BERITA HEBOH TERDAHSYAT ABAD INI :

Zakat dan Pembangunan Perekonomian Umat


Zakat dan Pembangunan Perekonomian Umat
Oleh :
Irfan Syauqi Beik, SP, MSc[1] dan Dr. Didin Hafidhuddin, MSc[2]


I.       Pendahuluan

Salah satu problematika mendasar yang saat ini tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah problematika kemiskinan. Berdasarkan data resmi, angka kemiskinan di negara kita mencapai 36 juta jiwa, atau sekitar 16,4 persen dari total penduduk Indonesia[3]. Sementara itu, angka pengangguran juga sangat tinggi, yaitu sekitar 28 juta jiwa, atau 12,7 persen dari total penduduk[4].
Fakta ini merupakan hal yang sangat ironis, mengingat Indonesia adalah sebuah negara yang dikaruniai kekayaan alam yang luar biasa hebatnya. Namun demikian, kondisi ini tidak termanfaatkan dengan baik, sehingga yang terjadi justru sebaliknya. Di mana-mana kita menyaksikan fenomena eksploitasi alam yang tidak terkendali. Hutan-hutan dibabat habis, sehingga menyebabkan kerugian negara yang mencapai 30 trilyun rupiah setiap tahunnya. Sumberdaya alam lainnya, seperti mineral dan barang tambang, juga tidak dapat dioptimalkan pemanfaatannya bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Yang terjadi adalah, semua kekayaan tersebut, terkonsentrasi di tangan segelintir kelompok sehingga menciptakan kesenjangan yang luar biasa besarnya. Padahal, Allah SWT telah mengingatkan bahwa pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang adalah perbuatan yang sangat dibenci-Nya. Akibatnya adalah munculnya kesenjangan yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat kita.
Hal yang tidak kalah menyedihkan adalah bahwa kesenjangan ini telah menyebabkan terjadinya proses perubahan budaya bangsa yang sangat signifikan, dari bangsa yang berbudaya ramah, suka bergotong royong, dan saling toleransi, menjadi bangsa yang hedonis, kasar, pemarah, dan melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Yang kaya semakin arogan dengan kekayaannya, sementara yang miskin semakin terpuruk dalam kemiskinannya. Akibatnya, potensi konflik sosial menjadi sangat besar. Dan hal ini telah dibuktikan dengan beragamnya konflik sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, terutama dalam satu dasawarsa terakhir ini.  
Kondisi ini sesungguhnya merupakan potret dari kemiskinan struktural. Artinya, kemiskinan yang ada bukan disebabkan oleh lemahnya etos kerja, melainkan disebabkan oleh ketidakadilan sistem. Kemiskinan model ini sangat membahayakan kelangsungan hidup sebuah masyarakat, sehingga diperlukan adanya sebuah mekanisme yang mampu mengalirkan kekayaan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat mampu (the have) kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu (the have not).
Zakat, sebagai rukun Islam yang ketiga, merupakan instrumen utama dalam ajaran Islam, yang berfungsi sebagai distributor aliran kekayaan dari tangan the have kepada the have not. Ia merupakan institusi resmi yang diarahkan untuk menciptakan pemerataan dan keadilan bagi masyarakat, sehingga taraf kehidupan masyarakat dapat ditingkatkan.
Makalah ini mencoba untuk menguraikan analisis mengenai zakat dan peranannya di dalam mengembangkan perekonomian nasional. Adapun struktur penulisan makalah ini, di samping pendahuluan, juga mencakup makna dan hikmah zakat, urgensi zakat melalui lembaga (amil), analisis fungsi zakat dalam perspektif ekonomi, antara lain dengan menguraikan fungsi zakat sebagai distributor pendapatan dan kekayaan, sebagai stabilisator dalam perekonomian, dan sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat miskin. Kemudian makalah ini diakhiri dengan uraian tentang strategi pembangunan zakat di Indonesia.










