BERITA HEBOH TERDAHSYAT ABAD INI :

PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT




PERAN LEMBAGA ZAKAT DALAM
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT






Disampaikan oleh:


Anita Prianita


Pada

Lomba Karya Tulis Ekonomi Islam (LKEI)
Temilnas IV FoSSEI 2005
Mataram














Brief History
Perintah zakat diturunkan Allah pada tahun ke 2 hijriah. Pada saat itu keadaan ekonomi para sahabat telah berada dalam keadaan cukup mapan setelah mereka diusir dari Makkah tanpa membawa banyak barang berharga. Ayat-ayat yang menunjukkan kewajiban zakat diantaranya: ”Dirikanlah shalat dan tunaikan zakat dan ruku’lah bersama orang−orang yang ruku’”. (QS. Al Baqarah : 43).
Perintah zakat telah diturunkan dengan kadar yang juga telah ditetapkan. Misalnya, pada zakat fitrah, jumlah yang harus dibayar adalah 2,5 sha dari makanan pokok yang dikonsumsi. Zakat emas ditentukan dengan kadar 2.5%, zakat pertanian yang diairi hujan ditentukan dengan kadar 10 % dan zakat pertanian yang diairi oleh selain air hujan ditentukan dengan kadar 5 %, zakat binatang ternak juga ditentukan kadarnya sesuai dengan sabda Nabi. Akan tetapi, kewajiban kaum muslimin tidak hanya terbatas pada kadar-kadar tersebut. Nabi saw pernah bersabda:
”Sesungguhnya Allah mewajibkan zakat atas orang−orang kaya dari umat Islam pada harta mereka dengan batas sesuai kecukupan fuqoro diantara mereka. Orang−orang fakir tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau tidak berbaju kecuali karena ulah orang−orang kaya diantara mereka. Ingatlah bahwa Allah akan menghisab mereka dengan keras dan mengadzab mereka dengan pedih.” (HR. Ath Thabrani dari Ali ra).

