangan kelembagaan, anggota, dan komunitas lainnya;
tidak mempu-nyai pembatasan kecuali kebijakan manajement.
Lembaga
pengelola dana umat (LPDU) didirikan atas niat kepentingan umum (umat), bukan
untuk sekelompok orang yang menjadi anggotanya. Lembaga ini bergerak dalam
bidang penitipan amanat dalam bentuk harta dari para penyandang dana karena
adanya ajaran syariah; bukan karena maksud mempengaruhi pihak lain. Lembaga ini
bergerak terbatas sesuai dengan sifat dari dana yang diperolehnya. Dana yang
diperolehnya tidak dapat untuk mengembangkan kelembagaan secara sembarang atau
sekehendak pengelola, namun dibatasi oleh aturan syariah. Sifat ini yang
membedakan LPDU dengan lembaga nir laba lainnya. Akibatnya standar akuntansi untuk organisasi nir laba
tidak dapat sepenuhnya diaplikasikan dalam LPDU.
C. Sistem Pemungutan zakat
Beberapa
ayat al-Quran memaparkan kewajiban mengeluarkan zakat bagi seorang mukmin; juga
kewajiban memungut zakat bagi yang berwenang. Hal ini mencerminkan bahwa dalam
pemenuhan kewajiban zakat dapat melalui dua sistem, yaitu sistem self
assessment dan sistem official assessment.
Sistem self assessment mencerminkan bahwa kewajiban zakat
dihitung sendiri oleh muzaki, dan didistribusikan oleh muzaki dan atau oleh
amil. Ini didasarkan pada al-Qur’an sebagai berikut:
(#qßJŠÏ%r&ur
no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨“9$# (#qãèx.ö‘$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
“Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang
ruku’ (QS al-Baqarah: 43)
Sistem ini dilakukan apabila tidak ada lembaga pengelola
zakat yang dapat dipercaya berdasar-kan pandangan ulama dan pemerintah.
Sistem
official assessment mencerminkan pemungutan zakat oleh para amil yang terdaftar
dan dilindungi oleh hukum. Ini didasarkan pada ayat al-Qur’an sebagai berikut:
õ‹è{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y‰|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.t“è?ur
$pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgø‹n=tæ ( ¨bÎ)
y7s?4qn=|¹ Ö`s3y™ öNçl°; 3 ª!$#ur ìì‹ÏJy™ íOŠÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (Q.S. Al-Taubah: 103)
Sistem ini mengandung unsur paksaan, dan diterapkan apabila
kewajiban zakat tidak dipenuhi oleh seorang mukmin. Pelaksanaan sistem ini
harus didasari dengan hukum positif yang jelas dan tegas.
Selain dua
sistem pemungutan zakat di atas, juga para muzaki terkadang meminta bantuan
kepada amil untuk menghitung dan mengambil zakatnya. Pada kondisi ini muzaki
dan amil sama-sama aktif untuk menetapkan nilai kewajiban zakat seseorang.
Pada saat
melakukan perhitungan dasar pengenaan zakat baik muzaki dan amil selalu
memperhatikan prinsip keadilan antara hak dan kewajiban muzaki dan mustahik.
Perhitungan harus menghasilkan dasar yang jelas sehingga nilai zakat tidak
memberatkan muzaki dan tidak merugikan mustahik. Metode yang dapat
dipertanggungjawabkan harus dikembangkan dan ditentukan secara tegas dalam
suatu standar atau peraturan perundang-undangan, walaupun banyak yang
berpendapat bahwa dasar pengenaan zakat dapat dilakukan berdasarkan taksiran,
misalnya tersirat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Said bin Musaiyib bahwa
“Nabi SAW mengirim seseorang untuk menaksir banyak zakat anggur dan buahan
mereka”
Untuk melakukan penaksiran diperlukan keahlian yang
didasarkan pada pengalaman atau pengetahuan yang diakui secara umum dan
terbuka. Orang yang melakukan pekerjaan ini selayaknya sudah melalui uji
kompetensi, sehingga zakat yang ditetapkan lebih mendekati tujuan syariah zakat
itu sendiri.
D. Pengelolaan dan Penyaluran Dana Umat
Dana umat
dikelola dalam rangka ghaniyun lil an (menyelesaikan masalah ekonomi saat ini)
dan ghaniyun lil ghad (menyelesaikan masalah ekonomi berkelanjutan). Cara
pertama bersifat konsumtif dan cara kedua bersifat produktif atau investasi.
Cara pertama dilakukan dengan membagikan dana zakat kepada mustahik untuk
menanggulagi masalah ketidakmam-puan pembiayaan hidup keseharian yang bersifat
primer; sedangkan cara kedua dilakukan untuk memberikan modal kerja atau
investasi bagi mustahik sehingga kelak mereka dapat menjadi muzaki.
Selain kedua cara di atas, terkadang
para pengelola zakat melakukan investasi dan penyimpanan dana zakat yang
menghasilkan return, atau mengelolanya sebagai modal; kerja dalam suatu usaha
perdagangan, sehingga dari modal kerja di atas menghasilkan pendapatan. Cara
ini hampir tidak dihindari oleh para pengelola, misalnya lembaga amil zakat
mendirikan bangunan untuk pendidikan dari dana zakat, kemudian menghasilkan
return dari pemasukan sumbangan uang pendidikan, atau membelikan sesuatu untuk
pihak tertentu dari dana zakat serta memiliki nilai lebih dari harga
perolehannya. Return dari pengelolaan dana zakat ini harus ditentukan apakah
sebagai tamabahan dana zakat atau tambahan dana milik lembaga amil zakat.