II.    Makna dan Hikmah Zakat

Zakat adalah ibadah maaliyah ijtimaiyyah yang memiliki posisi yang penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat[5]. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun Islam, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai Hadits Nabi, sehingga keberadaannya dianggap ma`lum min addien bi adl-dlaurah atau diketahui secara tomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari ke-Islaman seseorang[6]. Di dalam Al-Quran terdapat kurang lebih 27 ayat yang mensejajarkan shalat dan kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata[7].
            Al-Quran menyatakan bahwa kesediaan berzakat dipandang sebagai indikator utama ketundukan seseorang terhadap ajaran Islam (QS. 9: 5 dan QS. 9: 11), ciri utama mukmin yang akan mendapatkan kebahagiaan hidup  (QS. 23: 4), ciri utama mukmin yang akan mendapat Rahmat dan pertolongan Allah SWT (QS. 9: 73 dan QS. 22: 40-41). Kesediaan berzakat dipandang pula sebagai orang yang selalu berkeinginan untuk membersihkan diri dan jiwanya dari berbagai sifat buruk seperti bakhil, egois, rakus, dan tamak, sekaligus berkeinginan untuk selalu membersihkan, mensucikan dan mengembangkan harta yang dimilikinya (QS. 9: 103 dan QS. 30: 39).
            Sebaliknya, ajaran Islam memberikan peringatan dan ancaman yang keras terhadap orang yang enggan mengeluarkan zakat. Di akhirat kelak, harta benda yang disimpan dan ditumpuk tanpa dikeluarkan zakatnya, akan berubah menjadi adzab bagi pemiliknya (QS. 9: 34-35). Sementara dalam kehidupan dunia sekarang, orang yang enggan berzakat, menurut beberapa buah Hadits Nabi, harta bendanya akan hancur, dan jika keengganan ini memassal, Allah SWT akan menurunkan berbagai adzab, seperti musim kemarau yang panjang. Atas dasar itu, sahabat Abdullah bin Mas`ud menyatakan bahwa orang-orang yang beriman diperintahkan untuk menegakkan salat dan mengeluarkan zakat. Siapa yang tidak berzakat, maka tidak ada shalat baginya. Rasulullah SAW pernah menghukum Tsa`labah yang enggan berzakat dengan isolasi yang berkepanjangan. Tak ada seorang sahabat pun yang mau berhubungan dengannya, meski hanya sekedar bertegur sapa. Khalifah Abu Bakar Shiddiq bertekad akan memerangi orang-orang yang mau shalat tetapi enggan berzakat[8]. Ketegasan sikap ini menunjukkan bahwa perbuatan meninggalkan zakat adalah suatu kedurhakaan, dan bila hal ini dibiarkan, maka akan memunculkan pelbagai kedurhakaan dan kemaksiatan yang lain[9].
            Kewajiban menunaikan zakat yang demikian tegas dan mutlak itu oleh karena di dalam ajaran Islam ini terkandung hikmah dan manfaat yang demikian besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan muzakki, mustahik, harta benda yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Hikmah dan manfaat tersebut, antara lain adalah :
Pertama, sebagai perwujudan iman kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kepedulian yang tinggi, menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus mengembangkan dan mensucikan harta yang dimiliki (QS. 9: 103, QS. 30:39, QS. 14: 7).
Kedua, karena zakat merupakan hak bagi mustahik, maka berfungsi untuk menolong, membantu dan membina mereka, terutama golongan fakir miskin, ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka ketika melihat golongan kaya yang berkecukupan hidupnya. Zakat, sesungguhnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif yang sifatnya sesaat, akan tetapi memberikan kecukupan dan kesejahteraan pada mereka, dengan cara menghilangkan atau memperkecil penyebab kehidupan mereka menjadi miskin dan menderita.
Ketiga, sebagai pilar jama`i antara kelompok aghniya yang berkecukupan hidupnya, dengan para mujahid yang waktunya sepenuhnya untuk berjuang di jalan Allah, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk berusaha bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya (QS. 2: 273).
Keempat, sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana pendidikan, kesehatan, maupun sosial ekonomi dan terlebih lagi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Kelima, untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, karena zakat tidak akan diterima dari harta yang didapatkan dengan cara yang bathil (Al-Hadits). Zakat mendorong pula umat Islam untuk menjadi muzakki yang sejahtera hidupnya.
         Keenam, dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang dikelola dengan baik, dimungkinkan membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan, atau yang dikenal dengan konsep economic growth with equity (AM Saefuddin, 1986). Monzer Kahf (1995) menyatakan bahwa zakat dan sistem pewarisan Islam cenderung kepada distribusi harta yang egaliter, dan bahwa sebagai akibat dari zakat, harta akan selalu beredar. Zakat, menurut Mustaq Ahmad, adalah sumber utama kas negara sekaligus merupakan soko guru dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan Al-Qur’an. Zakat akan mencegah terjadinya akumulasi harta pada satu tangan, dan pada saat yang sama mendorong manusia untuk melakukan investasi dan mempromosikan distribusi. Zakat juga merupakan institusi yang komprehensif untuk distribusi harta, karena hal ini menyangkut harta setiap muslim secara praktis, saat hartanya telah sampai atau melewati nishab. Akumulasi harta di tangan seseorang atau sekelompok orang kaya saja, secara tegas dilarang Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam QS. 59 : 7