Dalil di atas menunjukkan bahwa kewajiban kaum muslimin dalam mengeluarkan hartanya terpenuhi sampai batas ketika masyarakat di sekitarnya telah tercukupi kebutuhan dasarnya. Jadi, apabila ternyata dana zakat yang telah terkumpul tidak mampu mencukupi kebutuhan masyarakat di wilayah itu, maka para aghniya diwajibkan untuk mengeluarkan kembali sejumlah harta -diluar zakat yang telah ia bayarkan- sampai tidak ada lagi kefakiran di sekelilingnya.
Dengan ketentuan tersebut, Alhamdulillah di masa Nabi tidak terjadi kesenjangan sosial yang terlalu jauh karena kekayaan telah terdistribusi sedemikian rupa sehingga tak ada golongan rakyat yang bermewah-mewahan sementara di sisi lain ada golongan rakyat yang sangat melarat.
Rasulullah melakukan sosialisasi kesadaran berzakat secara bertahap. Beliau mengutus 5 orang dai ke beberapa wilayah di negeri Yaman. Nabi mengutus Khalin ibnu Sa'id ke Shan'a, Al-Muhajir ibnu Umayyah ke Kindah, Zaid ibnu Abu Sa'id ke Hadhramaut, Abu Musa Al Asya'ari ke Zubaid, Adn serta Sahil, dan Mu'adz ibnu Jabal ke Al-Janad. Para utusan sebelumnya telah diberi pemahaman yang komprehensif tentang urgensi zakat. Hal tersebut tercermin, misalanya pada nasihat Rasulullah kepada Mu'adz bin Jabal sebagai berikut: "Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Apabila engkau telah tiba di kalangan mereka, maka serulah (ajaklah) mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Apabila mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritakanlah kepada mereka bahwa Allah telah memfardukan shalat lima waktu sehari semalam kepada mereka. Apabila mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritakanlah kepada mereka bahwa Allah telah memfardukan sedekah (zakat) yang dipungut dari kaum hartawan di antara mereka lalu diberikan kepada kaum fakir miskin di antara mereka. Apabila mereka mentaatimu dalam hal itu, maka hati-hatilah kamu terhadap harta benda mereka yang paling disayangi dan takutlah kamu terhadap doa orang yang teraniaya, karena sesunguhnya tidak ada suatu penghubung pun antara dia dan Allah." (HR. Bukhari)
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan do’akanlah mereka karena sesungguhnya do’amu dapat memberi ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah : 103).
Kata “ambillah” menunjukkan adanya pemaksaan pada pengumpulan zakat. Pada pelaksanaannya, Nabi mengangkat pegawai pengumpul zakat yang disebut mushadiq atau sa'i. Hal tersebut seperti juga diceritakan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Abu Hurairah, "Bahwasannya Rasulullah saw, telah mengutus Umar Ibnu Khaththab, pergi memungut zakat." (Al-Majmu'6:167).
Nabi Muhammad dengan wewenangnya sebagai kepala negara telah menunjuk orang-orang tertentu untuk mengambil zakat dari kaum muslimin. Hal tersebut menunjukkan bahwa zakat tidaklah terkumpul dengan sukarela, akan tetapi secara ketat dan tegas ditentukan bahwa zakat adalah sebuah kewajiban yang harus dibayar.
Pada masa kepemimpinan khulafa ar rasyidin, zakat juga dikumpulkan oleh para petugas yang secara resmi diangkat oleh khalifah. Bahkan, khalifah Abu Bakar memerangi suku Abes dan Dzubyan -yang didukung oleh suku Kinanah, Ghatafan dan Fazarah - yang tidak mau membayar zakat.
Selama masa Rasul, para sahabat, dan para tabiin, zakat telah terkumpul dan terdistribusi dengan baik. Hal ini terbukti ketika masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz hanya dalam masa 2 tahun berhasil mengentaskan kemiskinan sehingga tidak ada lagi yang mau menerima zakat semua rakyatnya mereasa sudah menjadi mzaki (pembayar zakat) bukan lagi mustahik (penerima zakat).
Sebagaimana dituturkan Abu Ubaid bahwa Gubernur Irak Hamid bin Abdurrahman mengirim surat kepada Amirul Mukminin tentang melimpahnya dana zakat di baitulmaal karena sudah tidak ada lagi yang mau menerimanya, lalu Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memberikan gaji dan hak rutin orang di daerah itu, dijawab oleh Hamid “Kami sudah memberikannya tetapi dana zakat begitu banyak di baitulmaal, lau Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan untuk memberikan dana zakat tersebut kepada mereka yang berhutang dan tidak boros.
Hamid berkata, “Kami sudah bayarkan hutang−hutang mereka, tetapi dana zakat begitu banyak di Baitul Maal”, kemudian Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar ia mencari orang lajang tidak memiliki uang dan ingin menikah agar dinikahkan dan dibayarkan maharnya, dijawab lagi “kami sudah nikahkan mereka dan bayarkan maharnya tetapi dana zakat begitu banyak di baitulmaal”, akhirnya Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar Hamid bin Abdurrahman mencari seorang yang biasa membayar upeti atau pajak hasil bumi.
Jika ada kekurangan modal berilah pinjaman kepada mereka agar ia mampu kembali mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut kcuali setelah dua tahun atau lebih”.
Untuk mengulang sejarah gemilang ini pada masa sekarang, kiranya tepatlah apa yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah, “tidaklah akan menjadi baik dan berhasil umat ini tanpa melihat bagaimana keberhasilan generasi sebelumnya”.

Kondisi Indonesia
Kalau kita perhatikan prestasi ekonomi Indonesia sungguh tidaklah menggembirakan. Kemiskinan dibarengi pengangguran yang tertimpa pada Indonesia seolah-olah menjadi sebuah karakteristik yang melekat pada negara-negara berpenduduk muslim.

Pertumbuhan Ekonomi dan
Pengangguran Terbuka


Hal yang pararelpun terjadi pada tingkat internasional, dimana Indonesia mendapatkan peringkat yang jauh dan rendah dibanding negara tetangga. Termasuk studi yang dilakukan oleh IMD Swiss yang menempatkan Indonesia pada nomor 45 dari 47 bangsa di dunia sebelum krisis terjadi. Dan setelah krisis menempatkan kualitas SDM nomor 107 dibawah Vietnam.


