BERITA HEBOH TERDAHSYAT ABAD INI :

ZAKAT DAN INSTRUMENT SEJENIS


BAB   4
ZAKAT DAN INSTRUMENT SEJENIS

Zakat merupakan system dan instrumen orisinil dari system ekonomi Islam. Yang bertugas mendistribusikan kekayaan pada golongan masyarakat yang membutuhkan. Dengan keyakin bahwa pada tiap harta yang didapatkan oleh seseorang terdapat didalamnya hak para fakir miskin dan orang-orang yang kekurangan (8 asnaf).

Asumsi awal dari bahasan ini adalah bahwa zakat menjadi system yang wajib (obligatory zakat system) bukan system yang sukarela (volutary zakat system). Konsekwensi dari system ini adalah wujudnya institusi negara yang bernama baitul mal (treasury house).

Fungsi pertama dari negara Islam adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup minimal (guarantee of a minimum level of living). Institusi negara yang bernama baitul mal-lah yang memiliki tugas menjalankan fungsi negara tersebut. Dengan tepenuhinya kebutuhan hidup minimal maka masyarakat Islam diharapkan akan menjalankan secara leluasa segala kewajibannya sebagai hamba Allah SWT tanpa perlu ada hambatan-hambatan yang mungkin memang diluar kemampuannya.

Mekanisme zakat memastikan aktifitas ekonomi dapat berjalan pada tingkat yang minimal yaitu pada tingkat pemenuhan kebutuhan primer, sedangkan infak-shadakah dan intsrumen sejenis lainnya mendorong permintaan secara agregat, karena fungsinya yang membantu ummat untuk mencapai taraf hidup diatas tingkat minimum. Karena oleh negara infak-shadaqah dan instrumen sejenisnya inilah yang melalui bitul mal digunakan untuk mengentaskan kemiskinan melalui program-program pembangunan. Jadi zakat dan infak-shadaqah memiliki perannya masing-masing. Pada kondisi ummat yang baik dimana tingkat keimanannya ada pada level yang baik, maka pendapatan negara yang bersumber dari infak-shadaqah sepatutnya lebih besar dari penerimaan zakat.

Dalam membahas prilaku konsumsi dari individu muslim, karakteristik zakat sudah nampak terlihat, bahwa zakat merupakan instrumen ekonomi yang vital. Absensi mekanisme zakat dalam perekonomian akan merusak keseimbangan ekonomi, bahkan memiliki pengaruh yang besar pada ketidakseimbangan social.

Zakat dengan institusi amil zakat menjaga hubungan yang baik antara si miskin dan si kaya, tanpa perlu mengorbankan harga diri golongan miskin, disebabkan mekanisme distribusi zakat yang melalui baitul mal. Begitu juga dengan efek negatif dari kesenjangan yang amat dalam antara kaya dan miskin seperti meningkatnya kriminalitas, kemaksiatan dan segala tingkah laku negatif, akan dengan signifikan tereduksi.

Timur Kuran dalam sebuah artikelnya membahas peran dan fungsi zakat ini secara kritis. Kuran berpendapat bahwa data sejarah menunjukkan bahwa zakat lebih berperan sebagai alat politik dari pada alat ekonomi, sebab zakat lebih efektif menjaga kestabilan politik dibandingkan alat peningkat produktivitas dalam sebuah bangunan ekonomi. Namun oleh Monzer Kahf (1992)  kecendeungan fungsi zakat tersebut dapat dibantah. Kahf mengatakan bahwa melalui golongan masyarakat penerima (mustahik) dan pembayar (muzakki), zakat memiliki peran dalam mendorong kinerja ekonomi. Menurut Kahf, zakat yang diterima oleh mustahik akan meningkatkan konsumsinya yang tentu kemudian meningkatkan agregat permintaan secara makro.

Sementara itu pada pihak muzakki, zakat akan meningkatkan rasio simpanan mereka, dengan asumsi bahwa tiap individu akan mempertahankan tingkat kekayaannya. Jadi peningkatan rasio tabungan, menurut Kahf merupakan kompensasi dari pembayaran zakat. Dan peningkatan rasio tabungan ini memiliki hubungan yang erat dalam peningkatan investasi dari muzakki. Peningkatan output akibat naiknya tingkat konsumsi mustahik membuat muzakki melakukan (keputusan) investasi. Sehingga pada saat yang sama akan meningkatkan pemintaan agregat.

Penanggungan kebutuhan hidup minimal tidak hanya diberikan pada masyarakat Islam saja (meskipun sumbernya bukan dari zakat), masyarakat non-Islam pun dapat memperoleh jaminan tersebut. Hal ini tergambar dari perjanjian pedamaian untuk penduduk Hairah di Irak yang ditulis Khalid bin walid pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a. Dalam perjanjian tersebut jaminan kebutuhan hidup minimal diberikan oleh Baitul Mal kepada setiap orang tua yang tak kuat bekerja, cacat atau fakir-miskin dan dihapuskan kewajiban membayar jizyah sepanjang ia tinggal di negaa Islam .

Beberapa negara yang menerapkan system ekonomi konvensional memiliki instrumen yang berfungsi hampir sama dengan zakat. Beberapa negara (teutama negara barat) menerapkan tunjangan social bagi penduduknya yang tidak memiliki kerja, uzur atau tidak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah. Dan sumber pendanaannya adalah berasal dari pajak. Namun karakteistik pajak serta tunjangan social tersebut berbeda sama sekali dengan mekanisme yang ada dalam Zakat. Penjaminan dalam mekanisme zakat merupakan prioritas utama dalam kebijakan ekonomi. Sedangkan dalam konvensional tunjangan social sangat tergantung pada penerimaan pajak, ketika dana pajak dirasakan tidak mencukupi, maka tunjangan tersebut bukanlah menjadi prioritas yang utama.


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Lintas Umum
Baca selengkapnya..

MANAJEMEN ZAKAT DAN WAKAF


MANAJEMEN ZAKAT DAN WAKAF
DALAM PENINGKATAN EKONOMI UMAT
Oleh:  Syukri Iska*

Dilihat dalam konteks kehidupan ekonomi, umat Islam selalu diidentikkan dengan kemiskinan. Sisi pandang seperti ini, kelihatan ada benarnya, disaat dipandang kenyataan masyarakat miskin dunia itu,mayoritasnya adalah umat Islam. Negara berkembang yang masih sarat dengan kemiskinan itu, umumnya adalah negara yang berpenduduk mayoritas muslim.
Pada hal kalau diperhatikan secara normatif, Islam sangat anti dan menolak kemiskinan. Bahkan Islam tidak membenarkan kaum sufi yang telah menerima konsep Manichaeisme dari Persia. Zuhud dalam idiom Islam bukan berarti memuji kermiskinan. Karena zuhud harus dipahami sesuai dengan maknanya yakni memiliki sesuatu dan menggunakannya secara sederhana.(Yusuf al-Qardhawi, 1995)
Banyak ayat dan hadis memandang kemiskinan sebagai bahaya yang menakutkan. Bahaya ini bisa mengancam individu dan masyarakat, akidah dan keimanan, moral dan akhlak, pemikiran dan kebudayaan. Akan tetapi kenapa kenyataan masyarakat Islam hari ini, bisa dalam realitas kehidupan dan persepsi identik dengan lemiskinan seperti itu?
Di antara penyebabnya adalah karena banyak umat Islam, dalam memahami konsep zakat, wakaf, dan sebagainya dalam perspektif yang kurang pas, sehingga berimplikasi terhadap penerapan yang kurang proporsional dan profesional. Untuk itu perumusan dan pemahaman tentang manajemen zakat dan waqaf, setidaknya bagi elite tertentu, sudah merupakan suatu hal yang seharusnya. Sehingga zakat dan waqaf ini tidak saja sebagai unsur kewajiban sikaya yang harus dibayarkan kepada simiskin, akan tetapi bagaimana agar dapat memberikan implikasi filosofis yang lebih jauh, yakni kemiskinan itu sebetulnya  tidak harus ada dalam konsep umat Islam. Dengan arti kata, kalau zakat dan waqaf itu bila dimanej secara profesional, tentunya akan menjadi sebuah kekuatan bagi ekonomi umat.

A. Zakat dalam Konsep

Sebelum dibahas tentang manejemen zakat dan wakaf, alangkah lebih baik diulas lebih dahulu bagaimana zakat dan wakaf itu dalam konsep. Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi penting, strategis, dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun Islam, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai hadis Nabi. Sehingga keberadaannya dianggap ma’lûm min addien bi al-dharurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak  dari keislaman seseorang.(Didin Hafidhuddin, 2004).  Di dalam al-Qur`ân terdapat kurang lebih 27 ayat yang menyejajarkan shalat dan kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata.
Al-Qur`ân menyatakan bah-wa kesediaan berzakat dipandang sebagai indikator utama ketunduk-an seseorang terhadap ajaran Islam (QS. 9:5) dan (QS.9:11), ciri utama mukmin yang akan mendapatkan kebahagiaan hidup (QS.23:4), dan ciri mukmin yang akan mendapat-kan rahmat dan pertolongan Allâh SWT (QS.9:73 dan QS. 22: 40-41).  Kesedian berzakat dipandang pula sebagai orang yang selalu ber-keinginan untuk membersihkan diri dan jiwanya dari berbagai sifat buruk seperti bakhil, egois, rakus, dan tamak, sekaligus berkeinginan untuk selalu membersihkan, menyucikan, dan mengembangkan harta yang dimilikinya (QS.9:103 dan QS.30:39).
Sebaliknya, ajaran Islam memberikan peringatan dan ancaman yang keras terhadap orang yang enggan mengeluarkan zakat.  Di akhirat kelak, harta benda yang disimpan dan ditumpuk tanpa dikeluarkan zakatnya, akan berubah menjadi azab bagi pemiliknya (QS.9:34-35).  Sementara dalam kehidupan dunia sekarang, orang yang enggan berzakat menurut beberapa hadis Nabi, harta bendanya akan hancur.  Dan jika keengganan ini memassal, maka Allâh SWT akan menurunkan berbagai azab, seperti musim kemarau yang panjang.  Atas dasar itu, sahabat Abdullah ibnu Mas’ud menyatakan bahwa orang-orang yang beriman diperintahkan untuk menegakkan shalat dan mengeluar-kan zakat.  Siapa yang tidak berzakat, tidak ada shalat baginya.  Rasulullah Saw., pernah meng-hukum Tsa’labah yang enggan berzakat dengan isolasi yang berkepanjangan.  Tak ada seorang sahabatpun yang mau berhubungan dengannya,  meski hanya sekedar bertegur sapa. Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq bertekad akan meme-rangi orang-orang yang mau salat tetapi enggan untuk berzakat.  Ketegasan ini menunjukkan bahwa perbuatan meninggalkan zakat adalah suatu kedurhakaan, dan bila hal ini dibiarkan, maka akan memunculkan pelbagai kedurhakaan dan kemaksiatan yang lain.
Kewajiban menunaikan zakat yang demikian tegas dan mutlak itu, karena dalam ajaran Islam ini terkandung hikmah dan manfaat yang demikian besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan muzakki, mustahiq, harta benda yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat secara keseluruhan.  Hikmah dan manfaat tersebut, antara lain adalah:
Pertama, sebagai perwujud-an iman kepada Allâh SWT, mensyukuri nikmat-Nya menum-buhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kepedulian yang dapat menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus mengembangkan dan menyucikan harta yang dimiliki (QS.9:103, QS.30:39, QS.14:7).
Kedua, karena zakat meru-pakan hak bagi mustahiq, maka berfungsi untuk menolong, mem-bantu dan membina mereka, terutama golongan fakir miskin ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allâh SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki, dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka ketika melihat golongan kaya yang berkecukupan hidupnya.  Zakat sesungguhnya bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif yang sifatnya sesaat akan tetapi memberikan kecukupan dan kesejahteraan kepada mereka, dengan cara menghilangkan atau memperkecil penyebab yang men-jadikan kehidupan mereka miskin dan menderita.
Ketiga, sebagai pilar jama’i antara kelompok aghniyâ’ yang berkecukupan hidupnya dengan para mujahid yang waktunya sepenuhnya untuk berjuang di jalan Allâh, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk berusaha bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya.  Firman Allâh dalam QS. al-Baqarah/2:273.
للفقراء الذين احصروا في سبيل الله لا يستطيعون ضربا في الارض يحسبهم الجاهل أغنياء من التعفف تعر فهم بسيمهم لا يسئلون الناس إلحافا وماتنفقوا من خير فإن الله به عليم.{ ا لبقرة : 273}
“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allâh mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta.  Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.  Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allâh), maka sesungguhnya Allâh Maha Me-ngetahui”. (QS. al-Baqarah/2:273).
Keempat, sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana pendidikan, kesehatan, maupun sosial-ekonomi, dan ter-lebih lagi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
والمؤمنون والمؤمنت بعضهم أولياء بعض يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلوة ويؤتون الذكوة ويطيعون الله ورسوله اولئك يرحمهم الله ان الله عزيزحكيم.{ التوبة:71}.  
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.  Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allâh  dan Rasul-Nya.  Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allâh, sesungguhnya Allâh Maha Perkasa dan Maha Bijaksana”. (QS. at-Taubah/9:71).
Kelima, untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, karena zakat tidak akan diterima dari harta yang didapatkan dengan cara yang bathil (al-Hadits).  Zakat mendorong pula umat Islam untuk menjadi muzakki yang sejahtera hidupnya.
Keenam, dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan.  Dengan zakat yang dikelola dengan baik dimungkinkan membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan economic growth with equity.  Kahf menyatakan bahwa zakat dan sistem pewarisan Islam cenderung kepada distribusi harta yang egaliter, dan  sebagai akibat dari zakat harta akan selalu beredar.
Zakat, menurut Ahmad, adalah sumber utama kas negara, sekaligus merupakan soko guru dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan al-Qur`ân. Zakat akan mencegah terjadinya akumulasi harta pada satu tangan, dan pada saat yang sama mendorong manusia untuk melakukan investasi dan mempromosikan distribusi.
Zakat juga merupakan insti-tusi yang komprehensif untuk distribusi harta, karena hal ini menyangkut harta setiap muslim secara praktis, saat hartanya telah sampai atau melewati nishab.  Akumulasi harta ditangan se-seorang atau sekelompok orang kaya saja, secara tegas dilarang Allâh SWT, sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur`ân surat al-Hasyr/59:7.
......كي لا يكون دولة بين الا غنياء منكم ... {الحثر : 7}.
“.......agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja diantara kamu..........”(al-Hasyr/59:7).