قَالَ اللهُ تَعَالَى:... كَيْ لاَ يَكُوْنَ دُوْلَةً بَيْنَ الأَغْنَيَاءِ مِنْكُمْ ...{الحشر : 7}.

Artinya :
“…agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…”





III. Urgensi Zakat Melalui Lembaga (amil)

Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. At-Taubah ayat 60 :
قَالَ اللهُ تَعَالَى: إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِي سَبِيْلِ اللهِ وَاِبْنِ السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ. {التوبة : 60}.
Artinya:

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk dihatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah lagi Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana’

            Juga pada firman Allah SWT dalam QS. At-Taubah ayat 103 :
قَالَ اللهُ تَعَالَى: خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ. {التوبة : 103}.
Artinya :

‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui’.

            Dalam QS. 9 : 60 tersebut dikemukakan bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat (mustahik zakat) adalah orang-orang yang bertugas mengurus urusan zakat (‘amilina ‘alaiha). Sedangkan dalam QS. 9 : 103 dijelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Yang mengambil dan yang menjemput tersebut adalah para petugas (‘amil). Imam  Qurthubi[10] ketika menafsirkan ayat tersebut (QS. 9 : 60) menyatakan bahwa ‘amil itu adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam / pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari para muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.
            Karena itu, Rasulullah saw pernah mempekerjakan seorang pemuda dari suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah, untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim[11]. Pernah pula mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat[12]. Muaz bin Jabal pernah diutus Rasulullah saw pergi ke Yaman, di samping bertugas sebagai da’i (menjelaskan ajaran Islam secara umum), juga mempunyai tugas khusus menjadi amil zakat[13]. Demikian pula yang dilakukan oleh para khulafaur-rasyidin sesudahnya, mereka selalu mempunyai petugas khusus yang mengatur masalah zakat, baik pengambilan maupun pendistribusiannya. Diambilnya zakat dari muzakki (orang yang memiliki kewajiban berzakat) melalui amil zakat untuk kemudian disalurkan kepada mustahik, menunjukkan kewajiban zakat itu bukanlah semata-mata bersifat amal karitatif (kedermawanan), tetapi juga ia suatu kewajiban yang juga bersifat otoritatif (ijbari)[14].
            Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat, apalagi yang memiliki kekuatan hukum formal, akan memiliki beberapa keuntungan[15], antara lain :
Pertama : Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat. Kedua : untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki. Ketiga : Untuk mencapai efisien dan efektifitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat. Keempat : Untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang islami. Sebaliknya, jika zakat diserahkan langsung dari muzakki kepada mustahik, meskipun secara hukum syariah adalah sah, akan tetapi di samping akan terabaikannya hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat, akan sulit diwujudkan.



                                                                       
Keuntungan zakat melalui lembaga
 


Gambar 1. Keuntungan Zakat Melalui Lembaga (Amil)

            Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D / 291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Meskipun harus diakui bahwa dalam peraturan-peraturan tersebut masih banyak kekurangan yang sangat mendasar, misalnya tidak dijatuhkannya sanksi bagi muzakki yang melalaikan kewajibannya (tidak mau berzakat), akan tetapi undang-undang tersebut mendorong upaya pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat dan dipercaya oleh masyarakat.
            Dalam Bab II Pasal 5 undang-undang tersebut dikemukakan bahwa pengelolaan zakat bertujuan :
1.         Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama.
2.         Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
3.         Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
Dalam Bab III Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dikemukakan bahwa organisasi pengelola zakat terdiri dari dua jenis, yaitu Badan Amil Zakat (pasal 6) dan Lembaga Amil Zakat (pasal 7). Selanjutnya pada bab tentang sanksi (Bab VIII) dikemukakan pula bahwa setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar tentang zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris dan kafarat, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8, pasal 12 dan pasal 11 undang-undang tersebut, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan / atau denda sebanyak-banyaknya Rp 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah). Sanksi ini tentu dimaksudkan agar BAZ dan LAZ yang ada di negara kita menjadi pengelola zakat yang kuat, amanah, dan dipercaya oleh masyarakat, sehingga pada akhirnya masyarakat secara sadar dan sengaja akan menyerahkan zakatnya kepada lembaga pengelola zakat.