Posisi Indonesia di Tingkat Internasional
 Kualitas SDM No. 46
Kemampuan IPTEK No. 42
Kemampuan Manajemen No. 44
Keadaan Sarana dan Prasarana No. 46
Lobby & Hubungan Internasional No. 43
Kekuatan Ekonomi Domestik No. 45
Kualitas Pemerintahan No. 36
Akses terhadap Permodalan No. 43

Kemiskinan dan pengangguran serta masalah turunan tersebut perlu sebuah solusi yang tidak hanya bersifat analgetic melalui problem sympton yang dihadapi, tetapi perlu sebuah alternatif, solusi tepat meng-eliminir masalah tersebut.
Kesalahan umat dan bangsa ini tidak mau berpikir, walaupun berpikir, tidak bertindak. Sedikit orang-orang yang berpikir sesuatu tetapi tidak atau  lebih sedikit orang yang melakukannya. “you see, in life, lots of people know what to do, but few people actually do what they know”.
¨ Bangsa ini menilai bahwa Islam sebatas sebuah addien, sebuah kepercayaan dan keyakinan yang hanya dijalankan melalui ritual-ritual an sich. Padahal pada addien inilah yang dapat menuntun kehidupan manusia kepada kebahagian dunia dan akhirat. Islam dipandang sebagai ritual bukan sebagai solusi. Dan inilah yang terjadi, ketika didepan mata kemiskinan, kriminalitas dan hidup yang sempit malah banyak meninggalkan ajaran addien. Salah satu ritual individu dan sosial dalam ajaran Islam adalah zakat.

Zakat,  Solusi Tepat Bangsa Ini

Negara yang berpenduduk Islam ini akan-akan sangat mampu keluar dari masalah, ketika memiliki kesadaran yang tinggi akan zakat, infak dan sedekah (termasuk didalamnya wakaf).
Kemiskinan dan pengangguran yang dihadapi Indonesia, sungguh tidak sebanding dengan solusi yang ditawarkan. Kalau kita perhatikan dalam tabel diatas pengangguran dengan angka kisaran 15 juta dan kemiskinan dengan jumlah 49.5 juta. Maka hal ini bisa dieliminir dengan pemberdayaan dana zakat, infak dan sadaqah.
Data statistik menunjukan penduduk Indonesia mencapai 210 juta. Jika satu keluarga katakanlah terdiri dari 5 orang, maka akan ada sekitar 42 juta kepala keluarga. Apabila 90% adalah muslim berarti ada 38.8 juta KK.
Kita asumsikan saja dari jumlah orang kaya sekitar 50% nya, muzakki, berarti sekitar 18.9 juta KK. Bila si  Muzakki tersebut mempunyai modal Rp.10 juta dengan zakat sebesar 2.5% maka setiap KK berzakat Rp. 250.000 pertahun, bila modal mereka sebesar Rp. 10 miliar, maka zakatnya sebesar Rp. 250 juta pertahun. Kalau dirata-ratakan saja atau diasumsikan memiliki modal perniagaan sebesar Rp. 200 juta maka dana zakat sekitar Rp. 5 juta pertahun. Artinya dana zakat yang dikumpulkan sebesar 18.9 juta KK dikalikan dengan Rp. 5 juta didapatkan hasil total 94.5 trilyun. Bila dikurangi hak amilin (1/8 bagian) sebesar Rp.11.8 trilyun maka masih ada Rp. 82.7 trilyun yang dapat digunakan pada mustahik dalan berbagai sektor. Bandingkan dengan anngaran pendidkan pada tahun 2004 hanya sebesar Rp. 11 trilyun, anggaran pemberdayaan ekonomi lemah hanya Rp.1 trilyun. Ini berarti zakat bukan hanya merupakan solusi tepat melainkan ajaran yang harus dipertahankan dan dikembangkan.
Tetapi realitas yang didapatkan dimasyarakat jauh dari asumsi tersebut. Potensi zakat yang begitu besar hanya mampu dikumpulkan sekitar 7 trilyun saja pertahun, jauh melebihi harapan kita. Tengoklah parameter lembaga zakat di Indonesia,  diantaranya, dari BAZIS DKI dan Baznas. BAZIS DKI merupakan lembaga terbesar. Tahun 1997 saja BAZIS DKI mampu menghimpun dana sekitar Rp 10 miliar, meski belakangan menyurut. Sedang Baznas merupakan bayi sehat karena lahirnya di-SK-kan oleh Gus Dur saat menjabat Presiden RI.
        Dari lembaga yang diciftakan oleh masyarakat, hadir seluruh LAZ besar seperti DD (Dompet Dhuafa) Republika, PKPU (Pos Keadilan Peduli Umat), Rumah Zakat DSUQ (Dompet Sosial Umul Quro) Bandung dan YDSF (Yayasan Dana Sosial Al Fallah) Surabaya. Bila diukur dari perolehan dana, untuk tahun 2002 saja, DD telah menghimpun dana lebih Rp 20 miliar. Sementara PKPU menghimpun Rp 6,7 miliar, DSUQ Rp 5 miliar dan YDSF Rp 6 miliar.
Kiranya, optimalisasi inilah yang menjadi tugas utama kita semua akan zakat, infak dan sadaqah di Indonesia. Kita harus menganalisa mengapa potensi besar ini tidak tercapaikan sesuai dengan harapan. Bagaimana fungsi dan peran institusi zakat dalam mengoptimalkan ini, regulasi yang ada, dan paradigma masyarakat sendiri mengenai zis tersebut.