B. Wakaf Tunai dalam Perspektif
Wakaf merupakan salah satu lembaga sosial ekonomi Islam yang potensinya belum sepenuhnya digali dan dikembangkan. Pembahasan ulama dan intelektual tentang wakaf, khusus wakaf tunai, sesungguhnya telah cukup maju, tidak hanya pada kalangan intelektual kontemporer, seperti, Monzer Kahf, Khaled R. Al-Hajeri, Abdulkader Thomas, M.A. Mannan saja,  melainkan para ulama mazhab pun tidak luput membicarakannya.   Banyak gagasan yang mereka kemukakan sudah mengantisipasi perkembangan zaman. Akan tetapi, sebelum dijelaskan lebih jauh, bagaimana wakaf tunai (uang) lebih jauh, agaknya lebih baik dijelaskan terlebih dahulu syarat-syarat benda yang diwakafkan menurut ulama fikih, yakni; pertama, harta yang diwakafkan itu harus jelas wujudnya, agar terjamin kepastian hukum dan hak orang yang menerimanya. Kedua, benda tersebut harus punya nilai ekonomis, tetap/kekal zatnya dan dapat dimanfaatkan terus menerus oleh mauquf alaih. Ketiga, harus milik siwaqif sepenuhnya. Bagaimana halnya pendapat ulama mazhab tentang wakaf tunai (uang)? Ulama mazhab Maliki misalnya, membolehkan mewakafkan manfaat hewan untuk dipergunakan, dan membolehkan mewakafkan uang.  Ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali berpendapat bahwa baik harta bergerak, seperti mobil dan hewan, maupun harta tidak bergerak seperti rumah dan tanaman, boleh diwakafkan (Menteri Agama RI, pada pembukaan Workshop Wakaf Produktif, Batam, 2002).
Beberapa ulama terdahulu seperti az-Zuhri (wafat tahun 124 H) berpendapat bahwa boleh me-wakafkan dinar dan dirham.  Caranya ialah menjadikan dinar dan dirham tersebut sebagai modal usaha (dagang) kemudian menya-lurkan keuntungannya sebagai wakaf.  Menurut Mazhab Hanafi (Wahbah al-Zuhaily, 1997) bahwa uang yang diwakafkan dijadikan modal usaha dengan sistem mudharabah atau sistem bagi hasil lainnya.  Keuntungan dari bagi hasil diberikan untuk kepentingan umum.
Meskipun beberapa ulama ada juga yang tidak menyetujui wakaf tunai dengan uang, seperti Ali Abidin (Anwar Ibrahim, 2002). Didin (2004), berpendapat bahwa wakaf tersebut dibenarkan dalam syariah, dengan catatan uang tersebut tetap terjaga dan terpelihara, misalnya disimpan di Lembaga Keuangan Syariah yang amanah dan profesional.  Banyak sasaran yang bisa dicapai dengan wakaf tunai, seperti dikemukakan A. A. Mannan (1995) yang telah berhasil mengembangkan sertifikat wakaf tunai di Bangladesh, yaitu:
1. Menjadikan perbankan seba-gai fasilitator untuk mencipta-kan wakaf tunai dan membantu dalam pengelolaan wakaf.
2. Membantu memobilisasi ta-bungan masyarakat dengan menciptakan wakaf tunai dengan maksud untuk memperingati orang tua yang telah meninggal dan anak-anak serta mempererat hubungan kekeluargaan orang-orang kaya.
3. Meningkatkan investasi sosial dan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal.
4. Memberikan manfaat kepada masyarakat luas, terutama golongan miskin, dengan menggunakan sumber-sumber yang diambilkan dari golongan kaya.
5. Menciptakan kesadaran di antara orang kaya tentang tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat.
6. Membantu pengembangan Social Capital Market.
7. Membantu usaha-usaha pem-bangunan bangsa secara umum dan membuat hubungan yang unik antara jaminan sosial dan kesejah-teraan masyarakat.
C. Manajemen Zakat dan Wakaf
Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allâh SWT yang terdapat dalam al-Qur`ân surat at-Taubah ayat 60 yang menjelaskan tentang kelompok yang berhak menerimanya (mustahiq) dan ayat 103 yang menjelaskan tentang pentingnya zakat untuk diambil (dijemput) oleh para petugas (amil) zakat.  Demikian pula petunjuk yang diberikan oleh Rasulullah SAW kepada Muadz Ibn Jabal ketika diutus ke Yaman, beliau mengatakan:
“.....jika mereka telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan melak-sanakan salat, maka beritahukanlah bahwasanya Allâh SWT telah mewajibkan zakat yang diambil dari harta mereka dan diberikan kepada orang-orang fakirnya....”
Seperti telah dikemukakan di atas dan juga berdasarkan petunjuk al-Qur`ân, hadis Nabi dan pelaksanaannya di zaman Khulafa’ al-Rasyidin, bahwa pelaksanaan zakat bukanlah sekedar amal karitatif (kedermawanan), tetapi merupakan kewajiban bersifat otoritatif (ijbari). Jadi zakat tidaklah seperti shalat, shaum, dan ibadah haji yang pelaksanaannya diserahkan kepada individu masing-masing (sering disebut sebagai masalah dayyani), tetapi juga disertai keterlibatan aktif dari para petugas yang amanat, jujur, terbuka, dan profesional yang disebut amil zakat (sering disebut sebagai masalah qadha’i).
 Pengelolaan zakat melalui lembaga amil zakat, menurut Didin (2002), didasarkan pada beberapa pertimbangan.  Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat.  Kedua, menjaga perasaan rendah diri para mustahiq apabila berhadapan langsung untuk menerima haknya dari para muzakki.  Ketiga, untuk mencapai efisiensi, efektifitas, dan sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada di suatu tempat.  Misalnya, apakah disalur-kan dalam bentuk konsumtif ataukah dalam bentuk produktif untuk meningkatkan kegiatan usaha para mustahiq.  Keempat, untuk memperlihatkan syi’ar Islam dan semangat penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang Islami.  Sebaliknya, jika penyelenggaraan zakat itu begitu saja diserahkan kepada para muzzaki, maka nasib dan hak-hak orang miskin dan para mustahiq lainnya terhadap orang-orang kaya tidak memperoleh jaminan yang pasti.
Asas operasional dan pelaksanaan zakat seperti dikemukakan di atas tidak mengabaikan sifat dan kedudukan zakat itu sendiri sebagai ibadah mahdhah yang harus dilaksanakan atas dasar kesadaran, keikhlasan, dan ketaqwaan seseorang kepada Allâh SWT.  Demikian asas ikhlas dan sukarela tetap dominan dalam pelaksanaan zakat sebagaimana yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW., Khulafa’ al-Rasyidin, dan pemerin-tahan Islam sesudahnya.  Zakat yang sudah dikumpulkan oleh  Lembaga Amil Zakat (LAZ) atau Badan Amil Zakat (BAZ) harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan mustahiq, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur`ân surat at-Taubah  ayat 60.  karena itu LAZ harus dikelola dengan amanah, jujur, transparan dan profesional.  Dalam pasal 22 KMA Nomor 581 tahun 1999 dikemukakan bahwa LAZ yang baik memenuhi persyaratan, yaitu:
Berbadan hukum
Memiliki muzakki dan mustahiq
Memiliki program kerja
Memiliki pembukuan
Melampirkan surat pernyataan bersedia diaudit
Zakat yang dikumpulkan disalurkan langsung untuk kepentingan mustahiq, baik yang bersifat konsumtif, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur`ân surat al-Baqarah ayat 273, maupun yang bersifat produktif sebagaimana pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW dan dikemukakan dalam hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari ayahnya bahwa Rasulullah Saw telah memberinya pemberian (zakat) menyuruhnya untuk dikembangkan (tamawwalah) dalam kaitan itu, terdapat pendapat yang menarik dari sebagian ulama bahwa perintah (dalam hal ini BAZ dan LAZ yang amanah, terpercaya, dan profesional) diperbolehkan mem-bangun perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik dan yang lainnya dari uang zakat, untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya diberikan kepada para mustahiq dalam jumlah yang relatif besar, sehingga terpenuhi kebutuhan mereka dengan lebih leluasa. Pengembangan usaha yang lainnya dapat dianalogikan kepadanya. Hanya saja, dalam pelaksanaannya perlu kesungguhan, kehati-hatian, dan kecermatan, agar jangan sampai terjadi kerugian karena kesalahan para pengelola.
Hal yang sama dapat dilakukan pula untuk wakaf, terutama wakaf uang. Kalau dilihat secara hsitoris, para penguasa Dinasti Abbasiyah kerap mendorong pengembangan wakaf sebagai sumber pendapatan dan sekaligus pembiayaan untuk pembangunan, seperti biaya pendidikan. Cara inilah yang tetap abadi, karena tetap dilanjutkan oleh negara-negara Islam saat ini, seperti Saudi Arabia, Mesir, Turki dan Yordania, melalui lembaga-lembaga wakafnya. Wakaf bagi negara ini, tidak saja untuk biaya pendidikan, dan kesehatan masyarakat, melainkan juga dapat membangkitkan ekonomi masyarakat, karena menurut hemat mereka wakaf dapat dikelola dalam bentuk saham, usaha-usaha produktif, seperti real estate, pertanian, dsbnya, yang dikelola oleh lembaga-lembaga ekonomi yang profesional. (Budi Setyanto, 2003).
Hanya saja di samping dikelola oleh lembaga yang amanah, menurut Didin (2004), kerjasama dengan Lembaga Keuangan Syariah, seperti  Bank Syariah merupakan suatu keniscayaan. Bagaikan yang terdapat pada negara Mesir. Badan Wakaf yang dibentuk oleh pemerintah Mesir, ,emitipkan hasil harta wakaf di bank-bank islam. Bahkan Badan Wakaf turut berpartisipasi mendirikan bank-bank Islam, bekerja sama dengan beberapa perusahaan, membeli saham dan obligasi perusahaan penting, di samping juga memanfaatkan lahan kosong agar produktif. Hasil pengembangan wakaf dimanfaatkan untuk membantu kehidupan masyarakat miskin, anak yatim, mengangkat kehidupan pedagang kecil dan kaum dhuafa. Dana hasil pengembangan wakaf digunakan juga untuk mendirikan masjid, sekolah dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bagaikan juga di negara Bangladesh, menurut Budi, wakaf dikelola oleh lembaga keuangan syariah, yakni melalui Social Investment Bank Ltd. (SIBL), dengan mengembangkan Pasar Modal Sosial (the Voluntary Capital Market). Di samping itu lembaga ini juga mengembangkan instrumen-instrumen keuangan lainnya; Waqf Properties Development Bond, Cash Waqf Deposit Certificate, Family Waqf Certificate, Mosque Community Share, Quard-e-Hasana Certificate, Zakat/Ushr Payment Certificate, Hajj Saving Certificate, dan lain-lainnya.
Bahkan di negara kapitalis, Amerika Serikat, wakaf warga muslimpun dikelola secara profesional oleh lembaga-lembaga keuangan, seperti, Kuwait Waqf Public Foundation (KAPF) yang bermarkas di New York, dan al-Manzil Islamic Financial Service bertindak sebagai advisor. Hasilnya KAPF berhasi membangun apertemen senilai 85 juta dollar di atas tanah milik Islamic Cultural Center New York.
Bagaimana halnya Indonesia? Menurut Budi lebih jauh, pemerintah pada dasarnya punya kepentingan dengan pengembangan lembaga wakaf ini, apakah melalui lembaga keuangan syariah atau tidak. Sebab lembaga ini bisa membantu pemerintah dalam mengatasi kemiskinan dan pembangunan ekonomi masyarakat. Walaupun sangat disadari bahwa pemahaman umumnya masyarakat tentang wakaf mempengaruhi terhadap kelambanan terbentuknya lembaga wakaf ini secara konkrit. Dalam pemahaman umat yang telah terpatri bertahun-tahun, wakaf hanyalah berbentuk tanah dan hanya diperuntukkan untuk rumah ibadah atau lembaga-lembaga social.
Untuk itu suatu hal yang perlu dalam pemahaman yang sama adalah,    peningkatan kekuatan ekonomi umat melalui manajemen zakat dan wakaf yang baik akan terjadi, bila dilakukan secara sinergis dan koordinatif antara lembaga yang dimiliki umat. Zakat  dan wakaf dapat pula dimanfaatkan untuk kepentingan peningkatan SDM, seperti pemberian beasiswa bagi para pelajar, santri, dan mahasiswa dalam hal orang tua mereka termasuk dalam kategori mustahiq zakat. Singkatnya, para pengelola zakat dan wakaf harus memiliki program dan skala prioritas yang jelas. Demikian pula pelaporan (pemasukan dan pengeluaran) harus disampaikan secara terang dan jelas agar kepercayaan muzakki dan waqif  akan semakin bertambah.
D. Kesimpulan
Demikianlah makalah ini dibuat, mudah-mudahan bisa menjadi bahan pemikiran dan terwujud dalam kehidupan nyata dengan dikelolanya zakat dan wakaf secara institusional dan profesional, sebagai sebuah kekuatan ekonomi umat yang selalu berorientasi pada kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat di bawah panji-panji Islam. Agaknya pemerintah Indonesia hari ini, yang tengah kelabakan menghadapi persolan ekonomi bangsa yang masih carut marut, perlu memberikan political will secara regulatif dan dorongan-dorongan lain yang bisa mempercepat terwujudnya sistem aplikatif lembaga wakaf, di samping lembaga zakat yang sudah ada. Pemahaman dan kemauan masyarakatpun dalam mengelola zakat dan wakaf ini secara lebih berdaya guna dan berhasil guna, dapat tercapai. Sehingga kemampuan dan kekuatan ekonomi umatpun semakin meningkat.

DAFTAR PUSTAKA
Kahf, Monzer, The Islamic Economy: Analytical of the Functioning of the Islamic System, Canada: t.tp, 1997
Manan, M. Abdul, Islamic Economics, Theory and Practice, Terjemahan, Yogyakarta, Dana Bakti Wakaf, 1995.
Al-Zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Islam wa Adilatuhu. Beirut: dar al-Fikr, 1989
Hafidhuddin, Didin, Manajemen Zakat dan Waqaf,  Jurnal Juris STAIN Batusangkar, 2004.
________________,  Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta, Gema Insani, 2002.
Qardhawi, Tusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Terjemahan, Jakarta, Gema Insani, 1995.
Setyanto, Budi, Investasi Melalui Pasar Modal Sosial,  dala Majalah Modal No. 4/I-Februari 2003

Curriculum Vitae

Nama : Drs. H. Syukri Iska, M.Ag
Tempat/Tgl Lahir : Padang/19 Oktober 1963
Alamat : Jl. Cimonai Kubu Rajo Lima Kaum Batusangkar Sumbar
Jabatan : Lektor Kepala/Ketua STAIN Prof. Dr. H. Mahmud Yunus Batusangkar
Riwayat Pendidikan :
- Akabah Bukittinggi, 1986 (D3)
- Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang 1991 (S1)
- Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1996 (S2)
- Malaya University Kuala Lumpur, (S3) Proses Penyelesaian.
Riwayat Pekerjaan :
- Asistem Ahli Madya di Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang
- Asistem Ahli Madya di Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Batusangkar
- Asisten Ahli di Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Batusangkar
- Lektor di STAIN Prof. Dr. H. Mahmud Yunus Batusangkar
- Lektor Kepala di STAIN Prof. Dr. H. Mahmud Yunus Batusangkar
Karya Tulis & Penelitian :
- Ijditihad Umar bin Khatab dan Relevansinya dengan Kemaslahatan Umat
- Fiqh al-Aulawiyat Yusuf al-Qardhawi
- Mode Pakian Civitas Akademika Perempuan IAIN Imam Bonjol Padang menurut Perspektif Hukum Islam
- Eksistensi Kitab Fiqh sebagai Pertimbangan Hukum dalam Pengambilan Keputusan Hakim di Pengadilan Agama Pasca KHI (Studi Kasus Pengadilan Agama di Sumbar)
- Manajemen Masjid (Sebagai Media Alternatif Pengembangan Ekonomi Syariah)
- Political Will Pemerintah Daerah dalam Pengembangan Perbankan Syariah di Luhak Nan Tuo
- Transformasi Hukum Islam dalam Perspektif Ibn al-Qayyim
- Bermazhab dalam Fiqh sebagai Media Edukasi
- Sistem Ekonomi Islam di Sisi Kelemahan Sistem Ekonomi Sekuler di Indonesia.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Lintas Umum
Baca selengkapnya..

MACROECONOMICS


ZAKAT: IT’S MACROECONOMICS RELEVANCE (PART II)
Lecture Note X of Zakat

Set by:
Ganjar Yuri Rahman




1. SHORT RUN SAVINGS

The saving function in Islamic economy will be of the type:


Where

Remember, when Y is held to be constant (ceteris paribus), therefore




Case 1
Zakat is treated as tax so that only zakat is paid and there is no God-Consciousness (al-iman wattaqwa). This means no other spending is made in the way of Allah and no restraints on self consumption are exercised and a Muslim behaves as a secular consumer. This means:


TABLE 1
Effects of Introduction of zakat as a Tax on Short Run Savings at Different Levels of Marginal Propensity to Consume (MPC)

Marginal Propensity to Consume before Introduction to Zakat (a1) Value of F1 (Marginal Propensity to Save) after Zakat Value of (1 – a1) Marginal Propensity to Save without Zakat F1S % of (1 – a1) Percentage Decline in Marginal Propensity to Save as a Result of Zakat
1.00 0.000 0.00 0.00 0.0
0.90 0.1998 0.10 99.8 0.2
0.80 0.1990 0.20 99.5 0.5
0.70 0.2977 0.30 99.2 0.8
0.60 0.3960 0.40 99.0 1.0
0.50 0.4938 0.50 98.8 1.2
0.40 0.591 0.60 98.5 1.5
0.30 0.688 0.70 98.3 1.7
0.20 0.784 0.80 98.0 2.0
0.10 0.8802 0.90 97.8 2.2
0.00 0.9756 0.00 (1.00?) 97.0 2.5


The maximum effect will be a 2.5 % decline when the MPC = 0. This simply means that whatever they save from their additional income will be reduced by the amount of zakat at the rate of 2.5% (riqqah). If they were saving all of their additional income, then this saving will be reduced by 2.5% and if they were saving only 20% then this will be reduced by 0.5% of 20% of zakat.