IV.  Zakat Dalam Perspektif Ekonomi

Zakat, di samping termasuk ke dalam kategori ibadah mahdlah, juga memiliki dimensi ekonomi. Bahkan, dalam perspektif ilmu ekonomi, zakat dapat pula dijadikan sebagai instrumen utama kebijakan fiskal. Meskipun sangat disayangkan, bahwa hingga saat ini belum ada satu negara Islam pun di dunia ini yang menjadikan zakat sebagai instrumen utama kebijakan fiskal.
Pada bagian ini, penulis bermaksud untuk menganalisis peran zakat dalam perspektif ekonomi. Paling tidak, ada 3 fungsi yang dimainkan oleh zakat, yaitu :
  1. Sebagai alat redistribusi pendapatan dan kekayaan;
  2. Sebagai stabilisator perekonomian; dan
  3. Sebagai instrumen pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dhuafa.

Secara bagan, ketiga peran tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut.

   
Gambar 2. Fungsi Zakat dalam Perspektif Ekonomi

 4.1. Redistribusi Pendapatan dan Kekayaan
Dalam QS Adz-Dzariyat (51) : 19, Allah SWT berfirman :
قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّآئِلِ وَالْمَحْرُوْمِ. {الذاريات : 19}.
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagiaan.”
           
Kemudian dalam ayat yang lain, yaitu QS Al-Ma’aarij (70) : 24-25, Allah SWT juga berfirman :
قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَالَّذِيْنَ فِيْ أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌ (24) لِّلسَّآئِلِ وَالْمَحْرُوْمِ (25). {المعارج : 24-25}.
“dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”.

Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa harta yang dimiliki oleh seorang muslim tidaklah bersifat absolut. Artinya, tidak ada kepemilikan aset kekayaan yang bersifat mutlak. Ada bagian / prosentase tertentu yang diatur oleh syariah sebagai milik orang lain, yaitu milik kelompok dhuafa.
Pernyataan Allah SWT yang menegaskan bahwa ada bagian tertentu dalam harta seseorang yang bukan merupakan miliknya, menunjukkan bahwa harta tersebut harus dialirkan dan didistribusikan kepada pihak lain, yaitu orang-orang yang membutuhkan. Sehingga hal tersebut perlu diatur dalam sebuah mekanisme redistribusi yang jelas. Zakat, dalam hal ini, berperan sebagai instrumen yang mengatur aliran redistribusi pendapatan dan kekayaan.
Persoalan redistribusi ini bukan merupakan persoalan yang sepele. Macetnya saluran distribusi kekayaan ini akan menyebabkan ketimpangan dan kesenjangan sosial. Bahkan, kesenjangan ini semakin meningkat tajam, terlebih lagi pada tiga dasawarsa terakhir, dimana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Ketimpangan ini tidak hanya terjadi pada struktur sosial masyarakat dalam sebuah negara, melainkan juga terjadi dalam lingkup yang lebih besar lagi, yaitu lingkup dunia internasional. Berdasarkan data yang ada, 15 persen penduduk dunia hidup dengan pendapatan per kapita per hari sebesar 70-80 dolar AS. Pada umumnya mereka hidup di negara-negara Barat. Sementara sisanya, yaitu sekitar 85 persen, harus terpaksa hidup dengan pendapatan per kapita per hari di bawah 5 dolar AS. Kebanyakan diantara mereka tinggal di wilayah negara-negara berkembang yang mayoritas muslim[16].
Kalau kita melihat data di negara kita, persoalan kesenjangan yang dihadapi pun tidak kalah besarnya. Segelintir konglomerasi bisnis, sebagai contoh, mampu menyumbang GNP (Gross National Product) Indonesia sebanyak 58 persen. Sementara BUMN sendiri hanya mampu menyumbang 24 persen GNP. Sisanya, yaitu sebesar 18 persen, disumbang oleh mayoritas pengusaha kecil dan menengah yang jumlahnya mencapai + 33 juta jiwa. Sehingga dengan data tersebut, adalah hal yang wajar jika kemudian kesenjangan sosial menimbulkan potensi konflik sosial yang besar.
Untuk itu, pelaksanaan kewajiban zakat merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Apalagi pengumpulan zakat di Indonesia masih terbilang sangat minim, yaitu sebesar 800 miliar rupiah, dari total potensi zakat yang mencapai 20 trilyun rupiah setiap tahunnya[17]. Untuk itu, kesungguhan dan kerja keras seluruh komponen bangsa masih sangat dibutuhkan, agar potensi zakat yang besar ini dapat tergali dan teroptimalkan dengan baik.
Dalam ajaran Islam, zakat adalah satu-satunya mekanisme teknis yang diungkap secara detil, yang memadukan aspek dimensi ibadah mahdlah dan dimensi ibadah sosial. Sebagai bukti antara lain kewajiban mengeluarkan zakat, kelompok penerima zakat, maupun prosentase yang harus dikeluarkan, telah diatur sedemikian lengkap oleh Islam, baik sebagaimana yang tertera dalam ayat-ayat Al-Quran maupun hadits Nabi. Tentu saja hal ini semakin memperkuat keyakinan bahwa zakat inilah solusi terhadap berbagai problematika ekonomi umat, terutama di dalam menghadapi persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial.
Sesungguhnya konsep zakat ini mirip dengan konsep transfer payment dalam teori ekonomi konvensional, meskipun tentu saja banyak perbedaan-perbedaan yang mendasar, baik dari segi filosofis, landasan hukum, hingga kepada masalah penyaluran dan pendayagunaan. Sebagai sebuah instrumen, tentu saja zakat membutuhkan infrastruktur yang memadai, baik dalam bentuk regulasi dan kebijakan, hingga bentuk lembaga dan teknis operasional yang bersifat detil. Namun demikian, penulis berkeyakinan, jika fungsi zakat sebagai instrumen bagi redistribusi pendapatan dan kekayaan berjalan dengan baik, maka persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial dapat direduksi.