Pada
prinsipnya dana zakat harus dipergunakan secara spesifik dan memegang prinsip
“pemasukan sama dengan pengeluaran”, tidak ada dana cadangan, dan dana tidak
menumpuk dalam lembaga pengelola zakat. Dana yabg berasal dari zakat selalu
habis, kecuali dana zakat bagian amil. Untuk itu pengelola harus mempunyai
wailayah binaan dan mengidentifikasi mustahik dan program-program pemberdayaan
zakat.
Subjek dan
objek zakat pada masa sekarang diperluas sehingga ada istilah zakat
konvensional dan zakat kontemporer. Jenis zakat terakhir misalnya zakat atas
uang, surat berharga, aktiva produktif, penghasilan dari pekerjaan, penghasilan
dari usaha jasa dan industri, penghasilan dari profesi, dan penghasilan lainnya
yang bersifat menambah harta kekayaan seorang muslim. Penetapan dasar pengenaan
zakat kontemporer membutuhkan metode yang sistematis dan lebih mendekati
kemudahaan bagi pengelola, dan keadilan bagi muzaki maupun bagi mustahik. Ini
membutuhkan pengelolaan yang profesional.
E. Tugas Pokok Akuntansi
Akuntansi
dalam arti suatu proses mempunyai lima tugas pokok, yaitu: pengakuan,
penentuan, perlakukan dan pencatatan,
penyajian, dan pengungkapan (IAI, 1994).
1. Pengakuan,
artinya transaksi keuangan yang terjadi ditetapkan pengakuan hak
kepemilikan-nya. Dalam dunia usaha terdapat beberapa pendekatan untuk mengakui
kepemilikan suatu harta, atau timbulnya suatu kewajiban kewajiban; misalnya FOB
shipping point, FOB destination untuk barang.
2. Penentuan,
artinya suatu harta atau kewajiban setelah diakui kepemilikannya, proses
selanjutnya adalah menentukan nilai dari suatu harta atau kewajiban. Banyak
metode dalam menentukan nilai suatu aktiva atau utang yang dapat diakui,
midalnya metode harga pokok, metode harga pasar, nilai pengganti, nilai
sekarang, dan lainnya.
3. Perlakukan dan
pencatatan, yaitu proses memperlakukan transaksi keuangan yang sudah diakui dan
ditentukan nilainya dalam kelompok aktiva, utang, ekuitas, pendapatan, atau
beban (expense), yang dituangkan dalam pencatatan dalam bentuk jurnal dan buku
besar. Proses ini sangat penting dalam rangka penyusunan laporan yang
sistematis.
4. Penyajian. Tugas
akuntansi ini adalah suatu proses pelaporan hasil dari pencatatan. Bentuk
laporan dapat berupa report dan dapat pula berbentuk statement. Penyajian ini
dilakukan untuk tujuan memenuhi harapan pihak internal maupun eksternal sebagai
bahan untuk mengukur posisi keuangan, posisi kas, kinerja manajerial, dan
kinerja organisasi.
5. Pengungkapan.
Proses ini akan menyatu dengan laporan keuangan, karena pengungkapan merupakan
penjelasan kondisi organisasi, catatan atas laporan keuangan, kinerja non
keuangan yang telah dicapai, dan hal-hal lain yang tidak dapat dicantumkan
dalam laporan keuangan. Pengungkapan ini menjadi sangat penting artinya apabila
suatu organisasi sepenuhnya milik stakeholders, bukan hanya
stockeholder/sharehoder.
F. Akuntansi Zakat
Sebagaimana dijelaskan di atas, fungsi akuntansi adalah
memberikan panduan dan metode yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan
dalam menetapkan dasar pengenaan zakat, dan proses pertanggungjawaban keuangan,
sehingga dapat mendekati prinsip keadilan bagi muzaki, amil dan mustahik. Satu
sama lain tidak saling menganiaya dan dianiaya. Ini sesuai dengan pesan ayat
al-Qur’an sebagai berikut:
… ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ‘ öNà6Ï9ºuqøBr& Ÿw šcqßJÎ=ôàs? Ÿwur šcqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ
“… dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu
tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (QS al-Baqarah: 279).
Pembahasan mengenai akuntansi zakat akan mengacu pada tugas
pokok akuntansi dengan menyajikan prinsip-prinsip umum yang perlu didiskusikan
dan dicarikan solusinya.
1. 1. Pengakuan
Suatu harta yang dilimpahkan oleh seorang muslim ke amil
zakat dapat dinyatakan sebagai harta zakat harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1) Zakat dilakukan
oleh muslim.
2) Zakat atas
harta yang dimiliki.
3) Zakat dari
harta yang halal.
4) Zakat dilakukan
atas dasar niat, dan dapat dituangkan dalam bentuk lisan, perbuatan dan dokumen
tertulis.
Berdasarkan syarat-syarat di atas, maka untuk proses
pengakuan dalam akuntansi zakat adalah bahwa suatu penerimaan dana dari muslim
perlu dinyatakan sejala jelas bahwa dana tersebut adalah dana zakat. Untuk
memperjelas hal ini perlu adanya dokumen pengakuan dari muzaki baik berupa slip
setoran, atau keterangan dalam media elektronik (misalnya melalui e-zakah). Ini
sangat penting dalam rangka proses manajemen dana umat, dan menjadi dasar
pembuatan pertanggungjawaban amil zakat.