Case 2
Muslims understand the importance of spending in the way of Allah but their own consumption patterns are the same as of secular consumers. This means


Case 3
Muslims are not inclined to spend in the way of Allah more than the minimum required. They, however, rationalize their own consumption pattern as taught by the Al-Qur’an wassunnah. This means Z1 = 0, but b = (+). In this case

Marginal Propensity to Save, MPS = F1W, where



Let’s compare this with the secular MPS

 
The restraint on self consumption reduced the overall consumption by a certain factor. But reduced consumption means more zakat. The net effect is shown in the following table the table shows MPS* (i. e. MPS of an economy that has some positive values of ).
The values of MPS* have been shown for different values of b at two alternative levels of MPS (which is the propensity to save in the absence of Islamic injunctions). The two alternatives value has been assumed to be 0.20 and 0.10 which is a range generally observed for the present Muslim’s countries.

TABLE 2
Values of MPS* for Different Values of  when Z1 = 0

When MPS = 0.20
i. e. when a1 = 0.80 When MPS = 0.10
i. e. when a1 = 0.90
0.01 0.209 0.100
0.02 0.217 0.118
0.05 0.241 0.150
0.10 0.282 0.191
0.20 0.363 0.282
0.30 0.445 0.373
0.40 0.527 0.465
0.50 0.609 0.558


The MPS * will be higher than MPS for higher values of . Cases 2 and 3 are also unlikely in an Islamic economy. Both  and Z1 depend on the level of God-fearingness. It is very unlikely that one of them is zero and the other positive.
In comparing Case 3 with Case 2, we find that one parameter of an Islamic economy (Z1) will have a negative effect on saving propensity whereas the other parameter () will have a positive effect. Their combined effect is considered in Case 4.


Case 4
Muslims not only spend in the way of Allah but also rationalize their own consumption as taught by the Al-Qur’an wassunnah. A likely reflection of an Islamic economy. In this case:

MPS is MPS* = F1W


Let’s compare this with secular marginal propensity to save, MPS = (1 – a1)W.
MPS* (i. e. marginal propensity to save of an Islamic economy) will be greater than MPS if



It is obvious that the first component is greater than (1 – a1) as (0 < P < 1). But the second part is clearly less than unity because Z1 > 0 and {1.025 – 0.025a1 (1 - ) } > 1 as (a1,  > 0 and < 1). The outcome, whether MPS* > MPS, will therefore, depend on the empirical values of Z and  (which in turn will depend on the level of God-fearingness in the society).

Let’s assume Z1 = 0.025. It should be remembered that this is a proportion of his annual income that a God-fearing man will spend in the way of Allah, in addition to 2.5% zakat that he is obliged to pay on his wealth. Also assume MPS in the economy before Islamization to be 0.20 (i. e. a1 = 0.80). Now, assuming different hypothetical values for  that may be observed after Islamization, the impact on MPS is shown in the following table:



TABLE 3
Values of MPS* for Different Values of  when Z1 = 0.025  
MPS* when a1 = 0.80 MPS* - MPS i. e. when a1 = 0.90
0.000 0.194 - 0.006
0.005 0.198 - 0.002
0.008 0.200 0.000
0.01 0.202 + 0.002
0.02 0.209 + 0.009
0.05 0.233 + 0.033

It can be seen that when  = 0 (which is same as case 2 discussed earlier), there will be an immediate effect on the MPS. But a very small value of  would make the MPS higher even in the short run. This means that if people are willing to slightly range their life style to reduce what Islam call prodigality (israf), cannot have a negative effect on the (macro) MPS in the economy.
As is evident from the table, even as low, would not allow any negative effect on the propensity to save. A value equal to 0.008 would mean that if a person was having propensity to consume 0.80 when operating in an un-Islamic environment and Islamic values would cause him to reduce this to (at least) 0.794 which is not an unreasonable assumption. The injunction to avoid prodigality can have a much stronger effect on consumption particularly in the modern environment of developing countries where consumption patterns are substantially dominated by conspicuous consumption. The higher the value of , the more the positive effect on the propensity to save.
If Z1 value > 0.025 (i. e. people like to spend more in the way of Allah), a higher value of  will be required to avoid the negative effect on the propensity to save. Since both Z1 and b depend on the level of God-fearingness,  is expected to move with Z1, hence reducing the negative impact on the propensity to save.
Thus, in an Islamic society, the MPS is likely to increase even in the short run.      
     


2. LONG RUN SAVINGS

This part also can be written only after simulations for future can be made by assigning different values to the parameter to see the growth path of savings. Since transfers from muzakki contribute to mustahiq, savings will ultimately be higher in all the four scenarios, compared to the scenario of a secular economy.



3. GROWTH AND INCOME DISTRIBUTION EFFECTS

This part also can be written after simulations are done. Theoretically, it is easy to visualize within the framework of the above model that growth and income distribution implications of Islamic consumption pattern will be favorable i. e. growth (a part of al-imarah) will be higher and income distribution will be more egalitarian.



4. CONCLUSION

Comparison of savings, growth, and income distribution effects by simulating the model under different scenarios can highlight various implications and trade-offs.
For developing countries striving for resource mobilization for development, Islamization provides a “new hope”. The motivation to consume less and save more to improve one’s own economic conditions as well as economic conditions of the lesser privileged in the community comes from one’s conscience (from religion). It can’t be denied that many policies and regulation fail because of lack/ gap in harmony with the social and religious norms, in the scale - scope of micro and macro.
The process of zakat regulation- legislation should be accompanied – collaborated by moment of Islamic value’s inculcating. The speed of achieving favourable effect on growth and income distribution in the long run will be extremely slow if the timing of Islamization of life is constrained. So, the system of Islamic economics must be formed with the totality of Islam original identity (kaffah, syamil mutakamil).    
 


5. REFERENCES

Faridi, F. R. A Theory of Fiscal Policy in an Islamic State. In Fiscal Policy and Resource Allocation in Islam. Ed. By. Ziauddin Ahmed, et. al. Islamabad. IPS. 1983.
Kahf, Monzer. A Contribution to the Theory of Consumer Behaviour in an Islamic Society. Studies in Islamic Economics. Ed. By. Khurshid Ahmed. Islamic Foundation. Leicester. 1980.
Ahmed, Khurshid. Economic Development in an Islamic Framework. In Studies in Islamic Economics. Ed. By. Khurshid Ahmed. Islamic Foundation. Leicester. 1980.
Robb, E. L. and S. Tahir. Does Distribution Matter in Aggregate Consumption Function? A Test in the Context of Permanent Income Hypothesis. QESP Research Report No. 13. Mc. Master University. 1981.
Zarqa, Anas. An Approach to Human Welfare. Studies in Islamic Economics. Ed. By. Khurshid Ahmed. Islamic Foundation. Leicester. 1980.








 
6. APPENDIX












Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Lintas Umum
Baca selengkapnya..

PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT




PERAN LEMBAGA ZAKAT DALAM
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT






Disampaikan oleh:


Anita Prianita


Pada

Lomba Karya Tulis Ekonomi Islam (LKEI)
Temilnas IV FoSSEI 2005
Mataram














Brief History
Perintah zakat diturunkan Allah pada tahun ke 2 hijriah. Pada saat itu keadaan ekonomi para sahabat telah berada dalam keadaan cukup mapan setelah mereka diusir dari Makkah tanpa membawa banyak barang berharga. Ayat-ayat yang menunjukkan kewajiban zakat diantaranya: ”Dirikanlah shalat dan tunaikan zakat dan ruku’lah bersama orang−orang yang ruku’”. (QS. Al Baqarah : 43).
Perintah zakat telah diturunkan dengan kadar yang juga telah ditetapkan. Misalnya, pada zakat fitrah, jumlah yang harus dibayar adalah 2,5 sha dari makanan pokok yang dikonsumsi. Zakat emas ditentukan dengan kadar 2.5%, zakat pertanian yang diairi hujan ditentukan dengan kadar 10 % dan zakat pertanian yang diairi oleh selain air hujan ditentukan dengan kadar 5 %, zakat binatang ternak juga ditentukan kadarnya sesuai dengan sabda Nabi. Akan tetapi, kewajiban kaum muslimin tidak hanya terbatas pada kadar-kadar tersebut. Nabi saw pernah bersabda:
”Sesungguhnya Allah mewajibkan zakat atas orang−orang kaya dari umat Islam pada harta mereka dengan batas sesuai kecukupan fuqoro diantara mereka. Orang−orang fakir tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau tidak berbaju kecuali karena ulah orang−orang kaya diantara mereka. Ingatlah bahwa Allah akan menghisab mereka dengan keras dan mengadzab mereka dengan pedih.” (HR. Ath Thabrani dari Ali ra).

Dalil di atas menunjukkan bahwa kewajiban kaum muslimin dalam mengeluarkan hartanya terpenuhi sampai batas ketika masyarakat di sekitarnya telah tercukupi kebutuhan dasarnya. Jadi, apabila ternyata dana zakat yang telah terkumpul tidak mampu mencukupi kebutuhan masyarakat di wilayah itu, maka para aghniya diwajibkan untuk mengeluarkan kembali sejumlah harta -diluar zakat yang telah ia bayarkan- sampai tidak ada lagi kefakiran di sekelilingnya.
Dengan ketentuan tersebut, Alhamdulillah di masa Nabi tidak terjadi kesenjangan sosial yang terlalu jauh karena kekayaan telah terdistribusi sedemikian rupa sehingga tak ada golongan rakyat yang bermewah-mewahan sementara di sisi lain ada golongan rakyat yang sangat melarat.
Rasulullah melakukan sosialisasi kesadaran berzakat secara bertahap. Beliau mengutus 5 orang dai ke beberapa wilayah di negeri Yaman. Nabi mengutus Khalin ibnu Sa'id ke Shan'a, Al-Muhajir ibnu Umayyah ke Kindah, Zaid ibnu Abu Sa'id ke Hadhramaut, Abu Musa Al Asya'ari ke Zubaid, Adn serta Sahil, dan Mu'adz ibnu Jabal ke Al-Janad. Para utusan sebelumnya telah diberi pemahaman yang komprehensif tentang urgensi zakat. Hal tersebut tercermin, misalanya pada nasihat Rasulullah kepada Mu'adz bin Jabal sebagai berikut: "Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Apabila engkau telah tiba di kalangan mereka, maka serulah (ajaklah) mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Apabila mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritakanlah kepada mereka bahwa Allah telah memfardukan shalat lima waktu sehari semalam kepada mereka. Apabila mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritakanlah kepada mereka bahwa Allah telah memfardukan sedekah (zakat) yang dipungut dari kaum hartawan di antara mereka lalu diberikan kepada kaum fakir miskin di antara mereka. Apabila mereka mentaatimu dalam hal itu, maka hati-hatilah kamu terhadap harta benda mereka yang paling disayangi dan takutlah kamu terhadap doa orang yang teraniaya, karena sesunguhnya tidak ada suatu penghubung pun antara dia dan Allah." (HR. Bukhari)
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan do’akanlah mereka karena sesungguhnya do’amu dapat memberi ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah : 103).
Kata “ambillah” menunjukkan adanya pemaksaan pada pengumpulan zakat. Pada pelaksanaannya, Nabi mengangkat pegawai pengumpul zakat yang disebut mushadiq atau sa'i. Hal tersebut seperti juga diceritakan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Abu Hurairah, "Bahwasannya Rasulullah saw, telah mengutus Umar Ibnu Khaththab, pergi memungut zakat." (Al-Majmu'6:167).
Nabi Muhammad dengan wewenangnya sebagai kepala negara telah menunjuk orang-orang tertentu untuk mengambil zakat dari kaum muslimin. Hal tersebut menunjukkan bahwa zakat tidaklah terkumpul dengan sukarela, akan tetapi secara ketat dan tegas ditentukan bahwa zakat adalah sebuah kewajiban yang harus dibayar.
Pada masa kepemimpinan khulafa ar rasyidin, zakat juga dikumpulkan oleh para petugas yang secara resmi diangkat oleh khalifah. Bahkan, khalifah Abu Bakar memerangi suku Abes dan Dzubyan -yang didukung oleh suku Kinanah, Ghatafan dan Fazarah - yang tidak mau membayar zakat.
Selama masa Rasul, para sahabat, dan para tabiin, zakat telah terkumpul dan terdistribusi dengan baik. Hal ini terbukti ketika masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz hanya dalam masa 2 tahun berhasil mengentaskan kemiskinan sehingga tidak ada lagi yang mau menerima zakat semua rakyatnya mereasa sudah menjadi mzaki (pembayar zakat) bukan lagi mustahik (penerima zakat).
Sebagaimana dituturkan Abu Ubaid bahwa Gubernur Irak Hamid bin Abdurrahman mengirim surat kepada Amirul Mukminin tentang melimpahnya dana zakat di baitulmaal karena sudah tidak ada lagi yang mau menerimanya, lalu Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memberikan gaji dan hak rutin orang di daerah itu, dijawab oleh Hamid “Kami sudah memberikannya tetapi dana zakat begitu banyak di baitulmaal, lau Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan untuk memberikan dana zakat tersebut kepada mereka yang berhutang dan tidak boros.
Hamid berkata, “Kami sudah bayarkan hutang−hutang mereka, tetapi dana zakat begitu banyak di Baitul Maal”, kemudian Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar ia mencari orang lajang tidak memiliki uang dan ingin menikah agar dinikahkan dan dibayarkan maharnya, dijawab lagi “kami sudah nikahkan mereka dan bayarkan maharnya tetapi dana zakat begitu banyak di baitulmaal”, akhirnya Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar Hamid bin Abdurrahman mencari seorang yang biasa membayar upeti atau pajak hasil bumi.
Jika ada kekurangan modal berilah pinjaman kepada mereka agar ia mampu kembali mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut kcuali setelah dua tahun atau lebih”.
Untuk mengulang sejarah gemilang ini pada masa sekarang, kiranya tepatlah apa yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah, “tidaklah akan menjadi baik dan berhasil umat ini tanpa melihat bagaimana keberhasilan generasi sebelumnya”.

Kondisi Indonesia
Kalau kita perhatikan prestasi ekonomi Indonesia sungguh tidaklah menggembirakan. Kemiskinan dibarengi pengangguran yang tertimpa pada Indonesia seolah-olah menjadi sebuah karakteristik yang melekat pada negara-negara berpenduduk muslim.

Pertumbuhan Ekonomi dan
Pengangguran Terbuka


Hal yang pararelpun terjadi pada tingkat internasional, dimana Indonesia mendapatkan peringkat yang jauh dan rendah dibanding negara tetangga. Termasuk studi yang dilakukan oleh IMD Swiss yang menempatkan Indonesia pada nomor 45 dari 47 bangsa di dunia sebelum krisis terjadi. Dan setelah krisis menempatkan kualitas SDM nomor 107 dibawah Vietnam.


Posisi Indonesia di Tingkat Internasional
 Kualitas SDM No. 46
Kemampuan IPTEK No. 42
Kemampuan Manajemen No. 44
Keadaan Sarana dan Prasarana No. 46
Lobby & Hubungan Internasional No. 43
Kekuatan Ekonomi Domestik No. 45
Kualitas Pemerintahan No. 36
Akses terhadap Permodalan No. 43

Kemiskinan dan pengangguran serta masalah turunan tersebut perlu sebuah solusi yang tidak hanya bersifat analgetic melalui problem sympton yang dihadapi, tetapi perlu sebuah alternatif, solusi tepat meng-eliminir masalah tersebut.
Kesalahan umat dan bangsa ini tidak mau berpikir, walaupun berpikir, tidak bertindak. Sedikit orang-orang yang berpikir sesuatu tetapi tidak atau  lebih sedikit orang yang melakukannya. “you see, in life, lots of people know what to do, but few people actually do what they know”.
¨ Bangsa ini menilai bahwa Islam sebatas sebuah addien, sebuah kepercayaan dan keyakinan yang hanya dijalankan melalui ritual-ritual an sich. Padahal pada addien inilah yang dapat menuntun kehidupan manusia kepada kebahagian dunia dan akhirat. Islam dipandang sebagai ritual bukan sebagai solusi. Dan inilah yang terjadi, ketika didepan mata kemiskinan, kriminalitas dan hidup yang sempit malah banyak meninggalkan ajaran addien. Salah satu ritual individu dan sosial dalam ajaran Islam adalah zakat.