4.2. Stabilisator Perekonomian
Dalam perspektif ekonomi, zakat dapat pula memainkan perannya sebagai stabilisator dalam perekonomian negara. Artinya, pengelolaan zakat yang baik dapat memberikan dampak terhadap stabilitas perekonomian.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kondisi perekonomian terkadang berada pada situasi booming maupun pada situasi depresi. Kondisi yang fluktuatif seperti ini tentu membutuhkan adanya suatu instrumen yang menjadi stabilisator, sehingga deviasi yang ditimbulkannya dapat diminimalisir.
Untuk menganalisa lebih lanjut, penulis menggunakan asumsi rumus zakat sebagai berikut :
                                    YZ = 2,5 % x GNP
dimana :
                        YZ = Pendapatan Zakat (secara nasional)

Angka 2,5% menunjukkan standar prosentase terkecil zakat dan merupakan prosentase yang dibebankan pada mayoritas jenis dan bidang pekerjaan dewasa ini. Berdasarkan rumus tersebut, maka besar kecilnya pendapatan zakat secara nasional bervariasi, tergantung pada besar kecilnya nilai GNP. Apabila perekonomian sedang mengalami booming, maka GNP-nya pun akan meningkat. Sebaliknya, pada kondisi depresi, nilai GNP pun akan mengalami penurunan.
Secara sederhana, kondisi tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut.

(i)                  Booming à GNP ↑ à YZ  ↑
(ii)                Depresi à GNP ↓ à YZ  ↓