Pengakuan suatu aktiva, pendapatan dan beban dalam akuntansi
zakat dapat berdasarkan cash bases dan dapat pulan berbasis akrual (accrual
bases). Prinsip ini diharpakan bersifat konsisten. Namun tidak menutup
kemungkinan berdasarkan basis campuran, misalnya penghasilan berbasis akrual dan
kas, dan beban berbasis kas dan akrual, karena prinsip ini mengandung utang
piutang. Dalam zakat piutang wajib dizakati dan utang dapat dikurangkan dari
dasar pengenaan zakat (DPZ.).
1. 2. Penentuan
Zakat dapat dihitung dengan sistem self assessment dan dapat
pula dilakukan secara official assessment. Ada dua proses dalam penentuan ini,
yaitu penentuan dasar pengenaan zakat dan penentuan nilai zakat itu sendiri.
Penentuan dasar pengenaan zakat (DPZ) dilakukan dengan menilai harta yang akan dizakati,
yaitu berdasarkan taksiran nilai yang mendekati nilai sesungguhnya. Sedangkan
penentuan nilai zakat dilakukan dengan mengalikan tariff yang telah ditetapkan
berdasarkan syariah terhadap DPZ-nya.
Pada saat menentukan DPZ perlu diperhatikan azaz keberadilan,
di mana pihak muzaki tidak diberatkan, namun juga tidak mengurangi hak
mustahik. Penentuan DPZ dapat dilakukan dengan penaksiran nilai oleh seorang
ahli yang didasarkan pada tingkat pendidikan, pengalaman dan kompetensinya.
Penaksiran nilai suatu aktiva dapat dilakukan dengan berbagai dasar dan cara,
antara lain atas dasara ahrga perolehan (at cost), harga pasar (at market),
nilai sekarang (present value), nilai pengganti (replacement cost), nilai yang
dapat direalisir (realizable value) dan harga eceran.
Penilaian berdasarkan harga perolehan mempunyai kendala pada
saat harga barang berfluktuasi, terjadi perbedaan harga antara perolehan barang
yang satu dengan barang lainnya yang sejenis. Jika kondisi harga barang naik,
barang yang ada pada saat haul dinilai last in first out (LIFO), maka nilai
barang yang ada akan lebih kecil sehingga akan mengurangi hak mustahik.
Sebaliknya jika barang yang ada dinilai dengan cara first in first out (FIFO),
maka nilai barang yang ada adalah untuk barang yang dibeli pada akhir-akhir
periode haul. Metode FIFO lebih mendekati keberadilan dibandingkan dengan
metode LIFO. Untuk memberikan suatu keberadilan penilaian persediaan barang
dengan metode at cost, maka digunakanlah metode rata-rata (average). Penilaian
atas dasar ini tidak dapat mencerminkan nilai barang pada saat haul.
DPZ dapat
terdiri dari nilai harta, yaitu barang dagang dan surat berharga, dan juga
penghasilan. Formula dasar yang dipergunakan untuk menilai DPZ tampak sebagai
berikut:
DPZ = (Nilai harta + Penghasilan) – (Utang + Kebutuhan
Minimum)
Harta yang
menjadi unsur DPZ disesuaikan dengan objek zakat, yaitu terdiri dari:
1) Kas, yaitu uang
tunai dan sejenisnya misalnya tabungan, giro, deposito dan sejenisnya.
2) Piutang yang
masih dapat diterima.
3) Surat-surat
berharga.
4) Barang
dagangan.
5) Harta tetap
yang menghasilkan.
Sedangkan penghasilan terdiri dari:
1) Hasil dari
pekerjaan dan pekerjaan bebas.
2) Hasil
pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
3) Hasil
petenakan, perikanan dan yang dihasilkan dari produksi dan jasa hewan.
4) Hasil
pengelolaan harta, yang berupa jasa, royalty, hak cipta, dan sewa.
5) Hasil lainnya,
misalnya hadiah, dan sejenisnya.
Jenis jenis penghasilan di atas sangat diperlukan penentuan
nilainya, tidak terkecuali Kas dalam bentuk valuta asing, apakah dipergunakan
nilai beli atau nilai jual. Kurs pasar atau kurs tengah. Semuanya itu
didasarkan pada cara penaksiran yang sistematis, rasional dan dapat
dipertanggungjawabkan. Teknik penilaian ini hanya ada pada akuntansi.
Utang sebagai unsur
pengurang DPZ perlu ditentukan apakah seluruh nilai utang, atau hanya sebagian
utang saja. Uutang yang dapat dikurangkan dari harta yang akan dizakati adalah
utang jangka pendek. Namun untang jangka pendek yang mana, jika utang jangka
pendek dipergunakan untuk pembelian harta yang tidak terutang zakat, maka tidak
dapat dikurangkan. Untuk menentukan nilai utang ini diperlukan metode yang
sistematis, rasional dan akuntabel.
Penghasilan sebagai DPZ dapat berupa penghasilan bruto atau
penghasilan neto. Ini akan bergantung pada cara penentuan zakat. Jika
dipergunakan DPZ penghasilan neta, maka jenis penghasilan ini dihasilkan dari
pengurangan penghasilan bruto dengan biaya yang telah dikeluarkan yang bersifat
operasional dan tidak berlebihan (israf).
Untuk kebutuhan dasar tidak dapat dipastikan penentuannya,
karena masing-masing orang tidak akan sama, misalnya seorang dokter yang
mempunyai penghasilan yang sama dengan seorang pengusahaan angkutan akan
berbeda kebutuhan dasarnya. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan dasar bersifat
situasional.
Semua uraian tentantg proses penentuan dalam akuntansi zakat
masih harus didiskusi-kan secara seksamna sehingga dapat diperoleh standardisasinya.
Hal ini karena sampai saat ini masih belum memiliki pedoman penentuan harta,
utang, penghasilan dan beban.