Zakat,  Solusi Tepat Bangsa Ini

Negara yang berpenduduk Islam ini akan-akan sangat mampu keluar dari masalah, ketika memiliki kesadaran yang tinggi akan zakat, infak dan sedekah (termasuk didalamnya wakaf).
Kemiskinan dan pengangguran yang dihadapi Indonesia, sungguh tidak sebanding dengan solusi yang ditawarkan. Kalau kita perhatikan dalam tabel diatas pengangguran dengan angka kisaran 15 juta dan kemiskinan dengan jumlah 49.5 juta. Maka hal ini bisa dieliminir dengan pemberdayaan dana zakat, infak dan sadaqah.
Data statistik menunjukan penduduk Indonesia mencapai 210 juta. Jika satu keluarga katakanlah terdiri dari 5 orang, maka akan ada sekitar 42 juta kepala keluarga. Apabila 90% adalah muslim berarti ada 38.8 juta KK.
Kita asumsikan saja dari jumlah orang kaya sekitar 50% nya, muzakki, berarti sekitar 18.9 juta KK. Bila si  Muzakki tersebut mempunyai modal Rp.10 juta dengan zakat sebesar 2.5% maka setiap KK berzakat Rp. 250.000 pertahun, bila modal mereka sebesar Rp. 10 miliar, maka zakatnya sebesar Rp. 250 juta pertahun. Kalau dirata-ratakan saja atau diasumsikan memiliki modal perniagaan sebesar Rp. 200 juta maka dana zakat sekitar Rp. 5 juta pertahun. Artinya dana zakat yang dikumpulkan sebesar 18.9 juta KK dikalikan dengan Rp. 5 juta didapatkan hasil total 94.5 trilyun. Bila dikurangi hak amilin (1/8 bagian) sebesar Rp.11.8 trilyun maka masih ada Rp. 82.7 trilyun yang dapat digunakan pada mustahik dalan berbagai sektor. Bandingkan dengan anngaran pendidkan pada tahun 2004 hanya sebesar Rp. 11 trilyun, anggaran pemberdayaan ekonomi lemah hanya Rp.1 trilyun. Ini berarti zakat bukan hanya merupakan solusi tepat melainkan ajaran yang harus dipertahankan dan dikembangkan.
Tetapi realitas yang didapatkan dimasyarakat jauh dari asumsi tersebut. Potensi zakat yang begitu besar hanya mampu dikumpulkan sekitar 7 trilyun saja pertahun, jauh melebihi harapan kita. Tengoklah parameter lembaga zakat di Indonesia,  diantaranya, dari BAZIS DKI dan Baznas. BAZIS DKI merupakan lembaga terbesar. Tahun 1997 saja BAZIS DKI mampu menghimpun dana sekitar Rp 10 miliar, meski belakangan menyurut. Sedang Baznas merupakan bayi sehat karena lahirnya di-SK-kan oleh Gus Dur saat menjabat Presiden RI.
        Dari lembaga yang diciftakan oleh masyarakat, hadir seluruh LAZ besar seperti DD (Dompet Dhuafa) Republika, PKPU (Pos Keadilan Peduli Umat), Rumah Zakat DSUQ (Dompet Sosial Umul Quro) Bandung dan YDSF (Yayasan Dana Sosial Al Fallah) Surabaya. Bila diukur dari perolehan dana, untuk tahun 2002 saja, DD telah menghimpun dana lebih Rp 20 miliar. Sementara PKPU menghimpun Rp 6,7 miliar, DSUQ Rp 5 miliar dan YDSF Rp 6 miliar.
Kiranya, optimalisasi inilah yang menjadi tugas utama kita semua akan zakat, infak dan sadaqah di Indonesia. Kita harus menganalisa mengapa potensi besar ini tidak tercapaikan sesuai dengan harapan. Bagaimana fungsi dan peran institusi zakat dalam mengoptimalkan ini, regulasi yang ada, dan paradigma masyarakat sendiri mengenai zis tersebut.

Otoritas Negara: Empiris Teruji
Kata-kata yang pernah diucapkan oleh Imam Malik rahimahullah diatas bukanlah suatu kata bijak atau kata-kata mutiara yang diucapkan oleh cendikiawan muslim, melainkan mengandung sebuah ungkapan pengajaran kepada umat Islam akan eksistensi keberadaannya. Beliau rahimahullah, paham betul akan kondisi dan sejarah Islam dahulu, pada saat beliau hidup, masa datang. Pengajaran yang ditekankan beliau dalam perkataannya adalah contoh (action) yang pernah dilakukan oleh orang-orang terbaik.
Jika ditempatkan perkataan itu pada konteks zakat, maka semua orang pun tahu bahwa zakat adalah konsep yang diaplikasikan oleh negara. Zakat adalah dikelola oleh negara. Keberhasilan dan kesuksesan zakat dikelola oleh negara telah berlangsung mulai dari Nabi Muhammad saw sampai hancurnya kerajaan Islam (Turki Usmani) dan tak terbantahkan. Yang pasti kita selaku umat Islam dalam pengelolaan zakat mempunyai contoh, suri tauladan (copy), bahwa zakat dikelola oleh negara.  Kita belum mempunyai contoh (tidak ada empiris) bahwa zakat dikelola oleh swasta (masyarakat). Kita tidak mempunyai model akan hal ini. Untuk itu kita berarti harus bekerja keras dan menggali pikiran dengan dalam bagaimana pengelolaan zakat dalam swasta dimana peran pemerintah tidak mendukung secaa penuh.
Yang jelas implikasi dari pengelolaan zakat oleh negara menjadi paksaan (coercive) ketimbang phisikologis keimanan, tentu keefektifan lembaga akan terpenuhi.


Institusi Zakat di Indonesia
Institusi zakat di Indonesia terbilang menjamur. Setiap lembaga dakwah, daerah, dan perusahaan-perusahaan telah berlomba mengelola dana umat ini. Lihat saja persebaran baitul maal saja di Nusantara ini yang begitu banyak sampai berjumlah 2938 buah dan pada mukernas Forum Zakat 2003 ada 58 BAZ dan 35 LAZ, dan masih banyak lagi yang tidak terhitung.
Persebaran Baitulmaal di Indonesia
No. Propinsi Jumlah BMT No provinsi Jumlah bmt
1 D.I Aceh 50 15 Nusa Tenggara Barat 93
2 Sumatera Utara 156 16 Nusa Tenggara Timur 8
3 Sumatera Barat 60 17 Kalimantan Barat 15
4 Riau 65 18 Kalimantan Selatan 17
5 Jambi 12 19 Kalimantan Timur 24
6 Bengkulu 20 20 Kalimantan Tengah 15
7 Sumatera Selatan 65 21 Sulawesi Utara 62
8 Lampung 40 22 Sulawesi Tengah 11
9 DKI Jakarta 165 23 Sulawesi Tenggara 23
10 Jawa Barat 637 24 Sulawesi Selatan 175
11 Jawa Tengah 513 25 Maluku 20
12 D.I  Yogyakarta 65 26 Irian Jaya 12
13 Jawa Timur 600 Jumlah 2938
14 Bali 15

Lalu apa yang menjadi kendala dan hambatan sehingga lembaga zis dan ziswaf tersebut jauh dari harapan yang diinginkan. Hal ini bisa dapat dilihat dari beberapa faktor berikut ini:
  Profesionalisme lembaga zakat yang masih dipertanyakan.Banyak lembaga zakat yang tidak bekerja secara profesionalisme baik dalam pengumpulan dan penyaluran zis dan ziswaf atau dalam transparansi kegiatan yang dilakukan. Sifat amanah yang dimiliki lembaga zakatpun memang perlu mendapat perhatian.
   Berkaitan dengan profesionalisme terkait erat dengan standar dari BAZ/LAZ dan baitulmaal tersebut. Selama ini tidak ada standar baku akan kinerja lembaga zakat. Masing-masing lembaga zakat mempunyai standar yang berbeda. Unutk itulah perlunya tercipta standar tersebut melalui sebuah forum yang resmi secara nasional katakan seperti Forum Zakat atau Institut tertentu.
Berkaitan dengan standar tersebut,  mungkin perlu ditekankan pada beberapa aspek berikut ini:
1. Pendidikan dan Pelatihan seperti Pelatihan Fikih dan Manajemen zakat, pelatihan strategi fundraising zis, public relation, akuntansi dan manajemen keuangan lembaga zakat, pelatihan calon pemimpin lembaga zakat, strategi pendayagunaan, pelatihan institusional building, supervisor program/proyek, analisa dan monitoring program, dan total quality manajemen lembaga zakat.
2. Jasa Konsultasi meliputi pendirian dan lembaga zakat, kompilasi(penyusunan laporan keuangan), Penyusunan Sistem Informasi Manajemen (SIM), Komputerisasi Sistem Informasi,Pengembangan Program dan  Penyusunan Panduan Kebijakan Pengelolaan ZIS yang sesuai syari'ah Islam
3. Riset terdiri atas Pengkajian aspek syari'ah dalam pengelolaan ZIS, Pengkajian kebijakan peraturan-peraturan pengelolaan zakat, Riset Pengembangan Produk
4. Publikasi seperti Penerbitan Buletin, Penerbitan Buku
Dengan memiliki skill tersebut diatas diharapkan lembaga zakat dapat bekerja dengan efektif dan efisien.
  Regulasi yang diterapkan oleh Pemerintah. Regulasi ini tentu mempengaruhi kinerja lembaga zakat baik mendukung maupun menghambat pergerakan lembaga zakat. Regulasi zakat ini sebenarnya telah diharapkan oleh masyarakat semenjak tahun 1950-an dan setelah 49 tahun baru ada regulasi zakat pertama di Indonesia dengan dikeluarkannya UU 38 tahun 1999. akan tetapi UU pertama yang diharapkan ini ternyata berjalan statis yang tidak mengakomodasi agar masyarakat gemar berzakat, termasuk sosialisasi dari UU tersebut.
UU tersebut seolah-olah tidak dibutuhkan oleh masyarakat. Logikanya, zakat yang merupakan perintah syara pun dilanggar apalagi dalam bentuk UU. Point lain dari UU tersebut adalah tidak adanya sanksi bagi muzakki yang tidak menunaikan zakat yang mungkin dilandasi oleh pemahaman masyarakat dan adanya PPKP (Pengurang Penghasilan Kena Pajak) yang dianggap seseorang itu membayar zakat dua kali. Uniknya lagi dari UU 38 tahun 1999, sanksi yang dikenakan bagi lembaga zakat  yang menyimpang.  Selain itu tidak adanya fit and proffer test terhadap BAZ tetapi dikenakan terhadap LAZ.
Untuk memperbaiki UU 38 tahun 1999 maka ditetapkanlah UU No. 17 tahun 2000 yang diberlakukan mulai tahun 2001 mengenai perubahan UU No. 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan. UU tersebut menjelaskan bahwa zakat atas penghasilan yang benar-benar dibayarkan pada Badan Amil Zakat dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak baik pada pribadi maupun badan atau institusi lain.
Tetap saja yang signifikansi dari sebuah Undang-Undang adalah sanksi hukum yang dikenakan ketika melanggar dan itulah yang tidak ada pada UU tentang zakat. Jadi, bisa dikatakan UU tersebut hanya sebagai himbauan saja.

Paradigma Masyarakat Muslim
Ketika paradigma atau pengetahuan yang dimiliki masyarakat sangat kurang maka pengaruh yang dihasilkan pun akan kurang. Paradigma terkait dengan keyakinan yang dimiliki yang dengan kata lain, ketika masyarakat memiliki iman dan tauhid yang benar maka apapun masalah dan kendala yang dihadapi dapat diatasi. Untuk itu paradigma yang terjadi pada masyarakat berkaitan dengan zakata adalah:
1. rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap kewajiban zakat
pemahaman yang kentara yang didapatkan dari masyarakat muslim di Indonesia adalah pemisahannya dan tidak kaffahnya mengenai ajaran Islam sendiri. Masyarakat muslim Indonesia lebih terpaku hanya kepada shalat saja dengan mengabaikan kewajiban zakat. Sedikit sekali dalam masyarakat pembahasan zakat ini diketengahkan ketimbang shalat. Pengajaran paradigma inilah yang perlu ditumbuhkan dan disosialisasikan kepada khalayak akan ajaran Islam sebenarnya, ajaran yang tidak setengah-setengah. Disinilah peran BAZ/LAZ mendekati para ulama dan ustadz akan eksistensi kewajiban zakat disamping shalat. Bukankah shalat dan zakat disebutkan berdampingan sebanyak 82 kali. Bahkan jauh dari itu adalah perdebatan mengenai kewajiban zakat diantara para pemikir yang membuat orang awam menjadio bingung dan ragu-ragu terhadap apa yang diusung kedua belah pihak.
2. Yang mengerti lebih banyak berdiskusi dan berwacana dari pada implementasi dan cenderung skeptis terhadap amil yang ada. “you see, in life, lots of people know what to do, but few people actually do what they know”. Mereka yang mengerti zakat lebih banyak berdiskusi mencari format BAZ/LAZ yang ideal (wawasan intelektual) tanpa sosialisasi langsung kepada masyarakat luas.
3. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengelola zakat.
Hal in tentu persepsi yang ada pada masyarakat, kalau mengeluarkan zakat pada BAZ/LAZ  tidak disalurkan secara langsung. Mereka lebih percaya kepada amil yang ada di Masjid-masjid atau langsung memberikan kepada mustahik. Kemudian bagi kalangan rasional menilai BAZ/LAZ tidak professional.
4. Banyaknya lembaga zis yang beroperasi
5. Kualitas baz/laz yang sangat beragam (belum adanya standarisasi amil xakat)
6. Rendahnya transparasi pengelolaan zakat oleh baz/laz
7. Belum adanya succes story pemberdayaan zakat (mustahik berubah menjadi muzakki)
8. Belum adanya kerjasama baz/laz yang luat walaupun sudah ada Forum Zakat

Pemberdayaan Dana ZIS
Katakan total dana zakat pertahun yang dikumpulkan oleh lembaga zakat di Indonesia mencapai 7 trilyun. Kalau diperbandingan dengan potensi zakat yang diasumsikan oleh Djamal Do’a (sebesar 94.5 trilyun). Berarti lembaga zakat hanya mampu mengumpulkan sebesar 7%. Angka yang sangat jauh dari potensi. Hal ini tentu saja berimbas kepada pemberdayaan dana zakat tersebut. Beberapa faktor yang perlu kita perhatikan pada masalah ini:
  Belum terkoordinasikannya penyaluran zakat (distribusi) yang efisien dan efektif. Lagi-lagi kita berbicara standar yang mana belum ada. Sehingga setiap lembaga zakat mempunyai alur yang berbeda dengan lembaga lain.
  Fikih prioritas. Lembaga zakat harus mengenal fikih prioritas dari para mustahik zakat. Hal ini perlu karena disebabkan terbatasnya dana zakat yang dikumpulkan. Dari beberapa laporan lembaga zakat yang diamati seperti PKPU pada tahun 2002 total dana yang dihimpun ziawaf dan sebagainya sebesar      Rp.8.139.400.926,85 dimana dialokasikan terbesar pada bahan pangan sebesar Rp. 1.106.897.108,00 sedangkan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat sebesar Rp. 203.753.763,79. kemudian Dompet Dhu’afa Republika pada lapoan keuangan Sya’ban 1424 H yang berhasil mengumpulkan sebesar Rp.22.569.670.503 dimana terdistribusikan Rp. 1.648.535.715 pada bantuan kemanusia, Rp. 4.375.308.777 pada biaya investasi, biaya operasional dan pembelian aktiva tetap) sedangkan kegiatan ekonomi sebesar Rp. 76 juta. Mengapa hal ini terjadi? Permasalahannya adalah dana yang dikumpulkan sedikit, selain itu dana-dana itu telah dibatasi penggunaannya (misalkan pada bantuan kemanusian). Dan yang lebih mendasar lagi lembaga zakat harus memperhatikan tingkat maslahah dan dharuriyat dari penyaluran dana tersebut. Manakah yang didahulukan penyaluran kepada masyarakat miskin atau pemberdayaan ekonomi (padahal sebelum melakukan pemberdayaan ekonomi, mustahik tersebut lebih mengutamakan bagaimana survival hidupnya dan keluarganya dahulu). Manakah yang didahulukan korban bencana tsunami (yang sudah pasti banyak yang tidak mempunyai harta benda lagi) atau memberdayakan ekonomi masyarakat pesisir pantai, menyalurkan kepada orang yang terjerat hutang dengan sangat atau mengembangkan community development suatu kelompok ditengah-tengah dana yang terbatas. Jadi lembaga zakat pun harus mengetengahkan mana dharuriyyat, haajiyat dan tahsiniyyat.
  terkait dengan tadi, sekarang ini seolah-olah ada disorientasi distribusi zakat (pengamatan penulis), dimana lembaga zakat lebih mengedepankan penyaluran kepada hal-hal yang produktif, yang bersifat pengembangan ekonomi (atau singkatnya lebih mementingankan long run oriented ketimbang short run oriented, sekali lagi ditengah dana terbatas dan priritas-prioritas utama yang menyangkut hidup). Artinya community economy development bersifat long run berjalan (itupun kalau dan bahkan sampai pada pembimbingan) sementara diwilayah lain banyak KK yang mencuri untuk mempertahankan hidup, atau bahkan mengakhiri hidup, masuk kepada dunia kriminalitas, terjerumus pada prostitusi. Padahal lembaga zakat dalam sejarah menyalurkan dananya kepada fakir miskin dengan terus-menerus sampai kepada titik keseimbangan dalam hidup (artinya mandiri). Perhatikanlah bagaimana prioritas penyaluran dana umat pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Kesimpulan
Dalam hal ini penulis berupaya merangkum dari pembahasan diatas agar tercapai titik temu diantara berbagai hal dengan menggunakan kuadran.