Bagaimana zakat dapat berfungsi sebagai stabilisator? Untuk mempermudah jawabannya, marilah kita lihat contoh berikut.
Contoh :
Negara A berhasil mengumpulkan dana zakat sebanyak 20 trilyun rupiah pada saat kondisi perekonomian sedang mengalami booming. Dana yang terkumpul tersebut tidak seluruhnya didistribusikan. Katakanlah hanya 15 trilyun saja yang disalurkan, sementara sisanya sebanyak 5 trilyun rupiah disimpan pada rekening pemerintah. Hal ini dikarenakan jika pemerintah mendistribusikan seluruhnya, maka permintaan agregat akan semakin meningkat. Peningkatan permintaan agregat akan meningkatkan kondisi booming. Dengan menyimpan dana 5 trilyun ini maka kondisi perekonomian dapat dikendalikan.
Sementara itu, pada kondisi depresi, negara A hanya dapat mengumpulkan dana zakat sebesar 10 trilyun rupiah. Sedangkan kebutuhan negara agar perekonomian dapat relatif stabil adalah sebesar 15 trilyun rupiah. Untuk menutupi kekurangan tersebut, maka pemerintah dapat mengeluarkan dana zakat yang disimpan pada saat booming. Tujuannya agar daya beli masyarakat (permintaan agregat) dapat meningkat. Dengan demikian, perekonomian pun dapat kembali stabil.
Hal ini pun sejalan dengan kisah Nabi Yusuf AS ketika mengelola perekonomian Mesir yang mengalami kondisi booming dan depresi secara berturut-turut. Pada kisah tersebut digambarkan bagaimana pemerintah pada saat itu tidak membelanjakan seluruh dananya pada saat kondisi perekonomian dalam keadaan baik. Ada prosentase tertentu yang disimpan. Ketika kemarau panjang datang menghadang dan menimbulkan depresi ekonomi, pemerintah pun segera memanfaatkan dana simpanan tersebut untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat (QS 12 : 47-49).
Tentu saja, berdasarkan contoh tersebut, pemerintah yang dalam hal ini bertindak sebagai ‘amil zakat, harus memiliki kemampuan di dalam menganalisis kebutuhan masyarakat secara tepat. Jangan sampai kesalahan analisa pemerintah memperburuk kondisi perekonomian secara makro.
Secara sederhana, contoh di atas dapat diilustrasikan dengan grafik berikut ini.

GNP
                     Booming
                      
                     

                                                
                                               Depresi
                                                              Waktu
Gambar 3. Grafik Zakat dalam Meminimalkan Deviasi Fluktuasi GNP

Pada grafik tersebut, kita bisa melihat bahwa deviasi akibat fluktuasi GNP pada setiap waktu, dapat diminimalisir oleh instrumen zakat. Zakat dapat lebih mendekatkan kondisi aktual perekonomian pada kondisi stabilitas yang dicita-citakan.

4.3. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat
Zakat memiliki peranan yang sangat strategis di dalam pembangunan masyarakat. Bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, pembangunan ekonomi yang terkait dengan sektor riil mendapatkan prioritas yang utama. Hal ini dimaksudkan agar angka pengangguran dapat dikurangi, dan lapangan serta kesempatan kerja dapat diperluas.
Pengembangan sektor riil menjadi agenda yang sangat penting, mengingat hal ini sangat erat kaitannya dengan daya saing kompetitif dan komparatif suatu bangsa. Ukuran produktivitas suatu bangsa dapat dilihat dari kemampuan sektor riil-nya di dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat.
Karena itu, kehadiran zakat di dalam proses pengembangan sektor riil menjadi isu sentral yang sangat menarik. Artinya, bagaimana amil zakat mampu secara kreatif mencari terobosan-terobosan pola pembiayaan sektor riil yang berbasis dana zakat.
Pada kesempatan ini, penulis bermaksud untuk menguraikan pola alternatif pendayagunaan dana zakat, terutama dalam kaitannya dengan pengembangan sektor riil. Secara sederhana, pola tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.



















 



















Gambar 4. Pola Pengembangan Sektor Riil Berbasis Dana Zakat

Dari bagan tersebut, kita bisa melihat alur proses pemberdayaan kaum dhuafa, dimana dana zakat yang ada mampu merehabilitasi kondisi mereka, sehingga terjadi perubahan status, dari mustahik menjadi muzakki. Keberhasilan mencapai tujuan rehabilitasi tersebut sangat bergantung pada tingkat kepercayaan dan profesionalitas amil.
Bagan tersebut diawali dengan pengumpulan dana zakat oleh amil, yang dilanjutkan dengan upaya amil di dalam menyalurkan dana tersebut untuk diinvestasikan pada sektor usaha produktif. Dalam memilih jenis usaha, amil haruslah jeli di dalam melihat potensi yang dimiliki mustahik dan potensi lingkungan yang ada. Kemudian ia pun harus mampu menganalisa peluang pasar yang mungkin timbul.
Posisi mustahik dalam hal ini adalah sebagai pemilik sekaligus pekerja. Tujuannya adalah agar potensi mereka dapat terberdayakan, sehingga mengubah taraf hidup mereka. Selanjutnya, amil harus mampu memberikan bimbingan dan supervisi kepada para mustahik, baik dalam proses produksi, manajemen, hingga proses pemasarannya.
Apabila ternyata amil tidak mampu menjalankan fungsi tersebut dikarenakan faktor tertentu, seperti keterbatasan personel yang dimiliki, maka amil dapat bekerjasama dengan lembaga keuangan syariah, seperti bank syariah, untuk menitipkan dana zakat beserta pengelolaannya. Setelah proyek usaha tersebut berjalan dan menghasilkan profit, maka para mustahik haruslah menjadi pihak pertama yang mendapatkannya. Profit tersebut dibagikan berdasarkan prosentase kepemilikan masing-masing mustahik.
Demikian proses ini berjalan secara kontinyu. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah terjadinya proses rehabilitasi para mustahik. Maksudnya, kondisi kehidupan mustahik harus dapat terangkat, sehingga diharapkan nantinya mereka dapat menjadi muzakki.