1. 3. Perlakukan dan pencatatan
Proses perlakuan dan pencatatan dalam akuntansi zakat hanya
dilakukan oleh amil sebagai pengelola. Perlakukan dimaksudkan untuk menetapkan
dana umat masuk dalam kategori dana zakat atau dana non zakat. Dana zakat perlu
diklasifikasi dalam dana untuk setiap ashnaf, dan diperlakukan terpisah dengan
akun Kas, karena sudah pasti penggunaannya. Begitu pula untuk mencapai prinsip
keseimbangan, perlu diperlakukan dana zakat yang belum tersalurkan sebagai
utang kepada para ashnaf.
Dana zakat yang diinvestasikan atau dijadikan modal kerja
dan menghasilkan, maka hasilnya harus diperlakukan sebagai penambah dana zakat
yang bersangkutan. Hal ini sangat penting karena dana zakat adalah milik para
ashnaf tertentu, dan tidak dapat dipergunakan untuk aktivitas lain yang tidak
mempunyai dampak pada pembinaan ashnaf yang bersangkutan. Dana zakat harus
diperlakukan secara spesifik dan berbeda dengan dana umat non zakat.
Dana umat yang diperoleh, didistribusikan, dan dikembangkan
melalui investasi atau sebagai modal kerja diperlakukan sesuai dengan prinsip
syariah, dapat dilihat dari pencatatannya.
Proses pencatatan dalam akuntansi merupakan aktivitas
merekam transaksi keuangan dalam buku jurnal dan buku besar, yang mencerminkan
akun-akun sebagai bentuk perlakukan. Proses perlakukan dan pencatatan merupakan
kegiatan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya transaksi keuangan akan
diperlakukan dan dicatat sebagai aktiva, utang, ekuitas, penghasilan dan beban.
Proses
perlakuan dan pencatatan akan menjadi pasti apabila dikaitkan dengan posisi
suatu organisasi. Pengelola dana umat, baik BAZ, LAZ atau bentuk lain merupakan
suatu badan yang tidak mempunyai pemilik (shareholder/stockhorlder). Lembaga
ini mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Lembaga
pengelola dana umat merupakan bentuk layanan umat (BLU).
2) Asset yang ada
dalam lembaga tersebut bukan milik lembaga yang bersangkutan.
3) Tidak mempunyai
kepemilikan (equities), sehingga asset tidak dapat dijaminkan dan lembaga
tersebut tidak boleh penambahan dana melalui utang/pinjaman dari pihak ketiga.
Nama akun yang menampung selisih antara harta dan kewajiban masih perlu
didiskusikan.
4) Pengelolaan
dana harus didasarkan pada prinsip dan tujuan syariah, sehingga diperlukan
akuntansi syariah yang sesuai, tidak menggunakan standar akuntansi yang ada
(PSAK 45).
Proses dan prinsippPerlakuan dan pencatatan akan berpengaruh
pada pelaporan sebagai proses penyajian.
1. 4. Penyajian
Akuntansi keuangan sebagai suatu teknis akan menghasilkan
laporan keuangan yang ditujukan kepada para pemakai luar organisasi. Lapaoran
keuangan ini sebagai salah satu alat pertanggungjawaban manajemen atas
operasionalisasi organisasi yang dikelolanya.
Laporan keuangan yang disajikan mencerminkan posisi keuangan, perubahan
ekuitas, kinerja, dan arus kaas. Posisi keuangan dicerminkan dalam laporan
neraca; perubahan ekuitas dicerminkan dalam laporan perubahan wkuitas; kinerja
keuangan dicerminkan dalam laporan aktivitas; dan posisi kas dicerminkan dalam
laporan arus kas. Penyusunan laporan keuangan ini merupakan proses penyajian.
Penyajian Posisi Keuangan
Posisi
keuangan disajikan dalam lapaoran neraca, yang mencerminkan asset,
kewajian dan ekuitas. Dalam akuntansi
zakat laporan neraca harus mencerminkan antara lain:
1) Kas merupakan
akun yang menampung uang dan sejenisnya yang dapat dipergunakan kapan saja dan
untuk kegiatan apa saja.
2) Akun dana
merupakan uang tunai yang diperoleh dari dana umat yang penggunaannya untuk
kegiatan sepesifik, midalnya akun dana zakat, akun dana wakaf, akun dana
lainnya.
3) Akun investasi
dalam jangka pendek maupun jangka panjang dirinci dengan akun investasi dari
dana zakat, akun investasi dari dana wakaf, akun investasi dari dana lainnya.
Investasi dapat berupa surat-surat berharga, tanah, bangunan dan asset lainnya.
4) Utang
diklasifikasikan berdasarkan utang lancer dan utang jangka panjang berdasarkan
sumber dana (dari zakat per muzaki, dari wakaf per muwakif, dan lainnya).
5) Aset selain
uang tunai yang diterima dari umat diperlakukan sebagai aset titipan dan
merupakan utang lembaga pengelola untuk memanfaatkannya, bukan merupakan
ekuitas (modal donasi).
6) Aset yang
berasal dari para pendiri lembaga pengelola zakat juga merupakan asset titipan,
bukan ekuitas lembaga yang bersangkutan.
7) Lembaga yang
bersangkutan hanya mempunyai ekuitas dari hasil pengelolaan dana yang
dialokasikan untuk cadangan. Jika lembaga ini dibubarkan atau bubar, maka sisa
dana seluruhnya diserahkan kepada mustahik, lembaga sosial, pemerintah, atau
lembaga penge-lola dana umat lainnya.