Penjelasan:
Kuadran I (Paradigma masyarakat dan government political will yang positif)
Bukan mustahil sejarah Umar bin Abdul Aziz akan terulang. Zakat dikelola oleh negara didukung oleh pemahaman masyarakat yang sungguh akan efisien dan efektif. Dalam kondisi ini BAZ dan LAZ tidak ada (dieliminasi), yang ada hanyalah, katakana, Departemen Zakat dan Wakaf Republik Indonesia. Apakah pada saat itu pemerintahannya secara keseluruhan berbentuk pemerintahan Islam? Kita harapkan demikian, namun bukan menjadi necessary condition bagi pengelolaan zakat (sebagai sufficient condition).
Kuadran II (paradigma masyarakat positif, government political will negatif)
Pengembangan zakat dalam hal ini dikelola oleh swasta. Swasta sangat berperan dan dituntut berpikir dan bertindak secara professional. Lembaga zakat harus secara kontinyu menyuburkan pemahaman masyarakat. Akan tetapi, tentu peran itu akan terasa janggal dan terjadi ketimpangan dimana payung hukum dari pemerintah tidak mendukung atau tidak ada, maka peran lembaga zakat akan terkungkung dan ini mempengaruhi kinerjanya. Masalah yang akan timbul pula banyaknya lembaga zakat yang lahir akibat ‘market’ yang besar, sehingga bukan mustahil koordinasi tak terjalin dengan rapi. Untuk mencapai kuadran I, maka lembaga zakat swasta dan masyarakat harus terus-menerus menuntut pada negara agar zakat dikelola oleh negara.
Kuadran III (paradigma masyarakat dan government political will negatif)
Pada saat itu peran segelintir orang yang memahami zakat (ulama, lembaga zakat, praktisi dan mahasiswa) harus berdakwah dengan maksimal, bekerja keras, mengatur starategi yang mantap dan menetapkan target yang akan dicapai. Dari sisi politik, peran partai Islam sangat diharapkan dan perlu terus didorong untuk membuat keputusan negara mengatur zakat. Dari sisi sosial, ulama, praktisi dan akademi harus bekerja keras dengan ikhlas menyadarkan masyarakat akan kewajiban perintah syara. Inilah mungkin kondisi yang tepat pada Indonesia.
Kuadran IV (government political will positif dan paradigma masyrakat negatif)
Negara melalui otoritasnya dapat memaksa muzakki untuk berzakat. Bagi mustahik yang tidak membayar zakat maka akan mendapatkan hukuman yang keras. Dengan demikian optimalisasi zakat akan tercapai. Seiring dengan itu, peran lembaga zakat dan ulama sangat diharapkan untuk memberi pemahaman mengenai ajaran addien ini. Pertanyaan yang muncul apakah langsung dibawah negara atau hanya mencakup regulasi (mengenakan sangsi bagi yang tidak berzakat). Sekali lagi kondisi ideal adalah zakat dibawah dan diatur langsung oleh negara. Ketika regulasi mendukung dan zakat dibawah swasta, maka negara harus menetapkan aturan lembaga zakat seperti jumlah lembaga zakat swasta, akuntablitas lembaga zakat swasta, pertanggungjawaban lembaga zakat swasta dan lain sebagainya.

Kita bersama mengharapkan bahwa satu per satu perintah addien antara lain zakat dapat berperan dengan baik dan diaplikasikan oleh negara. Pemahaman masyarakatpun kian tumbuh seiring dengan penerapan beberapa segi syari’ah bahwa addien bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya melainkan mengatur interaksi social yang terjadi dalam titik-titik kehidupan. Bahwa segala hal selalu diperhatikan oleh addien ini. Mudah-mudahan bermanfa’at, dan mari kita bekerja sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.


Rujukan:

1. Al-qur’an dan Terjemahnya. Departemen Addien RI.1992
2. A.M. Fatwa, M. Djamal Do’a , Aries Mufti, Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi Alternatif. Blantika:Jakarta. 2004
3. Abdul Qadir Zallum, Sistem Keuangan di Negara khilafah. Pustaka Ihariqatul Izzah: Bogor. 2002
4. M. Nejatullah Siddiqi, Role of the state in the Economy: An Islamic Perspective. The Islamic Foundation: Leicester. 1996
5. April Purwanto, Risalah Zakat. Rumah Zakat Indonesia DSUQ
6. www. bmt-link.com
7. Eri Sudewo, Mengkritisi UU Zakat . www. pkpuonline.com dan www. republikaonline. co.id
8. Aries Mufti, Repleksi dan Proyeksi Ekonomi Islam, Munas IV FoSSEI 2004: UNPAD Bandung
9. www.imz.or.id
10. laporan keuangan PKPU tahun 2002 pada www.pkpuonline.com
11. Laporan keuangan Dompet Dhu’afa Republika
12. laporan keuangan BAZNAZ
13. H. M. Suharsono, Globalisasi Dan Modernisasi Zakat, Dulu dan Sekarang pada www.pkpuonline.com
14. Siti Arifah,  Konstitusi Negara Berbicara “Zakat Mengurang Penghasilan Kena Pajak” pada pkpuonline.com
15. Muhammad Shiddiq Al Jawi, Reinterpretasi Alokasi Zakat : Mengkaji Ulang Mekanisme Distribusi Zakat dalam Masyarakat Modern pada PEI-online.com
16. www.imz.or.id/prinsip-manajemen.htm




Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Lintas Umum
Baca selengkapnya..

Ahli keluarga berkemampuan elok jelas sendiri zakat


Ahli keluarga berkemampuan elok jelas sendiri zakat



ZAKAT fitrah atau disebut juga zakat diri, diwajibkan kepada semua Muslim, tidak kira kecil, miskin mahupun hamba. Ia bukan hanya diwajibkan kepada golongan kaya seperti difahami kebanyakan orang.

Perkara ini amat berbeza berbanding kefarduan ibadat lain yang hanya diwajibkan kepada individu sudah baligh. Begitu juga diwajibkan dilakukan oleh seseorang mengikut keupayaannya.

Zakat fitrah dengan zakat harta, ternakan, perniagaan, galian, simpanan dan pertanian yang mana hanya diwajibkan kepada yang memiliki sejumlah hasil agak banyak.

Ini jelas membuktikan kepentingan zakat fitrah kepada setiap Muslim dan seluruh masyarakat yang mendapat manfaatnya. Sesungguhnya kefarduan zakat fitrah menguji ketakwaan dan keikhlasan yang tiada tandingannya. Tanpa menunaikan zakat fitrah, diri seseorang masih dalam keadaan tidak bersih sepenuhnya.

Zakat fitrah wajib ditunaikan bagi setiap orang yang dikira masih mempunyai makanan mencukupi untuk diri dan tanggungannya pada Aidilfitri.

Kefarduan zakat fitrah turut menyenaraikan golongan miskin wajib menunaikan bagi dirinya dan tanggungannya. Hanya golongan fakir, yakni golongan paling miskin yang tidak mempunyai bekalan makanan untuk dimakan pada keesokannya, tidak dikenakan membayar zakat.

Jelas kefarduan zakat fitrah memerlukan pengorbanan yang amat tinggi, terutama orang miskin. Pada kebiasaannya, golongan miskin menjadi kelompok utama menerima zakat, sedekah dan bantuan, tetapi bagi zakat fitrah mereka turut menjadi golongan memberi.

Kefarduan zakat fitrah memperlihatkan betapa Islam amat mementingkan kepada pembinaan ummah sejahtera, tidak mementingkan diri dan kepatuhan kepada hukum, biarpun dalam keadaan kurang mampu.

Ketika kita kurang mampu, mungkin ada orang lain yang lebih memerlukan daripada kita. Jadi, demi membantu orang yang lebih daif, kita perlu berkorban dan tidak mementingkan diri.

Penerapan semangat daripada ibadat zakat fitrah mampu menyatukan seluruh umat Islam dalam satu perpaduan dan kekuatan yang dilandaskan kepada konsep takwa. Biarpun jumlah dikenakan zakat fitrah amat sedikit dibandingkan apabila dimiliki orang kaya, masih ada yang ingkar menunaikannya.

Kefarduan zakat fitrah terhadap setiap Muslim dinyatakan oleh Umar berdasarkan sabda Rasulullah saw bermaksud: “Sesungguhnya Rasulullah mewajibkan zakat fitrah daripada Muslim, baik hamba atau merdeka, lelaki atau perempuan, iaitu sebanyak segantang kurma atau gandum.” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis lain diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Said al Khudriy bermaksud: “Ketika Rasulullah masih berada bersama kami, kami mengeluarkan zakat fitrah untuk setiap anak kecil, orang dewasa, merdeka atau hamba sebanyak segantang makanan sama ada berupa keju, gandum, kurma atau anggur kering.”

Dalam ibadat lain, pelaksanaan ibadat dilakukan sendiri oleh orang berkenaan. Sebaliknya, bagi zakat fitrah, ia dijelaskan oleh ketua keluarga bagi pihak seluruh ahli keluarganya.

Ketetapan itu memperlihatkan tanggungjawab ketua keluarga dalam membawa kesejahteraan hidup kepada seluruh ahli keluarga melalui ibadat zakat yang dilakukan.

Ahli keluarga mempunyai kemampuan menjelaskan sendiri zakat fitrah, elok baginya melakukan sendiri. Ia sebagai permulaan melaksanakan tugas yang mungkin ditanggung apabila berkeluarga nanti.

Kewajipan ketua keluarga membayar zakat fitrah bagi orang ditanggungnya adalah seperti dia wajib membayar bagi dirinya. Jika tidak membayar zakat fitrah bagi orang ditanggungnya adalah seperti dia tidak membayar zakat fitrah bagi dirinya.

Zakat fitrah membersihkan orang berpuasa daripada sebarang kekotoran atau dosa yang tidak dibersihkan sepanjang ibadat puasa. Ia juga menambah kekurangan dalam ibadat puasa.

Waktu bagi menunaikan zakat fitrah bermula hari pertama Ramadan dan berterusan sepanjang Ramadan.

Tempoh terakhir bagi menunaikan zakat fitrah ialah sebelum sembahyang sunat Hari Raya Puasa.

Sabda Rasulullah diriwayatkan oleh Ibnu Abas bermaksud: “Diwajibkan oleh Rasulullah bahawa zakat fitrah membersihkan bagi orang yang berpuasa dan pemberi makan bagi orang miskin.

“Barang siapa menunaikan sebelum solat hari raya, maka zakat itu diterima dan barang siapa yang membayar selepas solat, zakat itu sebagai sedekah biasa.” (Hadis riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah).

Justeru, setiap orang perlu segera menunaikan zakat fitrah sebaik masuk Ramadan kerana melakukannya awal dapat mengelak daripada terlupa.

Golongan yang layak menerima fitrah ialah fakir, miskin, pengurus zakat (amil), mualaf, hamba hendak dimerdekakan, orang berhutang, berjuang pada jalan Allah dan musafir.

http://www.bharian.com.my/Misc/RamadanAlMubarak/Puasa/Hari/Ihya/20041012144202/Article/








Tajuk: Kewajipan berzakat
Sidang Jumaat yang dirahmati Allah,
Pada masa akhir-akhir ini, masyarakat kita umat Islam selalu menghadapi kepincangan dan keruntuhan akhlak kerana mereka sering melanggar dan menjauhi daripada hidup menurut tatatertib Islam. Ini menyebabkan hidup mereka tiada sikap bantu-membantu, hormat-menghormati, bertolak-ansur dan saling memahami antara satu sama lain. Masyarakat yang hidup seperti ini diibaratkan sekam yang diresap api didalamnya. Begitulah masyarakat pada hari ini yang sentiasa dipengaruhi oleh anasir-anasir jahat, lebih-lebih lagi di dalam mengejar kemajuan hidup, sehingga agak payah diperbetulkan.
Sidang Jumaat yang dirahmati Allah.
Agama Islam kita telah mengatur kehidupan bermasyarakat yang saksama bagi setiap segi kehidupan, seperti bercucuk tanam dan menternak binatang, berkahwin, berjual beli dan sebagainya. Manakala dari segi ibadah pula, agama Islam mengatur bagaimana cara seseorang hamba harus metakukan suruhan Allah supaya lebih sempuma dan lebih berkesan.
Rasullulah s.a.w pernah bersabda:
Maksudnya: Islam itu dibina atas lima rukun, pertama mengucap dua kalimah syahadah, kedua mendirikan sembahyang lima waktu, ketiga mengeluarkan zakat, keempat berpuasa di bulan Ramadhan dan kelima menunaikan haji. Kelima-lima rukun ini adalah wajib ke atas setiap orang Islam menunaikannya apabila cukup syarat-syarat wajibnya. Barang siapa sengaja tidak melaksanakan rukun-rukun tersebut, maka pasti ia dimasukkan Allah kedalam golongan orang-orang yang mengingkari perintahnya dan akan diberi balasan azab di akhirat kelak.
Zakat ialah rukun ketiga daripada rukun-rukun Islam yang wajib ke atas setiap orang Islam menunaikannya. Zakat ini dikuatkuasakan pengeluarannya pada tahun kedua selepas daripada hijrah Rasulluhah s.a.w ke Madinah AI-Munawarah. Perintah Tuhan supaya mengeluarkan zakat ini bukan sebagai satu tekanan terhadap tuan punya harta, tetapi perintah ini merupakan satu fardu yang wajib ditunaikan. Ianya mengandungi beberapa hikmat yang kembali faedahnya kepada umat manusia, antaranya sebagai tali untuk mengikat masyarakat supaya menjadi kuat dan bersatu-padu, iaitu orang yang berkemampuan menolong orang yang tidak mampu, mengikut kadar dan masa yang ditentukan untuk mengeluarkan zakatnya. Ia juga merupakan suatu penghormatan dariada Allah terhadap mereka yang sanggup mengorbankan tenaga dan masa untuk mencari rezeki dan nafkah hidup dengan cara yang halal. Lantaran itu, maka setiap titik peluh pengorbanan dinilai dan diberi ganjaran oleh Allah s.w.t serta memberkatinya. Disamping itu, ianya juga sebagai melahirkan kepatuhan dan ketaatan seseorang hamba terhadap yang kehendak dan perintah tuhannya, iaitu Allah s.w.t.
Sidang Jumaat yang dirahmati Allah.
Memandang kepada pentingnya peranan zakat dalam masyarakat Islam, maka Allah telah berfirman di dalam Al-Quran didalam surah At-Taubah, ayat 34 dan 35 :
Maksudnya: Dan orang- orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak membelanjakannya ke jalan Allah (iaitu tidak mengeluarkan zakat) maka berilah khabar kepada mereka dengan azab yang amat dabsyat; Hari dimana harta mereka itu akan dibakar di dalam neraka jahanam, kemudian diselar dengannya keatas dahi-dahi, rusuk-rusuk dan belakang-belakang mereka (serta dikatakan kepada mereka) "Ini dia harta-harta simpanan untuk kepentingan diri kamu (tanpa mengeluarkan zakat), maka rasailah akibatnya dari harta-harta yang kamu simpan itu".
Sidang Jumaat yang dirahmati Allah.
Undang-undang dan peraturan-peraturan zakat telah pun wujud sejak zaman para rasul dan nabi-nabi, sejak nabi Allah Ibrahim a.s dan berkekalan hingga sampailah kepada zaman kita sekarang ini. Di Singapura ini, pihak berkuasa zakat ialah Majlis Ugama Islam Singapura yang bertanggung-jawab memainkan peranan dan bergerak cergas di bawah undang-undang dan peraturan zakat, bagi memungut semua jenis zakat dan membahagikannya kepada mereka yang berhak. Mereka yang berhak tergolong di dalam kumpulan asnaf yang lapan dengan tujuan membantu golongan fakir miskin, membantu masjid dan madrasah, pelajar-pelajar agama yang miskin, habuan kepada guru-guru agama dan pendakwah-pendakwah dan lain-lain yang dibolehkan mengikut pandangan ulama.
Oleh itu, sekiranya urnat Islam di negara ini sedar dan insaf serta penuh bertanggungjawab terhadap perintah tuhan dan mahu meletak dirinya dalam kumpulan orang-orang yang disayangi dan diredhai Allah S.W.T serta ingin mendapat pertolongan dan petunjukNya, sudah tentulah mereka akan mengeluarkan zakat harta dengan cara yang betul dan sempurna setelah cukup syarat-syarat wajibnya mengikut kehendak syarak dan hendaklah dikeluarkan kepada mereka-mereka yang termasuk dalam asnaf yang lapan sahaja, iaitu orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat yang ditugaskan oleh pihak berkuasa, orang yang baru memeluk Islam, orang-orang yang hendak menebus dirinya daripada jadi hamba abdi, orang-orang yang menjalankan usaha untuk mengembangkan Islam dan orang-orang yang putus perbelanjaan semasa musafir.
Dalam melaksanakan pembahagian harta-harta zakat tersebut (kiranya hendak dibahagikan sendiri) hendaklah dikenal pasti terlebih dahulu orang-orang yang hendak diberi zakat itu benar-benar tergolong di dalam mana-mana satu kumpulan asnaf yang tersebut, supaya pengeluaran zakat itu sah dan menepati kehendak syarak serta diterima oleh Allah S.W.T.
Sidang Jumaat yang dirahmati Allah.
Majlis Ugama Islam Singapura bagi pihak yang berkuasa negeri ini, bertanggungjawab dengan peraturan yang ada padanya untuk terus berusaha mengumpul berbagai-bagai jenis zakat. Ianya agar dapat dikumpulkan dan dibahagikan kepada mereka yang berhak mengikut ketetapan asnaf seperti ditetapkan oleh syarak. Oleb itu, Majlis Ugama Islam Singapura menyeru umat Islam yang ada zakat untuk dikeluarkan, supaya menyerahkan zakat-zakat mereka kepada pejabat zakat MUIS atau kepada institusi-institusi yang layak menerima zakat. Menyerahkan zakat kepada pihak berkuasa adalah lebih terjamin pembahagiannya yang sah daripada membahagikannya sendiri tanpa mengenal pasti terlebih dahulu orang-orang yang berhak menerimanya.
Allah S.W.T telah berfirman dalam surah Al-Baqarah, ayat 43:
Maksudnya: Dirikanlah oleh kamu akan sembahyang dan keluarkanlah zakat dan ruku'lah bersama-sama mereka yang ruku', yakni sembahyang berjemaah.