V.     Strategi Pembangunan Zakat Di Indonesia

Berbicara mengenai pembangunan zakat di Indonesia, tentu tidak lepas dari strategi pokok yang menunjang agar pembangunan tersebut berjalan dengan baik dan sesuai dengan harapan. Ada beberapa langkah, yang menurut penulis, dapat dilakukan dalam rangka proses akselerasi pembangunan zakat di Indonesia. Langkah-langkah tersebut adalah :
Pertama, optimalisasi sosialisasi zakat. Perlu disadari bahwa zakat membutuhkan sosialisasi yang lebih mendalam. Harus diakui bahwa pada satu sisi, kesadaran masyarakat untuk berzakat semakin meningkat dari waktu ke waktu, namun pada sisi yang lain, antara potensi dana zakat dengan realisasi pengumpulannya terdapat gap yang sangat besar. Untuk itu, sosialisasi menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditawar lagi.
Salah satu bentuk sosialisasi adalah dengan melakukan kampanye sadar zakat secara terus menerus. Seluruh komponen bangsa, mulai dari presiden, diminta untuk turut berpartisipasi dalam kampanye ini dengan memberi contoh membayar zakat. Bahkan, untuk mengefektifkan kampanye ini, Presiden dan seluruh Kabinet Indonesia Bersatu dihimbau untuk segera memiliki NPWZ (Nomor Pokok Wajib Zakat), sebagai bukti keterlibatan mereka di dalam mendukung sosialisasi zakat ini.
Koordinasi dan kerjasama dengan simpul-simpul masyarakat, baik itu para ulama, ormas-ormas Islam, cendekiawan, maupun masyarakat awam, harus lebih diperkuat. Berbagai sarana dan media komunikasi, mulai dari khutbah Jumat, pengajian rutin, majelis taklim, hingga media massa, harus dapat dimanfaatkan secara optimal dalam sosialisasi zakat ini. Diharapkan kesadaran masyarakat akan semakin tumbuh dan berkembang.
Kedua, membangun citra lembaga zakat yang amanah dan profesional. Hal ini sangat penting untuk dilakukan mengingat saat ini telah terjadi krisis kepercayaan antar sesama komponen masyarakat. Pembangunan citra ini merupakan hal yang sangat fundamental. Citra yang kuat dan baik, akan menggiring masyarakat yang terkategorikan sebagai muzakki untuk mau menyalurkan dana zakatnya melalui amil. Sebaliknya buruknya pencitraan, hanya akan mengakibatkan rendahnya partisipasi muzakki untuk menyalurkan dananya melalui lembaga amil. Dengan demikian, pencitraan amil ini merupakan hal yang sangat strategis.
Akuntabilitas, transparansi, dan corporate culture merupakan tiga hal pokok yang menentukan citra lembaga yang amanah dan profesional. Harus disadari bahwa profesi amil ini bukan merupakan profesi sampingan yang dikerjakan dengan tenaga dan waktu sisa. Ia membutuhkan komitmen dan kesungguhan di dalam prakteknya. Profesi amil telah tumbuh menjadi profesi baru dalam dunia bisnis dan industri. Sehingga tidaklah mengherankan jika profesi amil dewasa ini menuntut profesionalitas dalam prakteknya. Saat ini bukan zamannya lagi untuk mengelola zakat secara asal-asalan, sebab tujuan zakat untuk mengentaskan kemiskinan tidak akan pernah mungkin tercapai bila zakat tersebut tidak dikelola secara profesional dan transparan.
Ketiga, adalah membangun sumberdaya manusia (SDM) yang siap untuk berjuang dalam mengembangkan zakat di Indonesia. Pada kesempatan ini, penulis mengusulkan agar dibentuk Akademi Ilmu Zakat (AIZ) sebagai sentra utama dalam mencetak SDM-SDM yang siap menjadi praktisi pengelola zakat. AIZ ini sebaiknya dikelola secara terpusat oleh BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional RI). Model AIZ ini adalah seperti model STAN yang berada di bawah naungan Departemen Keuangan maupun sekolah-sekolah tinggi yang berada di bawah naungan departemen-departemen lainnya. AIZ ini, sesuai dengan namanya, menawarkan program diploma yang para alumninya akan disalurkan untuk bekerja pada institusi-institusi zakat, seperti BAZNAS, BAZDA, maupun LAZ-LAZ yang telah ada.
Keempat, memperbaiki dan menyempurnakan perangkat peraturan tentang zakat di Indonesia, termasuk merevisi Undang-Undang No. 38/1999. Hal ini sangat penting mengingat UU tersebut merupakan landasan legal formal bagi pengelolaan zakat secara nasional. Kelima, membangun database mustahik dan muzakki secara nasional, sehingga diketahui peta persebarannya secara tepat. Indikator seseorang apakah terkategorikan sebagai mustahik ataupun muzakki juga harus diatur secara jelas, tepat, dan disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Keenam, menciptakan standarisasi mekanisme kerja BAZ dan LAZ sebagai parameter kinerja kedua lembaga tersebut. Selama ini belum ada standar baku dalam prakteknya. Untuk itu, hal ini telah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak agar masyarakat memiliki ukuran yang jelas di dalam mengontrol pengelolaan zakat di tanah air. Kemudian standarisasi tersebut juga dimaksudkan sebagai indikator transparansi dan akuntabilitas institusi zakat.
Ketujuh, membangun sistem zakat nasional yang mandiri dan profesional. Ini adalah ultimate goal yang harus menjadi target kita bersama. Sistem yang diharapkan adalah sistem yang dibangun di atas enam landasan yang telah penulis uraikan sebelumnya. Secara sederhana, langkah-langkah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.         