8) Dan masih
banyak lagi prinsip-prinsip penyajian posisi keuangan lembaga pengelola dana
umat yang harus didiskusikan lebih lanjut.
Penyajian Aktivitas
Pada
prinsipnya lembaga pengelola dana umat diperbolehkan melakukan kegiatan yang
berorientasi pada laba dalam rangka pengembangan dana umat itu sendiri sehingga
mempunyai cadangan dana yang cukup untuk melakukan kegiatan sosialnya. Namun
ini hanya merupakan satu aktivitas yang menjadi satu kesatuan aktivitas lembaga
pengelola dan umat secara keseluruhan sebagai entitas. Oleh karena itu
penghasilan yang diperoleh dan beban yang ditanggung disajikan dalam laporan
aktivitas, dan disajikan untuk selama satu tahun takwim atau satu haul lembaga
yang bersangkutan.
Penyajian laporan aktivitas menganut prinsip-prinsip antara
lain sebagai berikut.
1) Penghasilan
dari pengelolaan dana umat harus dirinci berdasarkan penghasilan dari dana
zakat per ashnaf, dari dana wakaf per muwakif, dan dari dana lainnya.
2) Beban
pengelolaan dana umat dirinci berdasarkan beban untuk dana zakat per ashnaf,
untuk dana wakaf per muwakif., dan beban lainnya.
3) Surplus yang
terjadi akibat hasil pengurangan penghsilan dan beban-beban harus mencer-minkan
sumber dananya, dan mencerminkan surplus yang dialokasikan untuk cadangan.
Penyajian Arus Kas
Arus kas
disajikan dalam laporan arus kas, yang mencerminkan sumber dan penggunaan kas
yang ada sehingga dapat diketahui saldo kas sebagaimana tercantum dalam laporan
neraca. Laporan arus kas untuk lembaga pengelola dana umat harus memenuhi
prinsip-prinsip antara lain sebagai berikut.
1) Laporan arus
kas harus mencerminkan pemasukan dan penggunaan uang tunai.
2) Sumber
pemasukan uang tunai perlu dirinci berdasarkan dari zakat, wakaf, pengelolaan
dana, dan lainnya.
3) Pengeluaran
uang tunai perlu dirinci berdasarkan untuk muzaki per ashnaf, pengelolaan dana
dan aset wakaf, investasi, dan lainnya.
1. 5. Pengungkapan
Laporan keuangan yang disajikan merupakan ikhtisar dari
proses pencatatan, yang tidak dapat memberikan informasi yang cukup bagi
pengguna untuk dapat menilai posisi dan kinerja suatu organisasi termasuk
lembaga pengelola dana umat. Untuk memberikan harapan yang lebih dapat dipahami
maka laporan keuangan memerlukan penjelasan-penjelasan sebagai suatu
pengungkapan kejadian atau keadaan keuangan dan non keuangan lembaga pengelola
dana umat (LPDU). Pengungkapan dapat mencakup kedudukan lembaga termasuk visi
dan misinya; rincian akun; metode yang dipergunakan; system distribusi zakat;
capaian kinerja financial dan non financial; dan lainnya.
Akun dana, penghasilan dan beban dapat disajikan dalam
laporan neraca dan laporan aktivitas secara global, dan rinciannya disajikan
dalam pengungkapan. Hal ini dilakukan karena rincian sangat diperlukan bagi
para pengguna laporan keuangan sehingga tidak cukup waktu untuk melihat dalam
pembukuannya, maka mutlak diperlukan penyajian sebagai bagaian laporan
keuangan.
Kinerja keuangan yang dianalisis berdasarkan alat analisis
keuangan yang disyaratkan oleh syariah dana umum, misalnya rasio distribusi
dana, perolehan dana dan penggunaan dana disajikan dalam pengungkapan. Ini
diperlukan untuk melihat pertanggungjawaban LPDU mengapa ada dana yang ridak
tersalurkan, atau apakah ada dana yang disalurkan ke mustahik melebihi bagian
yang lain. Kinerja juga dapat berupa kinerja non-keuangan, misalnya berapa
musthik yang dapat dibina apakah potensial untuk menjadi muzaki atau hanya
bersifat konsumtip; daerah binaan dan lainnya.
Pengungkapan juga mencerminkan metode penilaian persediaan
barang, surat berharga, metode penyusutan aktiva tetap dan metode akuntansi
yang dipergunakan; dan apakah dana yang bagaimana dana cadangan dibentuk.
Selain itu juga memuat kebijakan LPDU dalam mengelola dana umat baik dana zakat,
wakaf dan dana lainnya.
Dana umat dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yang
mempunyai karakteristik yang berbeda, yaitu:
1) Dana zakat,
yang mempunyai sifat wajib bagi muslim yang mampu, dan disalurkan untuk
pihak-pihak yang spesifik (nustahik). Dana ini diharapkan habis disalurkan
dalam satu haul, tidak boleh ada sisa; baik untuk tujuan konsumtif maupun
tujuan produktif. Tujuan dana ini antara lain adalah mengentaskan kemiskinan.
Pihak muzaki dan amil tidak dapat sembarang menentukan penyalurannya, tanpa
memperhatikan ashnaf sebagai mustahik.
2) Dana wakaf,
yang bersifat tidak wajib dan memiliki keleluasaan penggunaannya, namun pihak
muwakif dapat menentukan batas waktu dan penggunaan harta yang diwakafkannya.
3) Dana lainnya yang
disumbangkan oleh muslim kepada LPDU. Jenis dana ini bersifat suka rela dan
biasanya bebas untuk memanfaatannya.