Otoritas Negara: Empiris Teruji
Kata-kata yang pernah diucapkan oleh Imam Malik rahimahullah diatas bukanlah suatu kata bijak atau kata-kata mutiara yang diucapkan oleh cendikiawan muslim, melainkan mengandung sebuah ungkapan pengajaran kepada umat Islam akan eksistensi keberadaannya. Beliau rahimahullah, paham betul akan kondisi dan sejarah Islam dahulu, pada saat beliau hidup, masa datang. Pengajaran yang ditekankan beliau dalam perkataannya adalah contoh (action) yang pernah dilakukan oleh orang-orang terbaik.
Jika ditempatkan perkataan itu pada konteks zakat, maka semua orang pun tahu bahwa zakat adalah konsep yang diaplikasikan oleh negara. Zakat adalah dikelola oleh negara. Keberhasilan dan kesuksesan zakat dikelola oleh negara telah berlangsung mulai dari Nabi Muhammad saw sampai hancurnya kerajaan Islam (Turki Usmani) dan tak terbantahkan. Yang pasti kita selaku umat Islam dalam pengelolaan zakat mempunyai contoh, suri tauladan (copy), bahwa zakat dikelola oleh negara.  Kita belum mempunyai contoh (tidak ada empiris) bahwa zakat dikelola oleh swasta (masyarakat). Kita tidak mempunyai model akan hal ini. Untuk itu kita berarti harus bekerja keras dan menggali pikiran dengan dalam bagaimana pengelolaan zakat dalam swasta dimana peran pemerintah tidak mendukung secaa penuh.
Yang jelas implikasi dari pengelolaan zakat oleh negara menjadi paksaan (coercive) ketimbang phisikologis keimanan, tentu keefektifan lembaga akan terpenuhi.


Institusi Zakat di Indonesia
Institusi zakat di Indonesia terbilang menjamur. Setiap lembaga dakwah, daerah, dan perusahaan-perusahaan telah berlomba mengelola dana umat ini. Lihat saja persebaran baitul maal saja di Nusantara ini yang begitu banyak sampai berjumlah 2938 buah dan pada mukernas Forum Zakat 2003 ada 58 BAZ dan 35 LAZ, dan masih banyak lagi yang tidak terhitung.
Persebaran Baitulmaal di Indonesia
No. Propinsi Jumlah BMT No provinsi Jumlah bmt
1 D.I Aceh 50 15 Nusa Tenggara Barat 93
2 Sumatera Utara 156 16 Nusa Tenggara Timur 8
3 Sumatera Barat 60 17 Kalimantan Barat 15
4 Riau 65 18 Kalimantan Selatan 17
5 Jambi 12 19 Kalimantan Timur 24
6 Bengkulu 20 20 Kalimantan Tengah 15
7 Sumatera Selatan 65 21 Sulawesi Utara 62
8 Lampung 40 22 Sulawesi Tengah 11
9 DKI Jakarta 165 23 Sulawesi Tenggara 23
10 Jawa Barat 637 24 Sulawesi Selatan 175
11 Jawa Tengah 513 25 Maluku 20
12 D.I  Yogyakarta 65 26 Irian Jaya 12
13 Jawa Timur 600 Jumlah 2938
14 Bali 15