   



Gambar 5. Strategi Pembangunan Zakat di Indonesia



VI. Penutup

Perkembangan pengelolaan zakat dalam satu dasawarsa ini telah menunjukkan hal yang sangat menggembirakan. Pengelolaan zakat yang dulunya dilaksanakan secara tradisional dengan zakat fitrah sebagai sumber utamanya, kini telah mengalami perubahan yang signifikan. Sumber-sumber zakat dalam perekonomian modern dewasa ini semakin bervariasi. Pengelolaan zakat pun menuntut profesionalisme dan tanggung jawab lebih.
Zakat pun kini semakin menunjukkan perannya yang semakin strategis. Bahkan, zakat telah dianggap sebagai solusi atas permasalahan utama yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, yaitu kemiskinan dan kesenjangan sosial. Untuk itu, dibutuhkan komitmen kuat dari semua pihak untuk menyukseskan pembangunan zakat di tanah air.
Penulis pun berkeyakinan bahwa dengan strategi yang telah penulis paparkan sebelumnya, zakat di Indonesia akan semakin tumbuh, berkembang, dan mampu memenuhi harapan kita semua. Semoga. Wallahu’alam bi ash shawab.


[1] Dosen Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB
[2] Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Republik Indonesia
[3] Data Biro Pusat Statistika (BPS) 2004
[4] Data Biro Pusat Statistika (BPS) 2002
[5] Yusuf Qardlawi. Al-Ibadah Fi Al-Islam, 1993. h 235
[6] Ali Yafie. Menggagas Fiqh Sosial, 1994. h 231
[7] Yusuf Qardlawi. Fiqh Zakat, 1991. h 42
[8] Wahbah Zuhaily. Al Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, 1989. h 734
[9] Zainal Muttaqin. Kewajiban Menjadi Muzakki, 1997. h 2
[10] Al-Qurthubi. Al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, 1993. Jilid 7-8, h. 112-113.
[11] ibid, h. 113.
[12] ibid, h. 113.
[13] Ismail Al-Kahlani al-Shan’ani. Subulus-Salaam. juz. 2, h. 120.
[14] Abdurrahman Qadir. Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, 1998. h. 85.
[15] ibid, h. 87.
[16] Data IRTI (Islamic Research and Training Institute) Islamic Development Bank, 2004.
[17] Data BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) 2004.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Lintas Umum

Baca juga yang ini :



0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.