Jenis-jenis dana di atas perlu diungkapkan dan dijelaskan
implementasi penyaluran dan pemanfaatannya, sehingga dapat diketahui kinerja
LPDU dan dapat dijadikan bahan pertimbangan
untuk pengambilan keputusan bagi pihak yang berkepentingan.
G. Standardisasi Akuntansi Zakat
Praktik
akuntansi dalam LPDU akan terkait dengan beberapa bidang akuntansi, misalnya
akuntansi manajemen, sistem informasi akuntansi, pemeriksaan akuntan, dan
akuntansi keuangan. Dari beberapa bidang akuntansi, yang sangat mendesak untuk
disusun standarnya adalah akuntansi keuangan dan pemeriksaan akuntan. Akuntansi
manajemen dan sistem informasi akuntansi dapat disusun berdasarkan standar
akuntansi keuangan dengan format sesuai kebutuhan LPDU itu sendiri. Ini sangat
diperlukan untuk dapat memberikan kepastian informasi yang wajar dari lembaga
yang bersangkutan.
Standar
akuntansi keuangan untuk LPDU mencerminkan proses pengakuan, perlakuan,
pencatatan, penyajian dan pengungkapan atas dana yang dikelola LPDU. Standar
akuntansi keuangan dana umat (SAKDU) harus dituangkan tersendiri karena
memiliki karakteristik yang unik dan sangat berbeda dengan transaksi keuangan
lainnya.
Penyusunan
SAKDU harus melibatkan semua pihak yang dianggap sebagai agent dan stakeholder.
Agent adalah para pengelola LPDU yang mempunyai kepentingan untuk
memper-tanggungjawabkan operasi lembaga yang dikelolanya, dan stakeholder
adalah pihak-pihak yang terkait dengan dana umat, musalnya muzaki, mustahik,
muwakif, pemerintah, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, majelis
ulama, para cendikiawan, Ikatan Akuntan Indonesia dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan.
KSAKDU
Proses
penyusunan SAKDU adalah sebagai berikut.
Draf SAKDU
Hasil seminar/loka karya
stakeholders dan agents
Draf Ketetapan SAKDU
Public hearing
IAI, Pemerintah dan MUI
Konvensi
DPR atau Pemerintah
Diundangkan atau di-SK-an
Implementasi
LPDU
H. Peran Akuntansi Dalam Menyehatkan LPDU
Pada
proses pengakuan dan penetapan nilai dasar pengenaan zakat akuntansi sangat
berperan dan banyak dibahas oleh parah ahli antara lain, Mursyidi (2004),
‘Isham Abdul Hadi (1999), Sami Ramadhan (1994), Husayn Syahatah (2005), Nadjdi
Rifa’I (1991), Syauqi Isma’il Syahathah (1408H), Muhammad Kamal ‘Athiyah
(1406H). Mereka membahas tentang prinsip-prinsip dasar dan tata cara penetapan
dasar penganaan zakat untuk berbagai aspek harta dan penghasilan. Konsep-konsep
yang dikemukakan atas dasar penelitian dan fatwa yang disarikan dari hasil
seminar dan loka karya tentang zakat misalnya kumpulan fatwa yang dikeluarkan
oleh Baituz Zakah Kuwait (1979 – 1989); Ketetapan Majma’ al-Fiqh al-Islami di
Madinah; hasil muktamar penetapan zakat kontemporer, Universitas al-Azhar
Kairo; dan ketetapan Majma’ al- Buhuts al-Islamiyah, Rabithah al’Alam
al-Islami.
Sedangkan
proses perlakuan zakat dalam arti pencatatan (recording) dan pelaporan
(reporting) masih belum memiliki standar sehingga interpretasi implementasinya
masih diserahkan kepada amil atau pengelola atau agent yang bersangkutan. Proses ini sangat penting manakala
stakeholders ingin mengatahui posisi dan kinerja amil atau kinerja LPDU. Untuk ini diperlukan kajian khusus baik
secara konseptual (teoritis) maupun praktis (penyusunan standar).
Kajian akuntansi yang terkait dengan syariah dinamakan
akuntansi syariah (Iwan Triyuwono, 2000), yaitu proses akuntansi yang
menyediakan informasi operasi dan keuangan suatu organisasi yang sesuai dengan
prinsip syariah (Hameed, 2003). Akuntansi syariah dalam tatanan filosofis
teoritis difokuskan pada metodologi membangun dan mengembangkan akuntansi yang
didasari oleh praktik dan folosofi syariah. Wacana ini diawali dari penentuan
tujuan akuntansi syariah, kemudian metodologi dan penentuan teoritisnya
(Triyuwono, 2000; Harahap, 2001). Pada tatanan praktis, akuntansi syariah
merupakan akuntansi yang sudah diterapkan di lembaga/organisasi midalnya bank
syariah, (PSAK 59) dan baitul maal wat
tamwil (BMT). Baik tatanan teoritis maupun praktis, akuntansi syariah untuk LAZ
dan BAZ, dan lembaga pengelola dana umat (ummah fund) lainnya masih terlihat
konvensional dan belum mempunyai standarnya.