http://www.muis.gov.sg/websites/khutbah/ser-m-171299.html










Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Lintas Umum
Baca selengkapnya..

ZAKAH IN THEORY AND PRACTICE


THE PERFORMANCE OF THE INSTITUTION
OF ZAKAH IN THEORY AND PRACTICE
BY MONZER KAHF

Paper prepared for the International Conference on Islamic Economics
Towards the 21st Century, Kuala Lumpur, April 26-30, 1999.

INTRODUCTION
This paper aims at looking into performance of the Zakah institution in contemporary Muslim societies and contrasting the actual outcome of its implementation with theoretical analysis carried by contemporary Muslim economists. The paper shall conclude that a drastic revision of the common wisdom on the issue may need to be carried over.

To pursue this objective the paper shall take a quick overview of Zakah application in the society of the Prophet (pbuh), the first Islamic State of Madinah during the time of revelation (Section I). In Section II, I will study the trend of Fiqhi opinions in the classical Fiqhi works throughout the Islamic history. Section III shall discuss the way contemporary Muslim economists consider Zakah and the role they assign it in composing their understanding of a contemporary Islamic economy and system. Section IV shall supplement Section III by reviewing the different theoretical estimations of Zakah proceeds which, in fact, assess the presumed quantitative potentiality of Zakah in playing the theoretical role discussed in Section III. Section V shall briefly discuss the actual implementation of Zakah in certain Muslim countries with the aim of contrasting the proceeds of Zakah and its actual effect in redistribution with both the theoretical modeling and theoretical estimation mentioned in Section III and IV. Section VI shall present the conclusions of the paper.

Section I
Zakah in the Society of the Prophet (pbuh)

Going back to the first application of Zakah at the time of the Prophet (pbuh) is like studying Zakah at its sources in order to discover its significance, mode of application and effects, whether social, spiritual or economic.

It is well known that Zakah was prescribed in the second year of Hijrah. So was Zakah of Al Fitr which was prescribed during the month of Ramadan of the second year of Hijrah, i.e., about eighteen months after the arrival of the Prophet (pbuh) to Madinah. Since that time the Prophet (pbuh), as a Head of the State, used to send out Zakah workers to collect and distribute the due Zakah on livestock and agriculture. It is extremely difficult to reach an estimation of the amount of the Zakah proceeds during that period. Very little is known about the amount of agricultural production as well as the cumulative wealth of livestock in the society of Madinah. However, from the available information one may conclude that a one Dirham worth of food was sufficient to sustain a family of four for a day.  Such an amount was also a good approximation of the value of a day’s work for an unskilled person in agriculture or other kinds of employment including government service.

What is known, with certainty, about the society of Madina in that period is that poverty was existing and continued to exist until the time of Omar when large scale transfer of income started to flow in Madina from newly conquered lands to the North of the Arabian Peninsula. One should remember that the main sources of income in Madina were agriculture and livestock. Trade came at a third level of importance as it was actually the speciality of the Makkans.  The people of Madina had only a few trade activities in comparison to their holdings of palm orchards and livestock.

It must be noted in this regard that Zakah was imposed on agricultural products, livestock, trade inventories and gold and silver. Except for personal and family things, nothing of substantial value, of the time, was left outside the domain of Zakah. Land was almost worthless unless it was used in agriculture, and dwellings were commonly inexpensive.

Ayesha, for instance, reports that the people of Madina and especially the household of the Prophet (pbuh) didn’t have their sufficiency of barley bread until after Khaibar was conquered.  Abu Hurairah narrates a story after story about the poverty among the Ahl Al Suffah in Madinah.  One must also remember that Abu Hurairah came to Madina in the 7th year of Hijrah, i.e., after opening Khaibar.

The ratio of Zakah on livestock is, generally speaking, about 2.5%, and the ratio of Zakah on agricultural products was mostly 10% since only very few orchards in Madina were irrigated by camel-pulled machines (called in Arabic: Sanyah). The proceed of Zakah was in most cases distributed immediately after collection, as reported by many workers who often said that they used to come back from their

Zakah missions empty handed, the way they started their journeys, since everything collected used to be distributed on the spot.  Until the end of his life, the Prophet (pbuh) himself needed to borrow for family food and similar needs, and he died under debt for
such loans.

To the above one must add that most casual (irregular) revenues, especially war booties, used to be distributed, by the Prophet (pbuh), being the head of State, very quickly upon their receipt. This may indicate that there were sizeable needs for such distribution. Little was usually left as spare revenues in the public treasury or precautionary reserves for future expenses.

It should also be noted that the society of Madina had a small government, whose functions could always readily be fulfilled by a continuously available supply of voluntary manpower and financial contributions from its enthusiastic public of believers. One must also wonder about the importance given in the Qur’an and Sunnah to voluntary financial contributions (Infaq). It is repeated many times in different names such as Infaq, Sadaqah and Jihad by offering one’s funds. Calls for voluntary contributions are repeated a lot more than the mention of Zakah in these two original sources of Shari’ah. Such voluntary financial contributions sometimes take the form of supporting the poor, including Ahl Al Suffah, and some other times they take the form of funding the activities of government including public utilities and defense.

We should also bring in the picture the role of Awqaf in providing revenues that contribute to funding social welfare activities. Awqaf in Madinah started with the seven palm orchards of Mukhairiq which were bequests to the Prophet (pbuh) who, in turn, made them as Awqaf.  Their revenues used to be spent on the household needs of the Prophet (Pbuh) and on buying horses and defense equipment. The drinking water fountain of Ruma was bought and made a waqf by Uthman on suggestion from the Prophet (pbuh).  Hence, drinking water became free in Madinah for the first time. Before Uthman bought it, water used to be sold by the fountain’s former owner for a high price (approximately a gallon for a pound of date). The farm land of Umar in Khaibar came next under the title of Awqaf, also on the Prophet’s (Pbuh) advice.  Those and similar Awqaf properties were able to provide for the support of many of the poor and needy in the society in addition to public utilities that included mosques, roads and water.

Several conclusions can be derived from these and similar observations related to Zakah application at the time of the Prophet (pbuh):

1) Zakah proceeds alone may had not been sufficient to take full charge of fulfilling the basic needs of the poor in the society. This may be an obvious and probably superficial conclusion when applied to low-income Muslim countries today. What may be emphasized for the society of the Prophet (pbuh) in Madina is that even under normal circumstances where the incidence of extreme poverty was not wide spread or substantially visible, Zakah may also not be sufficient to remove or eradicate poverty.
This conclusion is not as radical as it may look. Fuqaha, in their classical works since the second century of Hijrah onward, have repeatedly stated that if Zakah turned to be insufficient for fulfilling the needs of the poor, and if voluntary contributions did not fill the gap, additional taxes must be imposed on the rich.

2) The fact that a tremendous emphasis is placed on Infaq adds support to the first conclusion. This emphasis in Qur’an and Sunnah must be read as an indication that Zakah, alone, must not be charged with all responsibility of social welfare.

This is also supported by the adoption of the concept of Awqaf and its extension to cover many areas of societal welfare needs, especially poverty eradication. Actually, this is the first and most prominent objective of Awqaf.

3) The ideology brought about by Zakah, Infaq and Awqaf draws a new picture of social solidarity and mutual support. Accordingly, every stomach has a right to be filled and every human being has a right to live and to be maintained regardless of race, ethnicity, religion, etc.

4) This new ideology, which is established by Islam, as a religious responsibility is expressed in a multi-facet form. A form consisting of a kind of spirituality that seeks to please Allah, the Lord of the World, interwoven with civic responsibility that considers the able ones morally and legally responsible for those who lack ability of sustenance, along with a concept of human brotherhood indicated in the oneness of origin of all human beings, that necessitates, a pure, simple and straightforward equality in human fulfillment, as the Prophet (pbuh) said: “all humans [al Nas] are as equal as the teeth of a comb”.

5) The definition of richness with regard to taxability is given a broad meaning by the Zakah system. Hence, richness is not measured by wealth alone or income alone rather both wealth and income together make the base for social responsibility and taxability.

Consequently, the rich must take charge of funding welfare activities in the society, directly or indirectly, from their wealth and/or from their income, voluntarily, out of their own inner feeling of responsibility and for seeking to please the Lord; or by obligation and compulsion of the law. The Prophet (pbuh) says “..... he, who gives it out of his own, will have its reward [from God], and from him who doesn’t give it, we will take it along with one half of his wealth [as a penalty]; an obligation imposed by our Lord”.

6) More elaboration on exemption of consumption expenses and actual spending of the rich and poor is implicit in the concepts of Zakah and Infaq. Taxability of a person, or for
same reason zakatability of a person, must be measured by what is actually left over after consumption and other spending. By the same token, consumption needs of the person are determined in a personalized manner, i.e., the fulfillment of nutritional, social and religious requirement of a specific person and his/her family.

Consequently, what is taxable is the total of available wealth at a certain point of time, i.e., after consumption needs are fulfilled and paid for. What is left over, be it a period’s savings or assets carried over from previous periods, altogether is the base of Zakah. This may explain why land, trees and residence of a Zakah payer were not included in the base of Zakah. In a semi-nomadic agricultural society, land, trees and residence derive their values only from their ability to produce income and other benefits, and from the physical stability of owners. If the owner has to leave them and go some other place in pursuit of pasture and living substances or if such assets become unproductive, they cease to be valuable. Hence, only their produce are counted in the richness of the owner.

On the other hand, livestock holdings as wealth items and the income generated from them during a period of economic activity were considered as available wealth in such a society. Therefore, when it comes to Zakah on livestock, the holdings transferred from previous periods and the additions made during the current period are all added together in calculating the Zakah base.

Section II
CLASSICAL FIQHI STUDIES OF ZAKAH
As expected and as supposed to be, the Fiqhi studies of Zakah use the verses of Qur’an and the traditions of the Prophet (pbuh) as their main sources of deduction. Based on these sources, classical Fiqhi studies emphasize the significance of Zakah as the third pillar of Islam. It is an instrument for purification and sanctification as mentioned in the Qur’an [9:103]. In contrast to prayers, this worship is financial. It is a financial duty inasmuch as it is a major form of worship in Islam. The purification and sanctification referred to in the Qur’an cannot be restricted to only one form, either spiritual or material. They may apply to the soul and body, the payers and their wealth and income, the recipient poor and needy, and the society as a whole.

Based on the original sources, Qur’an and Sunnah, classical Fiqhi studies of Zakah discuss zakatable items of wealth and income, items exempt from Zakah as well as conditions and criteria of zakatability and the rates applied to each category of zakatable items.

Although the Qur’anic verses mention Zakah side by side with prayers in the Makkan period before the establishment of the first Islamic state in Madinah, Zakah became obligatory only in the second year of Hijrah. It is reported that continued actual application revealed that certain provinces of the Islamic State were able to do away with poverty as early as the time of Umar Ibn al Khattab, whose reign was in the period between year 12 and year 22 of Hijrah. One of these years, the Governor of Yemen, Mu’adh Bin Jabal, sent to Madinah one third of the total proceeds of Zakah in that province, one half in the following year, and all the proceeds in the third year and testified to the second Khalifah, Umar, that he was sending the residual, only after satisfying all the province’s needs for disbursement. In other words, there were no more poor and needy who would accept to take Zakah in Yemen. Similar reports came from Egypt, and probably several other provinces, during the reign of Umar Bin Abd al Aziz, 99-101H.

The classical Fiqh of Zakah has always been consistent with the modes of production and types of wealth and income that prevailed at the time. Throughout more than a thousand year, the scientific progress and discoveries were not transformed into new modes of production, the latter didn’t make any substantial change in the Muslim land. Agriculture remained the main source of income and remained, essentially, stuck with the use of old instruments in plaguing, seeding, tilling, fertilizing and harvesting; the same instruments and methods of production that dated a thousand year before the Islamic religious transformation of the Arab and other Muslim lands during the first two centuries of Hijrah.

Trade was the second major source of income, and trade assets were the major form of wealth held in the Muslim society during all these years. Trade was essentially centered around agricultural products. Long distance trade continued using camel backs as a mode of transportation. Although the Islamic caravans were able to travel between the Atlantic Sub-Saharan Africa and the Eastern Coast of China and between Yemen in the South and the Scandinavian Peninsula in the North, these caravans remained camel- back caravans throughout all those years.

Maritime trade expanded and huge ships were floating the oceans from Morocco to China, but the mode of running large ships remained the same as those of small ships: wind and human muscles. Some reports describe high water ships built by Muslim sailors to have been as large as manned by more than a thousand persons.

Such ships are said to have carried several thousands people and huge loads of transported merchandize on board. These are the kind of ships that used to sail between West Africa and the Great Sea of China going through the Malayan Strips.  Interestingly, these large ships also used the same sources of energy as small ships. Manufacturing and transformation industries improved with clothing and cleaning materials leading the road to building factories for processing silk, cotton and linen, soap production, chemical and pharmaceutical products and for processed food, especially, sweet.

Although major Muslim cities such as Damascus, Baghdad, Mosul, Ispahan, Adana and Cairo were crowded with such industries, the sources of energy and the size of markets didn’t allow the manufacturing industry to become a leading sector as a source of income, employment and wealth, especially, with the prevalence of old traditional Arabic system of valuation of personal occupations that used to rank trade and landlordship high as noble’s occupations while craftsmanship and industry ranked close to the bottom.