Lalu apa yang menjadi kendala dan hambatan sehingga lembaga zis dan ziswaf tersebut jauh dari harapan yang diinginkan. Hal ini bisa dapat dilihat dari beberapa faktor berikut ini:
  Profesionalisme lembaga zakat yang masih dipertanyakan.Banyak lembaga zakat yang tidak bekerja secara profesionalisme baik dalam pengumpulan dan penyaluran zis dan ziswaf atau dalam transparansi kegiatan yang dilakukan. Sifat amanah yang dimiliki lembaga zakatpun memang perlu mendapat perhatian.
   Berkaitan dengan profesionalisme terkait erat dengan standar dari BAZ/LAZ dan baitulmaal tersebut. Selama ini tidak ada standar baku akan kinerja lembaga zakat. Masing-masing lembaga zakat mempunyai standar yang berbeda. Unutk itulah perlunya tercipta standar tersebut melalui sebuah forum yang resmi secara nasional katakan seperti Forum Zakat atau Institut tertentu.
Berkaitan dengan standar tersebut,  mungkin perlu ditekankan pada beberapa aspek berikut ini:
1. Pendidikan dan Pelatihan seperti Pelatihan Fikih dan Manajemen zakat, pelatihan strategi fundraising zis, public relation, akuntansi dan manajemen keuangan lembaga zakat, pelatihan calon pemimpin lembaga zakat, strategi pendayagunaan, pelatihan institusional building, supervisor program/proyek, analisa dan monitoring program, dan total quality manajemen lembaga zakat.
2. Jasa Konsultasi meliputi pendirian dan lembaga zakat, kompilasi(penyusunan laporan keuangan), Penyusunan Sistem Informasi Manajemen (SIM), Komputerisasi Sistem Informasi,Pengembangan Program dan  Penyusunan Panduan Kebijakan Pengelolaan ZIS yang sesuai syari'ah Islam
3. Riset terdiri atas Pengkajian aspek syari'ah dalam pengelolaan ZIS, Pengkajian kebijakan peraturan-peraturan pengelolaan zakat, Riset Pengembangan Produk
4. Publikasi seperti Penerbitan Buletin, Penerbitan Buku
Dengan memiliki skill tersebut diatas diharapkan lembaga zakat dapat bekerja dengan efektif dan efisien.
  Regulasi yang diterapkan oleh Pemerintah. Regulasi ini tentu mempengaruhi kinerja lembaga zakat baik mendukung maupun menghambat pergerakan lembaga zakat. Regulasi zakat ini sebenarnya telah diharapkan oleh masyarakat semenjak tahun 1950-an dan setelah 49 tahun baru ada regulasi zakat pertama di Indonesia dengan dikeluarkannya UU 38 tahun 1999. akan tetapi UU pertama yang diharapkan ini ternyata berjalan statis yang tidak mengakomodasi agar masyarakat gemar berzakat, termasuk sosialisasi dari UU tersebut.
UU tersebut seolah-olah tidak dibutuhkan oleh masyarakat. Logikanya, zakat yang merupakan perintah syara pun dilanggar apalagi dalam bentuk UU. Point lain dari UU tersebut adalah tidak adanya sanksi bagi muzakki yang tidak menunaikan zakat yang mungkin dilandasi oleh pemahaman masyarakat dan adanya PPKP (Pengurang Penghasilan Kena Pajak) yang dianggap seseorang itu membayar zakat dua kali. Uniknya lagi dari UU 38 tahun 1999, sanksi yang dikenakan bagi lembaga zakat  yang menyimpang.  Selain itu tidak adanya fit and proffer test terhadap BAZ tetapi dikenakan terhadap LAZ.
Untuk memperbaiki UU 38 tahun 1999 maka ditetapkanlah UU No. 17 tahun 2000 yang diberlakukan mulai tahun 2001 mengenai perubahan UU No. 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan. UU tersebut menjelaskan bahwa zakat atas penghasilan yang benar-benar dibayarkan pada Badan Amil Zakat dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak baik pada pribadi maupun badan atau institusi lain.
Tetap saja yang signifikansi dari sebuah Undang-Undang adalah sanksi hukum yang dikenakan ketika melanggar dan itulah yang tidak ada pada UU tentang zakat. Jadi, bisa dikatakan UU tersebut hanya sebagai himbauan saja.