Gambling dan Karim (1991), Baydoun dan Willet (1994, 2000),
Rahman (2000) Haniffa dan Hudaib (2001) Yaya (2002), dan Hameed (2003)
memberikan penjelasan bahwa akuntansi syariah harus mengungkapkan Islamic value
untuk tujuan akuntabilitas yang tidak hanya terbatas pada ukuran keuangan dan
berorientasi pada direct stakeholders, namun lebih luas lagi indirect
stakeholders seperti masyarakat luas. Khan (1994) menjelaskan bahwa informasi
yang diungkapkan tidak hanya untuk mengevaluasi kemampuan manjaga aset,
memelihara likuiditas, penggunaan sumber daya yang profitable dan keputusan
terhadap syariah, namun juga informasi pertenggungjawaban kepada karyawan,
pelanggan, masyarakat dan lingkungan
Produk akhir dari akuntansi adalah informasi keuangan, yang
akan diinterpretasikan oleh para pemakainya untuk melihat posisi dan kinerja
sumber informasi baik dari bidang keuangan maupun aktivitasnya (Bodnar, 2000).
Formulasi untuk melihat posisi dan kinerja keuangan suatu organisasi disebut
analisis laporan keuangan. Garrison (1988) menyatakan bahwa tujuan pelaporan
keuangan adalah membantu para pemakai potensial laporan keuagan untuk
memprediksi masa depan melalui perbandingan, evaluasi dan analisa. Pendekatan
yang menarik adalah menggunakan ratio keuangan dalam bentuk model-model untuk
memprediksi apakah suatu perusahaan menuju kegagalan atau kesuksesan bisnis.
Untuk kondisi ini para stakeholder belum bisa melihat kinerja dan posisi
lembaga pengelola umat, karena informasi yang dihasilkannya masih beragam
karena belum memiliki standar.
Pembentukan suatu standar (termasuk standar akuntansi dana
umat) dapat berawal adanya tekanan atau harapan yang kuat (pressure) dari para
stakeholder, baik secara langsung maupun tidak langsung, juga dapat berawal
dari kebutuhan para pengelola dana umat itu sendiri sebagai agent. Ada beberapa
pendekatan yang dapat dilakukan untuk membuat suatu standar, yaitu pendekatan
teori keagenan (agency theory) dan teori stakeholder. Kedua teori ini salaing
melengkapi, di mana semua pihak yang terkait dan mempunyai kepentingan terhadap
suatu organisasi dapat memberikan sumbangan, bahkan dapat memberikan tekanan
(pressure) terhadap pembentukan suatu
standar.
Teori-teori akuntansi syariah yang berkembang sampai saat
ini masih bertumpu pada organisasi bisnis yang berorientasi pada shareholders,
misalnya akuntansi untuk bank atau lembaga keuangan syariah, sehingga
rasio-rasio keuangannya pun ditujukan untuk organisasi bisnis, misalnya bank
syariah dan asuransi syariah; belum mencerminkan model yang mencapai visi, misi
dan tujuan syariah pengelolaan dana umat.
Dalam mengeksplor indikator-indikator kinerja keuangan dan
non-keuangan LPDU yang terkait dengan informasi akuntansi syariah dipergunakan
teori agen (agency theory) dan teori
stakeholder, yaitu teori deskriptif yang
berusaha untuk menjelaskan tindakan atau aksi dari pihak-pihak yang terlibat
hubungan kontrak dalam merubah metode pengukuran akuntansi (Kelly, 1983). Teori
ini memperlihatkan konflik kepentingan antara pemilik (principal) dan manajer
(agent). Zimmer & Whittred (1990: 21-37) dan Kiswara (1999: 5-8) juga
menjelaskan bahwa agency theory merupakan teori deskripsi yang menjelaskan
agency relationship.
Dalam perspektif syariah, LPDU merupakan lembaga yang
dimiliki oleh stakeholders, tidak oleh shareholders. Lembaga ini membawa misi
muamalah yang bersifat amanah. Haroen, 2000: ix menjelaskan bahwa prisnsip
muamalah adalah mengandung kemaslahatan, menjunjung tinggi prinsip-prinsip
keadilan, jujur, saling tolong menolong, tidak mempersulit, dan suka sama suka.
Transaksi dalam muamalah tersebut harus dicatat, yang sekarang dikenal dengan
akuntansi. Yusuf Abdurrahman & Unti Ludigdo (2004) menjelaskan bahwa
akuntansi harus lebih menekankan pada kepentingan pertanggungjawaban
(accountability) agar semua pihak yang terlibat dalam transaksi tidak
dirugikan. Dengan pencatatan yang jelas dan jujur dan menekankan pada konsep
akuntabilitas maka konflik antara pihak-pihak yang terlibat akan dapat
dihindari.
Akuntansi LPDU harus disusun sesuai dengan misi dan tujuan
syariah dana umat. Pengelola dana umat sebagai agent harus melakukan pencatatan
sesuai dengan misi dan tujuan zakat yang dapat diekplor dari harapan-harapan
stakeholders (principal). Dari sini akan dapat diukur kinerja LPDU tanpa
menimbulkan konflik yang signifikan, karena dapat memenuhi semua pihak; dan
konsep representation faithfulness dapat dicapai. Hal ini karena didasari
tujuan yang sama antara principal dan agent, yaitu pertanggungjawaban kepada
Allah SWT.
Untuk
melihat suatu lembaga dinyatakan sehat dapat diambil dari model good corporate
governance (GCG), yang digambarkan sebagai berikut:
Kontrol
Good Governance Performance
Akuntabilitas
Perencanaan Strategis
Implementasi
Sumber: Joko Widodo, 2001: 14
Aktivitas
yang tercermin dalam gambar di atas mengandung unsur keuangan (financials) dan non-keuangan (non
financial), yang timbul dari empat pusat pertang-gungjawaban (responsibility
center), yaitu investment center, revenue center, profit center, dan cost
center. Pusat pertanggungjawaban tersebut akan menerbitkan infor-masi yang
diproses dalam akuntansi pertanggungjawaban (responsibility accounting). Di
samping itu juga para pengelola harus menerbitkan informasi keuangan yang
dibutuhkan oleh para external users (kreditur, calon investor, penyandang dana
dan para stakeholders), yaitu laporan keuangan dari proses akuntansi keuangan
(laporan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja, Neraca, dan Laporan Arus
Kas).