All the above kept income and wealth structures basically the same as they used to be in Madina at the time of revelation. Hence it helped preserving the traditional Fiqh of Zakah within the limits of the texts themselves as there was no challenge or pressure from the market and from the application side to come up with new Shari’ah rulings regarding new sources of income or new form of wealth. It was easy under the prevailing modes of production and forms of wealth holdings to think of a large ship as analogous to small ships, and of a one thousand camel-back loads as a mere ten times repetition of a one hundred camel back loads.

Craftsmen and manufacturers remained with little wealth and low incomes that don’t pose any new challenge to Fiqh researchers to think about such new sources of income and wealth.

In spite of that, we shall find certain Fiqhi opinions that came about during this period as given in the following examples:

1) Zakatability of vegetables was a new opinion initiated by Imam Abu Hanifa as he observed that vegetable producers around large cities such as Baghdad and Kufah accumulated substantial amount of output throughout a year although, their everyday harvest may be considerably smaller than Nisab. So, he considered vegetables zakatable without Nisab and on all the cumulative output for the whole year. Even the Fuqaha who accept a Nisab for vegetables, still apply it to cumulative output.

2) Same thing applied to honey production, even if it came as collection from wild beehives in mountains and valleys (see Ibn Abidin, chapter of Zakah).

3) The Fuqaha’s distinction between apparent items (Amwal Zahira) and undisclosed items (Amwal Batina) was based on the nature of an item, so that livestock and agricultural products are apparent while cash and trade merchandise are undisclosed. In contrast with this tradition, the Hanafi School came up with a new criterion derived from administrative practices that consider any item that passes through a tax checkpoint on inter-cities’ highways apparent because it can be seen by a Tax (and Zakah) Commissioner, who is called ‘Al Asher’.

4) The Tax and Zakah Commissioner (Al Asher) used to be an employee of the Government, selected carefully on the basis of criteria of honesty, loyalty, knowledge and ability.

A new method of collection of Zakah was applied during the latest era of the Ottoman Empire. Tax and Zakah collection were taken on franchise basis whereby a person is given authority to collect the duly Zakah and other taxes against a lump sum he pledges to pay to the central Treasury. This mode of collection was strongly criticized by Ibn Abidin as being in violation of the principles of justice and legitimacy.

Let us come back to the issue of eradication of poverty in the Muslim society as reported at the times of two Umars, Iban al Khattab in Yemen and Ibn Abd al Aziz in several other provinces. These incidences must be interpreted within their respective historical contexts. There are several factors and circumstances within which such incidences should be taken. The principle of depending on one’s own resources and being self-satisfied and self-contained is an important morale in Islam. Being self-satisfied and refusing to take Zakah don’t mean that a person was not really poor. An example from Salman, the Companion, may shed some light on the prevalence of this concept. He lived in Iraq (Kufah or Basrah) and was not considered in the category of poor who take Zakah. Once he offered a guest of his only bread and salt as a meal. When the guest wished to have thyme in this humble meal, Salman went out and borrowed some money to buy thyme and put his water jug as collateral. Bread, salt and thyme make a very poor meal any way, even at the time of the Companions, but because of the concept of ‘Qana’ah’, Salman didn’t consider himself poor.

The Islamic faith, especially when it touches new hearts and spirits, creates some new form of energetism, which is conducive to increase their productivity in any field they work in. Arab tribesmen, who used to spend all their days watching sheep and camels grazing under the sun and their nights watching the moon and singing their love poetry, once they were touched by this spirit of Islam, became the most energetic warriors, fighters, statesman and diplomats who dominated the ancient world and destroyed the two big empires of Persia and Bizantina within less than half a century.  They even reached Spain and Central Asia by the end of 8th decade of Hijrah. By the same token, newly converted farmers, craftsmen and traders in the newly opened lands became more energetic in their own economic works and arenas, especially, that most of the unjust taxes, that were imposed on them to finance the extravagance of the former rulers and their huge armies, were abolished.

Consequently, in addition to self containment and satisfaction, enrichment came from an increase in productivity due to the moral and spiritual upliftment and a reduction of taxes and administrative barriers that were totally destroyed by the new rulers; a lot more than from redistribution by means of Zakah. Also, an increase of production gives way to larger proceeds of Zakah and lesser needs for disbursement.

Furthermore, enrichment of the poor at the time of Umar Bin Abdelaziz may have another factor; that is the reduction of corruption in administration, which was a major achievement of the two-year long reign of Umar. Consequently, most of Zakah proceed, that was collected, was distributed with little leaking out illegally to pockets of administrators. In other words, improvement in management efficiency of the Zakah collection and distribution and in the management of other public revenues may have been a contributory factor in preserving larger portions of the proceeds to be used for proper public purposes including poverty eradication.

Additionally, the practice of Awqaf started since the time of Prophet (pbuh) and tremendously expanded during the time of Umar to the extent that Jaber, the Companion of Prophet (pbuh), says that there was no household of any Companion that didn’t make their own Awqaf. There are many historical reports about a continued expansion of Awqaf properties. The major objectives of Awqaf revenue spending is to help the poor and needy. During the reign of Umar Ibn Abd al Aziz, most of such Awqaf must have ripened and started giving fruitful effects in helping the poor and needy.

The last factor that helps explain the achievement in the area of poverty eradication may lie in the small size of government and the limited functions it had to carry at that time. The fact that doesn’t overburden people with huge taxes and leave them most of the fruits of their personal productive activities. This section shall be brought to an end with a few conclusions as follows:

1) Traditional Fiqh emphasizes the worship aspect of Zakah and its role in human soul purification and sanctification.
2) Development of Fiqh of Zakah was consistent with the little changes in the modes of production and in the traditional types of assets people held, and the forms of income they generated.
3) The society witnessed an improvement in production and economic growth that led to reducing poverty and increasing the proceeds of Zakah.
4) Concepts of ‘Qana’ah’ and self-reliance were common among people, especially the poor. This checked their desire to accept taking Zakah.
5) Fighting corruption and increasing public management efficiency increased the portion of government revenues that could be devoted to helping the poor and needy.

All these things make it reasonable to accept the suggestion that there happened, in several provinces, that most forms of visible poverty were eradicated.

Section III
ZAKAH IN THE WRITINGS ON
CONTEMPORARY ISLAMIC ECONOMICS

Over the past three decades Muslim economists discussed the effects of introducing Zakah in a contemporary economy. Hence, we have studies on the effects of Zakah on the macro economic aggregates including consumption and investment, aggregate demand and aggregate supply. We also have studies that introduce Zakah in macro economic models and look into its effect on the general equilibrium and growth.

There are also studies that consider the outcome of implementing Zakah in contemporary Muslim economies from the point of view of allocation, stability, fiscal policy, poverty eradication and allocation of resources and wealth. Additionally, Zakah is central to studies related to economic and social development, as a potential solution to several social and economic malaises. Zakah is also considered from the point of view of being an exemplary financial obligation around which the structure of taxes and fiscal policy should be built.

Before attempting to briefly survey these studies, two important points that underlines all such ideas should be kept in mind. First, the undisputed fact that Zakah was collected and distributed by the Islamic State especially in its early period. This is emphasized by the famous statement of Abu Bakr, the first Khalifah, in justifying the war against those who turned back to apostasy “by God, I shall fight those who prevent paying [any amount of Zakah even if it were] a little rope for [binding] a camel”. Second, the religious significance of Zakah and the position it occupies as a third pillar of religion. These two facts must have justifiably created a zeal within Islamic economists to look into the effects of Zakah, motivated by a feeling that such effects must be economically very significant; and sometimes to be carried over into certain exaggeration. Hence, we find Zakah central in all studies on Islamic economics.

The effects of Zakah on the macro consumption function is studied by several writers. Essentially, a macro consumption function is derived, in an additive manner, from the micro consumption functions of two groups of economic agents in which a Muslim society is divided: Zakah payers and Zakah recipients. Such functions are suggested to be in the direction of reducing the consumption of the rich while increasing that of the poor with an aggregate consumption function for the whole society that depends on the slopes of the marginal propensities to consume of these two groups. Once the Zakah is implemented, anew, in a society especially coupled with the concept of moderation in consumption and prohibition of extravagance. The final outcome is suggested to be a lower aggregate propensity to consume in an Islamic society.  Keeping in mind that moderation in consumption and prohibition of extravagance are always called for in the Qur’an and Sunnah.

Other studies suggest that it is difficult to determine the direction of the effect on consumtion, of introducing Zakah in an economy; as such an effect may be either neutral or at the best indeterminate because of contradictory effects on incomes of the poor and the rich, unless one assumes a Keynesian aggregate consumption function. But once we drop the Keynesian consumption function, the effect of Zakah becomes indeterminate. This argument is enhanced by adding the Islamic injunctions of helping the poor and needy improve their material well being (consumption) as much as possible.

Based on the effects of Zakah on consumption which is generally considered more conducive towards increasing aggregate saving and the effect of Zakah on investment which is also considered positive because of the Zakah implied penalty on uninvested assets or assets left idle of production, some writers conclude that the introduction of Zakah in a contemporary Islamic society would increase aggregate demand.


Such a conclusion is especially emphasized once the dynamics of Zakah distribution are taken into consideration. On one hand, Zakah distribution reduces the risk of debt failure as part of Zakah is distributed to persons under debt; and Zakah collection and distribution increases employment through two mechanisms:

1) creating new jobs for the management of Zakah itself and
2) transforming some segments of recipients into productive workers by means of distribution in the form of training, rehabilitation and capital goods.

Furthermore, the effects of Zakah on aggregate supply are discussed from several points of view. These include its effect on labor force participation, its effect on the supply of funds available for investment, its effect on allocation of investable funds between production of goods that fulfill basic needs and those which fulfill luxurious desires, and its effect on labor productivity and the incentive to work.

In these kinds of studies, writers observe that introducing Zakah in a contemporary Muslim society may increase labor force participation as well as labor productivity without any negative effect on the incentive to work among the poor or incentive to invest among the rich. Additionally by increasing aggregate consumption, Zakah induces an increase of investment as well as restructuring of production in the direction of goods that fulfill basic needs.

Furthermore, an improvement in efficiency of investment may result due to imposing a floor return (represented by the effective ratio of Zakah on investment below which investment may not be remunerable).

Zakah is also studied in a Keynesian context of an IS-LM macro model whereby its effects are considered analogous to those of introducing a new tax. With the conclusion that Zakah may be a tool for implementing economic policy that aims at reducing unemployment and smoothing the effects of inflation and the fluctuations in economic activity.  Similarly, the introduction of Zakah in a contemporary economy is considered to lead to a positive shift in the rate of growth provided that the proceeds collected in Zakah are redistributed in the form of supporting the low income groups including wage subsidies.  The effect of Zakah on growth rate and on returns to capital are studied by constructing a macro model in which income equals the total of the income of the two groups of Zakah payers and Zakah recipients with an assumption that savings are automatically channeled into investment and that Zakah is imposed on both financial and real assets in a way that penalizes hoarding. The conclusion of such a model is that the presence of Zakah in a macro model leads to higher growth rate, higher return on capital and more equitable distribution of wealth.  The allocation of Zakah disbursement between the poor, needy and other recipients on one hand and between capital goods and consumption goods on the other, as well as the principle of Tamlik which means giving to the poor and needy on a grant basis, are considered to lead to more specific approach in dealing with the problem of eradication of poverty, since Zakah addresses specific poor groups.

Thus, Zakah introduction in a contemporary society may end up creating more equitable distribution of wealth and income provided that appropriate allocation and Tamlik principles are implemented.

Zakah is also considered central in the fiscal structure and policy. It is observed that Zakah is not only imposed on income but also, and essentially so, on wealth and assets. The exemptions from Zakah include actual consumption as well as resources allocated for a minimum transactionary liquidity for immediate needs and for fulfilling financial obligations including debts. Furthermore, many productive fixed assets are Zakah exempt so that Zakah is considered as an important instrument for encouraging investment and employment. These salient features of Zakah are given significant role as patterns and examples to be followed and imitated in building the structure of a taxation system in a Muslim society as well as in drawing the main features of an Islamic fiscal policy.

Before concluding this section it should be noted that all these studies are based on an interesting underlying, though in most studies hidden, assumption that the estimated proceeds of Zakah collection that is available for distribution is sizeable enough to warrant a macro effect in any given economy. Such estimations are always thought of in terms of a few percentage points of gross domestic products. This, usually unspoken of, assumption led many writers to study the estimation of Zakah proceeds in certain Muslim
economies to find out whether such an assumption is justified. The latter is the subject of next section.

Section IV
ESTIMATION OF ZAKAH PROCEEDS

Several estimates were attempted for the proceeds of Zakah in afew Muslim countries on the basis of information available in their respective national accounts. In most cases, figures were derived from sub-sectoral statatistics and built up into the usual sectoral figures of the national accounts.

One of the earliest estimates was done for Egypt in 1973 by Sami Ramadan Sulaiman.  He came up with a Zakah proceeds that equal 6.1% of GDP. He calculated potential proceeds from public and private sectors in a country whose economy was then dominated by public sector. In certain sectors of the economy he applied a high capital output ratio that reaches ten in the sectors of industry and trade; which led to a high estimation of Zakah on these two sectors reaching 8.8% of the sectoral GDP, as he adapted output of industry as a Zakah base and charged it a 10% rate. Ramadan included in his Zakah base all forms of income-producing capital. He also included a Zakah on salaries with an assumption that 50% of Egypt’s salaried persons are zakatable. Furthermore, although he applied a 10% ratio of Zakah on crops watered by rivers and rain and a 5% ratio on crops watered by energy based machines, his total estimation of Zakah on agriculture (including livestock) came as 9.5% of the sectoral GDP.

Obviously, his 6.1% of GDP Zakah is, thus, an overestimation. In an estimation of Zakah in Sudan (1982) Muhammed Hashim Awad came with a figure of 3% of GDP. His estimation suffers of two important errors: first error was in defining Nisab as a minimum exempt for all those who own more than Nisab instead of taking it as a criteria for zakatability; the second error was mathematical in multiplication and addition.

Keeping his assumptions, a corrected figure of the estimated Zakah proceeds in Sudan, 1982, points out to an under-estimation in his work especially in the livestock and professional income sectors. Thus following Awad’s assumptions, the total estimated amount of Zakah should not be less than double the figure he suggested, i.e., about 6% of GDP.  Anas Zarqa made an estimation of Zakah in Syria that came with an amount of approximately 3% of GDP for the year 1971. This figure includes Zakah al Fitr and Zakah on cash holdings.

More recent estimations of Zakah were done by Monzer Kahf, Muqbil Zuqair and Fuad al Omar. Monzer Kahf estimated Zakah for eight Muslim countries and used three different definitions of zakatable items. First definition, Z1 includes agricultural output, livestock, trade inventory and cash holdings. In a way that is consistent with the majority Fiqhi opinions prevailing in classical writings. The second definition, Z2 uses the majority opinion after expanding it by including views of some contemporary Fuqaha who include in the Zakah base the return on fixed assets used in the sectors of industry, transportation and construction as well as professional and other labor incomes, with certain exemption for the cost of living. The third definition, Z3 includes in the Zakah base the capital value of fixed assets in all sectors at a Zakah rate of 2.5%. If we remove one extreme value on each side of the estimation on the assumption that such an extreme value must be caused by certain statistical and/or methodological errors, Kahf’s estimation would range between 1 and 2% for Z1, 3.1% and 4.9% for Z2 and 3.2% and 6.2% for Z3. It should be noted however that the amount of Zakah estimated on cash holdings in all eight countries ranges between 40 and 60% of the total Zakah proceeds.

Using sub-sectoral statistics and applying statistical averaging, Muqbil Zuqair’s estimation of Zakah proceeds in Saudi Arabia came up with 2.7% of GDP while the estimation of Zakah in Kuwait by Fuad al Omar produced a 2.1% of GDP. Both writers used the traditional base of Zakah, i.e., Z1 in Kahf’s study; except that they included in their Zakah base all government-owned economic enterprises, oil extraction excluded.

Interestingly, here again the Zakah on cash holdings represents 30% of the total proceeds in Zuqair’s estimation while it is 49.5% of al Omar’s estimation. Let me make a statement of this point that except for the corporate sector, it is very difficult to collect Zakah from the cash holdings in any society except by applying very innovative approaches which may be questionable from the point of view of their compatibility with the spirit of Zakah. In fact, a strong rationale underlines the traditonal view that cash holdings are not apparent items.