Paradigma Masyarakat Muslim
Ketika paradigma atau pengetahuan yang dimiliki masyarakat sangat kurang maka pengaruh yang dihasilkan pun akan kurang. Paradigma terkait dengan keyakinan yang dimiliki yang dengan kata lain, ketika masyarakat memiliki iman dan tauhid yang benar maka apapun masalah dan kendala yang dihadapi dapat diatasi. Untuk itu paradigma yang terjadi pada masyarakat berkaitan dengan zakata adalah:
1. rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap kewajiban zakat
pemahaman yang kentara yang didapatkan dari masyarakat muslim di Indonesia adalah pemisahannya dan tidak kaffahnya mengenai ajaran Islam sendiri. Masyarakat muslim Indonesia lebih terpaku hanya kepada shalat saja dengan mengabaikan kewajiban zakat. Sedikit sekali dalam masyarakat pembahasan zakat ini diketengahkan ketimbang shalat. Pengajaran paradigma inilah yang perlu ditumbuhkan dan disosialisasikan kepada khalayak akan ajaran Islam sebenarnya, ajaran yang tidak setengah-setengah. Disinilah peran BAZ/LAZ mendekati para ulama dan ustadz akan eksistensi kewajiban zakat disamping shalat. Bukankah shalat dan zakat disebutkan berdampingan sebanyak 82 kali. Bahkan jauh dari itu adalah perdebatan mengenai kewajiban zakat diantara para pemikir yang membuat orang awam menjadio bingung dan ragu-ragu terhadap apa yang diusung kedua belah pihak.
2. Yang mengerti lebih banyak berdiskusi dan berwacana dari pada implementasi dan cenderung skeptis terhadap amil yang ada. “you see, in life, lots of people know what to do, but few people actually do what they know”. Mereka yang mengerti zakat lebih banyak berdiskusi mencari format BAZ/LAZ yang ideal (wawasan intelektual) tanpa sosialisasi langsung kepada masyarakat luas.
3. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengelola zakat.
Hal in tentu persepsi yang ada pada masyarakat, kalau mengeluarkan zakat pada BAZ/LAZ  tidak disalurkan secara langsung. Mereka lebih percaya kepada amil yang ada di Masjid-masjid atau langsung memberikan kepada mustahik. Kemudian bagi kalangan rasional menilai BAZ/LAZ tidak professional.
4. Banyaknya lembaga zis yang beroperasi
5. Kualitas baz/laz yang sangat beragam (belum adanya standarisasi amil xakat)
6. Rendahnya transparasi pengelolaan zakat oleh baz/laz
7. Belum adanya succes story pemberdayaan zakat (mustahik berubah menjadi muzakki)
8. Belum adanya kerjasama baz/laz yang luat walaupun sudah ada Forum Zakat