Jika
meminjam istilah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 bahwa tujuan
pelaporan keuangan pemerintah adalah:
1. Akuntabilitas,
yaitu untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan
kebijakan yang dipercayakan kepada unit organisasi pemerintah dalam rangka
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui laporan keuangan pemerintah
secara periodik.
2. Manajerial,
yaitu menyediakan informasi keuangan yang berguna untuk perencanaan dan
pengelolaan keuangan pemerintah serta memudahkan pengendalian yang efektif atas
seluruh aset, hutang dan ekuitas dana.
3. Transparansi,
yaitu menyediakan informasi keuangan yang terbuka bagi masyarakat dalam rangka
mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
I. Simpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk pada saat ini
di Indonesia belum mempunyai standar akuntansi untuk melakukan proses penentuan
dasar pengenaan zakat (DPZ), perlakukan dan pencatatan pengelolaan zakat, dan
pelaporannya. Standar akuntansi sangat diperlukan untuk melakukan perencanaan,
dan memberikan interpretasi yang relatif seragam dari para stakeholders.
Adanya
undang-undang pengelolaan zakat dan wakat mengakibatkan terjadi ekstensifi-kasi
objek dan subjek zakat dan wakat, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi
nyata dan berkembang dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hal ini
mengakibatkan berbagai aspek permasalahan kontemporer timbul termasuk dalam
bidang penetapan nilai, sistem pengelolaan dana dan sistem akuntabilitas muncul
dan diperlukan penganganan yang serius. Salah satu aspek penting adalah
akuntansi dan aspek yang terkait di dalamnya.
Oleh
karena itu sangat perlu dilakukan penelitian, diskusi-diskusi, dan loka-karya
yang intens terutama mengenai system informasi akuntansi tentang pengelolaan
dana umat, sehingga syariah dari dana umat dapat tercapai.
J, Daftar Rujukan
Baydoun, N., and Willet, R.2000. Islamic Corporate Reports.
ABACUS, Vol 36. No.1.
Freedman, M. and Jaggi, B. (1988). An Analysis of the Impact
of Corporate Pollution Disclosures; A Reply. Advances in Public Interest
Accounting. Vol.2.
Freeman , R.E. (1984). Strategic Management: A Stakeholder
Approach, Boston. Fitman. USA.
Gambling, Trevor dan Rifaat Abdel Karim .1991. Bussines and
Accounting Ethics in Islam. London: Mansell.
Hameed, Shahul bin Hj. Muhamed Ibrahim.2003. Islamic
Accounting, A New Push. Akuntan Nasional: Januari-Pebruari 2003.
Harahap, Sofyan Safri. 2001. Menuju Perumusan Teori
Akuntansi Islam. Jakarta: Penrbit Quantum.
Husayn Syabathah. 1992. Halat Tathbiqiyah Haula Mauhasabah
azzakah wa al-Muhasabah al-Dharibah. Maktabah al-Taqwa.
Ikatan Akuntan Indonesia. 1994. Akuntansi Keuangan
Ikatan Akuntan Indonesia. Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah.
“Isham Abdul Hadi Abu Nashr. 1999. Al-Ithar al-Fiqhi wa
Muhasabi li al-Zakah.
Iwan Triyuwono dan Roekhuddin.1998. Konsistensi Praktik
Sistem Pengendalian Intern dan Akuntabilitas pada Lazis. Prosiding Simposium
Nasional Akuntansi II Ikatan Akuntan Indonesia. Malang.
IwanTriyuwono. 2000. Organisasi dan Akuntansi Syariah.
Yogyakarta: LKiS.
IwanTriyuwono. 2001. Metafora Zakat dan Shariah Enterprise
Theory sebagai Konsep Dasar dalam Membentuk Akuntansi Syariah. Jurnal Akuntansi
dan Auditing Indonesia. Volume 5 No.2 Desember 2001
Joko Widodo. 2001. Good Governance, Telaah dari Dimensi
Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otomomi Daerah.
Penerbit Insan Cendekia. Surabaya.
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000 tentang pedoman teknis pengelolaan zakat.
Khan, Muhammad Akram.1994. Accounting Issues and Concepts
for Islamic Banking. London: The Institute of Islamic Banking and Insurance.
Muhammad Kamal “Athiyah. 1406 H. Nadhariyah al-Muhasabah
al-Maliyah fi al-Fikr al-Islami. Bank Faishal. Ciprus.
Mursyidi. 2003. Akuntansi Zakat Kontemporer. Penerbit PT
Remaja Rosdakarya. Bandung
Najdi Riafa’i. 1991. Al-Muhasabah ‘an aa-Zakah. Al-Maktabah
al-“Alamiyah.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan.
Sami Ramadhan. 1994. Muhasabauz Zakah Fiqhan wa Tathbiqa.
Fakujltas Perdagangan Universitas al-Azhar. Kairo
Syauqi Isma’il Syahatah. 1977. Al-Tathbiq al-Mu’ashir li
al-Zakah. Dar al-Syuruq. Jeddah.
Undang-undang RI Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat.
Undang-undang RI Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Yaya, Rizal. 2001. From Conventional Accounting to Islamic
Accounting, Does it Need A Slight or An Extensive Overhaul?. Jurnal Akuntansi
dan Auditing Indonesia Vol. 5 No. 2 Desember 2001.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.