At this point, it is important to distinguish between the effect of introducing Zakah in a society that is assumed to have been deprived of it and the policy tools made available by the system of Zakah in a Zakah implementing economy. The addition of a Zakah institution allows us to avail of a new transfer payment to the poor which is equal to most of the total proceeds of Zakah, the exception being the part spent on the instituion’s labor force and administrative expenses. On the other hand, Zakah tools of economic policy work only on part of the proceeds, such as changing the ratio of capital goods to consumer’s goods in disbursement. The implication of this is important if total proceeds is, anyway, a small percentage of GDP, i.e., a policy tool may become trivial or redundant, if the maximum it can move is a negligible amount of the intended variable. In section VI, we will compare these estimations with the actual proceeds of Zakah in a few Muslim countries where Zakah is implemented.

Section V
IMPLEMENTATION OF ZAKAH

As the third pillar of Islam, Muslims are called upon to pay their own Zakah willingly, on their own, as part of the requirements of the obligations of this religion of Islam. This is done by all religious persons regardless of the attitude of governments in collecting it or leaving it to their own consciousness. This is also the position of all four Schools of Fiqh. The government has a right to take charge of Zakah collection and distribution and once the government decrees that payment of Zakah must be made to Beit-al-Mal, the majority of Fuqaha emphasize that individuals must pay their Zakah in obedience to their government. This becomes the unanimous view in Fiqh if it is supported by a feeling that Beit-al-Mal disburses Zakah to its proper recipients as mentioned in the Qur’an.

Looking at the implementation of Zakah by Muslim governments, historical records tell us that the government of Yemen continued taking this responsibility since the time of the Prophet (pbuh) when he sent Mu’adh Bin Jabal and told him to take Zakah from the rich among them (Yemenis) and distribute it to the poor among them. Zakah was also implemented by the government, in an obligatory manner, in Saudi Arabia since 1951, Pakistan since 1981 and Sudan since 1984. Zakah of al Fitr is collected by the power of law in Malaysia and Zakah on agricultural products is also collected in Libya.

Several other countries have enacted laws of Zakah and established Zakah organizations very often supported by the government as in the cases of Kuwait, Jordan, Bangladesh, Bahrain, Oman, etc.; but they left Zakah payment to these organizations to remain on voluntary basis.

Let us now take our examples from countries that collect Zakah on obligatory basis, especially Saudi Arabia, Yemen, Sudan and Pakistan. In Saudi Arabia the Zakah base consists of livestock, agricultural products, trade inventory and certain types of professional income, such as income of physicians, civil engineers, lawyers, accountants and auditors, trucks and taxi drivers, artists and TV actors, etc. The income of such categories are considered subject to Zakah only if they work independently; but if they were salaried persons working in government or private corporations, their salaries are not subject to Zakah. The same exemption applies to all salaried and waged persons. Productive fixed assets are not considered subject to Zakah. It should be noted that cash holdings of companies and registered establishments are covered by Zakah while the cash holdings and bank balances of all types of banks’ deposits of individuals are not covered. The total amount of Zakah proceeds actually collected in Saudi Arabia ranges between 0.4% and 0.6% of GDP as the statistical year books indicate.

In Yemen, Zakah is also applied on the current and liquid assets of the private sector’s corporations and establishments as well as livestock, agriculture, trade inventory, etc. Salaries and professional incomes are not included in Zakah. The Yemeni Zakah authority also collects, on obligatory basis, Zakah of al Fitr. The statistical year books of Yemen indicate that Zakah proceeds’ ratio to GDP doesn’t exceed 0.4%.

The Zakah and Ushr Act of Pakistan distinguishes between Schedule A and Schedule B. Schedule A covers items on which Zakah is to be collected, by law, and to be transferred to the account of the Central Zakah Administration. This Schedule includes eleven types of financial and other items, including holdings of stocks and bonds, agricultural products and current and investment deposits in banks and other financial depositories, such as post offices and insurance companies.  On the other hand, Schedule B names items on which Zakah payment to the government is not obligatory. Schedule B includes livestock, trade assets and inventory, domestic deposits in foreign currencies, overseas assets of Pakistani nationals, etc. The estimated proceeds of Zakah in Pakistan didn’t exceed 0.3% of GDP as indicated in the consecutive statistical year books.

In a recent study on the application of Zakah in Sudan,  it is emphasized that the Zakah base in Sudan includes livestock, agricultural products, current and liquid assets of companies and establishments, income earned by professionals whether salaried or independent, cash earned from sale of personal assets whether they are business oriented or not, etc. The only potential zakatable item virtually left outside the obligation is cash holdings maintained by individuals whether in the form of fiat currency in their pockets or in the form of current accounts in banks. This is so only because, out of fear of destabilizing the monetary system in the country, the Zakah Department is not given jurisdiction to force banks to deduct Zakah on demand deposits. In other words, monetary holdings of all individuals who are not required to submit actual or estimated balance sheets, i.e., persons who are outside formal business, are not reached by the obligatory collection of Zakah. The Zakah proceeds collected in Sudan, even with such a liberal expansion in the definition of the Zakah base, ranges between 0.3% and 0.5% of GDP.  Available information belongs to the year 1991 through 1996.

One may have good reasons to lean towards accepting the actual reality in these countries as an empirical representation of the Zakah proceeds’ potentials. Among these reasons are the following:

1. A collection of %0.4 - %0.5 of GDP persists over the years and across borders.
2. National accounts statistics in the third world countries have a tradition of low level reliability and dependability. The suggestion of over estimation in these accounts sounds reasonable.
3. Incidences of evasion, fraud, administrative inefficiency, and other moral and methodological hazards that negatively affect the actual collection are not taken into consideration in all the theoretical estimations. They are, however, part of real life.
4. The Zakah on cash makes up about one half of the estimated proceeds. Materializing it in actuality is very difficult.
5. Differences in the Zakah base, figured in real experiences, seem to tend to cancel out between different countries. However, such differences seem to be the most important factor in increasing the estimated proceeds especially in Kahf’s Z2, and Z3.

Section VI
CONCLUSION
Comparing the results of actual application of Zakah with the theoretical analysis of Zakah and its effects is very educative from several points of view:

1) The actual application reveals the amount of proceeds of Zakah that can realistically be made available for redistribution is very humble indeed. Thus it allows us to revise our theoretical analysis and bring them down to earth to make them compatible with the actuality of the Zakah implementation in a real life world. All the effects of Zakah on the aggregate variables of the economy becomes negligible if all we can mobilize is a maximum of one half percent of GDP, and thinking of marginal variations in the allocation of disbursement of Zakah becomes a mere mystic wishful ritual!

2) It has been shown that there are serious difficulties in collecting Zakah on cash and current accounts balances held by individuals in Sudan, Saudia and Yemen. On the other hand, the depth of the banking system in Pakistan allows for the deduction of Zakah on current accounts at the source while it was found difficult to collect Zakah on trade inventories and on cash balances held by both companies and individuals.

Consequently, whatever theoretical estimation of the Zakah proceeds, researchers may come up with, has to be discounted by a certain ‘realization’ factor in order to take notice of the difficulties and cost involved in collecting Zakah on certain items under real social and economic circumstances.

This is so to the extent that a political decision similar to that of Uthman bin Affan with regard to Zakah on undisclosed (Batina) items might always have to be taken. Such a decision reduces the collectible amount of Zakah as compared to the theoretically estimated proceeds. A similar position is adopted by the Shari’ah International Board of Zakah in its fifth annual meeting in Sharjah, April 1996, on the pretext of protecting privacy from excessive government intrusion.

3) Contrasting the results of actual application with the outcome of theoretical research on the effect of Zakah allows us to call for a review, based on deeper understanding, of the zakatable items as well as methods of determination of the amount due in Zakah and its collection.

In this regard, we may notice that certain countries impose Zakah on certain items that are left outside the legal collection in some other countries. For instance, while the prevailing general attitude in Pakistan and Yemen and of the Board of High Learned Schoalrs’ in Saudi Arabia stands for the traditional view that requires fulfillment of the condition of holding an item for one year in order to become zakatable, the actual application in Saudia itself collects Zakah from several professional income items without looking at this yearly condition.

On the other hand, earned incomes generated from long term investment fixed assets, such as buildings, tractors and trucks, are included in the zakatable items in Sudan, while such earnings are left unzakatable in Saudi Arabia, in spite of their similarity with the zakatable professional income.

Contrasting these experiences with each other and with the theoretical analysis calls for including an element of practicability in the theoretical research concerning the zakatable items. Such an element may have precedence in the historical application of Zakah. For instance, Ibn Jubair, in the story of his journeys from Muslim Spain to the eastern Mediterranean countries around the end of the 6th century of Hijrah, reports that Zakah officers at the port of Alexandria, Egypt, used to charge Zakah on all travelers for all the items they carry with them without taking the trouble of distinguishing between trade merchandize and items of personal use.

4) Furthermore, methods of collection and the cost involved therein should also be taken in consideration by the theoretical studies of both the estimation of Zakah proceeds and the effects of Zakah on the main economic variables. For instance, deduction at the source may result in different estimations of proceeds in comparison with direct payment by zakatable persons. By the same token, estimation of the due Zakah by using general guidelines and variables such as amount of imports by a merchant, level of education of a professional or number of employees in a craftsman’s shop may lead to figures of Zakah proceeds different from those that can be obtained by actual calculation made by Zakah officers on a case by case basis, and also different from an estimation that depends on national accounts and its subsectoral data.

5) The actual application of Zakah reveals that the amount of proceeds is considerably smaller than what is suggested by theoretical studies. Therefore, in all countries that implement Zakah, there has always been a need to supplement the Zakah distribution with additional funds from the government itself. This applies to both rich and poor Muslim countries including the four countries that are mentioned in the previous section. This may suggest that those studies that envisage to eradicate poverty in any Muslim countries by means of the application of Zakah are over optimistic. Furthermore, it may also be argued on the basis of the percentage of the proceeds of Zakah to the major economic variables in any Muslim society that theorizing on the potentiality of the effects of Zakah on the distribution of wealth and income and the potentiality of using Zakah collection and distribution as a meaningful policy tool is also too optimistic and represents an over-statement of what could be realized on the ground.

6) It is useful also to take into consideration the employment effect of the Zakah management itself as new jobs are created by the establishment of an organization for the collection and distribution of Zakah. This may sometimes reach a substantial number as in the experience of Sudan.

Enrichment through employment in the Zakah collection and distribution is not a new thing. It is reported that Mu’adh Bin Jabal was poor and the Prophet (pbuh) offered him a job in the collection and distribution of Zakah. It is also reported that Ali Ibn Abi Talib and Al Fadl Ibn Abbas, the two cousins of the Prophet (pbuh) asked the Prophet (pbuh) for jobs in the Zakah organization and the Prophet (pbuh) declined on the ground that any Zakah disbursement to members of the family of the Prophet (pbuh), even in compensation for employment, is not permissible.

It should be noted in this regard that both theory and practice put some tag on the proportion of Zakah proceeds that can be spent on employment in the Zakah organization (Al Amilina Alaiha). It is known that the Shafi’ites suggest a ceiling of 12.5% of total proceeds for labor compensation in the Zakah organization while the late Ahnaf take this ceiling upto 50%, if need arises. In practice, Sudan limits it to 10%, while Saudia and Pakistan take charge of Zakah workers’ compensation through their general budgets and leave the proceeds of Zakah intact for distribution to other recipient categories especially the poor and needy.

That is, of course, in addition to the employment effect of Zakah that may come about as a result of utilizing Zakah disbursement for training and rehabilitation programs of the poor and needy. Here again, if the total proceeds is poor, its employment effect must be poor too!

7) It must be emphasized that any contemporary application of Zakah in any Muslim country must keep in mind that Zakah proceeds alone cannot bring about the solution of the problem of poverty in the Muslim countries. Zakah is a redistribution measure while the roots of poverty in Muslim countries lie in productivity and level of economic development. Thus any discussion of poverty eradication in the context of the Muslim countries must focus on increasing the diameter of the cake rather than redistributing a small one.

This should not be understood as a diminution of the potential of Zakah nor of the effect of redistribution on economic development which is well known and taken into consideration in theoretical analysis. It must rather be understood as realization of the limitedness of the Zakah proceeds, even under most liberal expansion of Zakah base. It must be noted here that being a religious obligation, Zakah is expected to be moderate, bearable and affordable. This fact makes it unfair to charge Zakah with the responsibility of providing solutions to severe temporal problems, especially the problem of poverty whose roots are in production limitedness more than in distribution.

The example of the first Islamic society in Madinah is very indicative in this regard. It was a society that depended on raising production along with voluntary contributions through Sadaqat, Infaq Fi Sabil Allah and Awqaf, a lot more than through the obligatory Zakah itself.

8) While Zakah alone should not be taken as responsible for poverty eradication, it must be emphasized that unless the Zakah base is expanded to cover new kinds of assets and incomes that make up the main manifestation of contemporary richness, we will not be able to raise its proceeds to any worthwhile level, especially as a percentage of GDP, nor will we be able to bring justice on the levy side, i.e., among the payees of Zakah.

9) If Zakah, as a religious obligation, is moderate and humble to a degree that does not
eradicate poverty in any contemporary Muslim society, its significance must be understood as being an example around which an Islamic taxation system should be built. In this regard, three principles may be highlighted:

i) Zakah bring into the taxation system a concept of redefining a taxabilitybase on total consideration of abilities of the tax payer, an ability that consists of the relative levels of both income and wealth. The concept of justice among tax payers in any Islamic taxation system must always revert to this principle of ability to pay. This principle may require a complete reconsideration of the tax base in most Muslim countries, which presently focus on a net-income measure.
ii) The second principle laid out by Zakah is that the responsibility to provide financial resources for the social functions and the functions of the government lies on the rich, and the rich alone. Poor members of the society must always be exempt from the financial burden of taxation. Further, they may become recipients of negative taxes (transfers).

This principle is based on essential Islamic position with regard to solidarity among all members of the society. When some poor guys came to the Prophet (pbuh) and told him that the rich ones are taking away with the reward of paying Zakah and Sadaqat, he (pbuh) taught the poor guys certain forms of praises to God as the poor guys contribution and source of reward.

This principle means that each member of the Muslim society is required to contribute to the public and social needs in accordance with the member’s abilities and resources, be they financial or labor work, or mere prayers (Dua’). This principle has several implications when applied on the existing taxation systems in the Muslim countries, especially, in areas of indirect taxes, progressivity and minimum exemptions.

iii) The principle of appropriation of certain revenues to specific objectives is yet another principle that can benefit our tax systems. Zakah itself is a tax that is appropriated for specific objectives as mentioned in Surah 9:60. It establishes a principle that certain social and/or governmental functions require appropriation of certain revenues. Implying that levels of fulfillment of such functions may be related to available resources, especially after achieving an indispensable minimum level of satisfaction. Obviously, this principle is balanced by the existence of unappropriated public revenues such as Al Kharaj.

10) The worship aspect of Zakah may need to be rediscovered once more by Islamic economists and contemporary writers on the economics of Zakah rather than charge it with economic functions that are not meant nor indicated by this kind of worship. Allah, Subahanu Wa Ta’la, created the worlds for the objective of worshiping and praising Him. Men and women worship God using their spectrum of abilities.

There are bodily, financial and mental worships. Some financial worships given to previous Prophets required them to feed their material resources to a burning fire. Islam as the final and complete message of Allah doesn’t allow wastage of resources. Therefore, all financial worships in Islam find their routs to the pockets of the poor and needy.

The objective of Zakah, as emphasized in the Qur’an, is a glorious objective of purification and upliftment (Verse 9:103). In that sense, Zakah washes away sins and impurities. The same way prayer washes away sins and impurities. This is why it is mentioned in the sayings that Zakah carries the dirts (awsakh) of people. This essential characteristic of Zakah as a worship is what makes it the third pillar of Islam keeping in mind that the first pillar takes the form of a mental worship, the second takes the form of a bodily worship, and this third worship takes the form a financial worship. This is the essential nature of Zakah and this is what makes it moderate, affordable, bearable and light. Overburdening it with economic functions such as poverty eradication is not part of the story and never came in the Qur’an and Sunnah, notwithstanding that it indeed helps  in that direction and contributes to the economic welfare of the poor and needy.

11) All the previous points call for a reconsideration of the role of Zakah in the Islamic economic system and a revisit of the theoretical analysis carried over during the last quarter of a century by Islamic economists. This is needed in order to set up the economic priorities in their right proportion in our Islamic economic understanding. It is also needed for inventing a theory of growth and distribution based on increasing the productivity of human and material resources rather than hanging our goals on side issues of redistribution on the basis of pulling the worship of Zakah out of its context and proportion. zak/rh (5.1mk)

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Lintas Umum
Baca selengkapnya..