Pemberdayaan Dana ZIS
Katakan total dana zakat pertahun yang dikumpulkan oleh lembaga zakat di Indonesia mencapai 7 trilyun. Kalau diperbandingan dengan potensi zakat yang diasumsikan oleh Djamal Do’a (sebesar 94.5 trilyun). Berarti lembaga zakat hanya mampu mengumpulkan sebesar 7%. Angka yang sangat jauh dari potensi. Hal ini tentu saja berimbas kepada pemberdayaan dana zakat tersebut. Beberapa faktor yang perlu kita perhatikan pada masalah ini:
  Belum terkoordinasikannya penyaluran zakat (distribusi) yang efisien dan efektif. Lagi-lagi kita berbicara standar yang mana belum ada. Sehingga setiap lembaga zakat mempunyai alur yang berbeda dengan lembaga lain.
  Fikih prioritas. Lembaga zakat harus mengenal fikih prioritas dari para mustahik zakat. Hal ini perlu karena disebabkan terbatasnya dana zakat yang dikumpulkan. Dari beberapa laporan lembaga zakat yang diamati seperti PKPU pada tahun 2002 total dana yang dihimpun ziawaf dan sebagainya sebesar      Rp.8.139.400.926,85 dimana dialokasikan terbesar pada bahan pangan sebesar Rp. 1.106.897.108,00 sedangkan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat sebesar Rp. 203.753.763,79. kemudian Dompet Dhu’afa Republika pada lapoan keuangan Sya’ban 1424 H yang berhasil mengumpulkan sebesar Rp.22.569.670.503 dimana terdistribusikan Rp. 1.648.535.715 pada bantuan kemanusia, Rp. 4.375.308.777 pada biaya investasi, biaya operasional dan pembelian aktiva tetap) sedangkan kegiatan ekonomi sebesar Rp. 76 juta. Mengapa hal ini terjadi? Permasalahannya adalah dana yang dikumpulkan sedikit, selain itu dana-dana itu telah dibatasi penggunaannya (misalkan pada bantuan kemanusian). Dan yang lebih mendasar lagi lembaga zakat harus memperhatikan tingkat maslahah dan dharuriyat dari penyaluran dana tersebut. Manakah yang didahulukan penyaluran kepada masyarakat miskin atau pemberdayaan ekonomi (padahal sebelum melakukan pemberdayaan ekonomi, mustahik tersebut lebih mengutamakan bagaimana survival hidupnya dan keluarganya dahulu). Manakah yang didahulukan korban bencana tsunami (yang sudah pasti banyak yang tidak mempunyai harta benda lagi) atau memberdayakan ekonomi masyarakat pesisir pantai, menyalurkan kepada orang yang terjerat hutang dengan sangat atau mengembangkan community development suatu kelompok ditengah-tengah dana yang terbatas. Jadi lembaga zakat pun harus mengetengahkan mana dharuriyyat, haajiyat dan tahsiniyyat.
  terkait dengan tadi, sekarang ini seolah-olah ada disorientasi distribusi zakat (pengamatan penulis), dimana lembaga zakat lebih mengedepankan penyaluran kepada hal-hal yang produktif, yang bersifat pengembangan ekonomi (atau singkatnya lebih mementingankan long run oriented ketimbang short run oriented, sekali lagi ditengah dana terbatas dan priritas-prioritas utama yang menyangkut hidup). Artinya community economy development bersifat long run berjalan (itupun kalau dan bahkan sampai pada pembimbingan) sementara diwilayah lain banyak KK yang mencuri untuk mempertahankan hidup, atau bahkan mengakhiri hidup, masuk kepada dunia kriminalitas, terjerumus pada prostitusi. Padahal lembaga zakat dalam sejarah menyalurkan dananya kepada fakir miskin dengan terus-menerus sampai kepada titik keseimbangan dalam hidup (artinya mandiri). Perhatikanlah bagaimana prioritas penyaluran dana umat pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Kesimpulan
Dalam hal ini penulis berupaya merangkum dari pembahasan diatas agar tercapai titik temu diantara berbagai hal dengan menggunakan kuadran.












Penjelasan:
Kuadran I (Paradigma masyarakat dan government political will yang positif)
Bukan mustahil sejarah Umar bin Abdul Aziz akan terulang. Zakat dikelola oleh negara didukung oleh pemahaman masyarakat yang sungguh akan efisien dan efektif. Dalam kondisi ini BAZ dan LAZ tidak ada (dieliminasi), yang ada hanyalah, katakana, Departemen Zakat dan Wakaf Republik Indonesia. Apakah pada saat itu pemerintahannya secara keseluruhan berbentuk pemerintahan Islam? Kita harapkan demikian, namun bukan menjadi necessary condition bagi pengelolaan zakat (sebagai sufficient condition).
Kuadran II (paradigma masyarakat positif, government political will negatif)
Pengembangan zakat dalam hal ini dikelola oleh swasta. Swasta sangat berperan dan dituntut berpikir dan bertindak secara professional. Lembaga zakat harus secara kontinyu menyuburkan pemahaman masyarakat. Akan tetapi, tentu peran itu akan terasa janggal dan terjadi ketimpangan dimana payung hukum dari pemerintah tidak mendukung atau tidak ada, maka peran lembaga zakat akan terkungkung dan ini mempengaruhi kinerjanya. Masalah yang akan timbul pula banyaknya lembaga zakat yang lahir akibat ‘market’ yang besar, sehingga bukan mustahil koordinasi tak terjalin dengan rapi. Untuk mencapai kuadran I, maka lembaga zakat swasta dan masyarakat harus terus-menerus menuntut pada negara agar zakat dikelola oleh negara.
Kuadran III (paradigma masyarakat dan government political will negatif)
Pada saat itu peran segelintir orang yang memahami zakat (ulama, lembaga zakat, praktisi dan mahasiswa) harus berdakwah dengan maksimal, bekerja keras, mengatur starategi yang mantap dan menetapkan target yang akan dicapai. Dari sisi politik, peran partai Islam sangat diharapkan dan perlu terus didorong untuk membuat keputusan negara mengatur zakat. Dari sisi sosial, ulama, praktisi dan akademi harus bekerja keras dengan ikhlas menyadarkan masyarakat akan kewajiban perintah syara. Inilah mungkin kondisi yang tepat pada Indonesia.
Kuadran IV (government political will positif dan paradigma masyrakat negatif)
Negara melalui otoritasnya dapat memaksa muzakki untuk berzakat. Bagi mustahik yang tidak membayar zakat maka akan mendapatkan hukuman yang keras. Dengan demikian optimalisasi zakat akan tercapai. Seiring dengan itu, peran lembaga zakat dan ulama sangat diharapkan untuk memberi pemahaman mengenai ajaran addien ini. Pertanyaan yang muncul apakah langsung dibawah negara atau hanya mencakup regulasi (mengenakan sangsi bagi yang tidak berzakat). Sekali lagi kondisi ideal adalah zakat dibawah dan diatur langsung oleh negara. Ketika regulasi mendukung dan zakat dibawah swasta, maka negara harus menetapkan aturan lembaga zakat seperti jumlah lembaga zakat swasta, akuntablitas lembaga zakat swasta, pertanggungjawaban lembaga zakat swasta dan lain sebagainya.

Kita bersama mengharapkan bahwa satu per satu perintah addien antara lain zakat dapat berperan dengan baik dan diaplikasikan oleh negara. Pemahaman masyarakatpun kian tumbuh seiring dengan penerapan beberapa segi syari’ah bahwa addien bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya melainkan mengatur interaksi social yang terjadi dalam titik-titik kehidupan. Bahwa segala hal selalu diperhatikan oleh addien ini. Mudah-mudahan bermanfa’at, dan mari kita bekerja sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.


Rujukan:

1. Al-qur’an dan Terjemahnya. Departemen Addien RI.1992
2. A.M. Fatwa, M. Djamal Do’a , Aries Mufti, Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi Alternatif. Blantika:Jakarta. 2004
3. Abdul Qadir Zallum, Sistem Keuangan di Negara khilafah. Pustaka Ihariqatul Izzah: Bogor. 2002
4. M. Nejatullah Siddiqi, Role of the state in the Economy: An Islamic Perspective. The Islamic Foundation: Leicester. 1996
5. April Purwanto, Risalah Zakat. Rumah Zakat Indonesia DSUQ
6. www. bmt-link.com
7. Eri Sudewo, Mengkritisi UU Zakat . www. pkpuonline.com dan www. republikaonline. co.id
8. Aries Mufti, Repleksi dan Proyeksi Ekonomi Islam, Munas IV FoSSEI 2004: UNPAD Bandung
9. www.imz.or.id
10. laporan keuangan PKPU tahun 2002 pada www.pkpuonline.com
11. Laporan keuangan Dompet Dhu’afa Republika
12. laporan keuangan BAZNAZ
13. H. M. Suharsono, Globalisasi Dan Modernisasi Zakat, Dulu dan Sekarang pada www.pkpuonline.com
14. Siti Arifah,  Konstitusi Negara Berbicara “Zakat Mengurang Penghasilan Kena Pajak” pada pkpuonline.com
15. Muhammad Shiddiq Al Jawi, Reinterpretasi Alokasi Zakat : Mengkaji Ulang Mekanisme Distribusi Zakat dalam Masyarakat Modern pada PEI-online.com
16. www.imz.or.id/prinsip-manajemen.htm




Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Lintas Umum

Baca juga yang ini :



0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.