BERITA HEBOH TERDAHSYAT ABAD INI :

IMPLEMENTASI ZAKAT PROFESI


IMPLEMENTASI ZAKAT PROFESI
 SEBAGAI INSTRUMEN PENEKAN LAJU KEMISKINAN DI INDONESIA

Dua setengah persen terlalu kecil nilainya untuk adzab Allah yang sangat pedih sebagai ancaman bagi orang yang enggan menunaikan kewajiban zakat. Sementara dua setengah persen sangat besar manfaatnya untuk meringankan beban derita kaum Dhuafa yang tak kunjung reda.

A. PROLOG
Potensi Indonesia sebagai negara agraris dan mempunyai lahan pertanian yang luas, angka kemiskinan tersebut semestinya akan tetapi terlepas dari itu tingkat kemiskinanpun kian hari terus bertambah. Akar kemiskinan berasal dari struktural atau manusia itu sendiri. Penyebabnya, dapat berasal dari kejahatan manusia terhadap alam, ketidakpedulian dan kebakhilan kelompok kaya, sebagian manusia bersikap dzalim, eksploitatis dan menindas sebagian manusia yang lain. Selain itu juga karena konsentrasi kekuatan politik, birokasi dan ekonomi di satu tangan. Terakhir, karena gejolak eksternal seperti bencana alam atau peperangan sehingga orang yang semula kaya berubah menjadi miskin.
Terbukti pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin tercatat 35,1 juta jiwa atau 15,97 persen dari total penduduk di Indonesia. Angka tersebut terus bertambah pada tahun 2006, mencapai 39,05 juta jiwa atau sekitar 17,75 persen. Persoalan kemiskinan tampaknya masih akan menjadi permasalahan serius bagi masa depan bangsa ini, meski angka pertumbuhan ekonomi indonesia tahun ini mengalami peningkatan. Tingginya harga minyak dunia, diperkirakan juga akan membebani anggaran negara pada tahun 2008 dan berpotensi menurunkan daya beli masyarakat.
Kemiskinan berevolusi menimbulkan permasalahan baru menjalar di berbagai bidang. Di bidang kesehatan, kemiskinan bertanggungjawab pada munculnya pemukiman-pemukiman kumuh dengan standar di bawah ketentuan minimal hidup sehat dan sejahtera. Di bidang stabilitas nasional, kemiskinan merupakan biang dari berbagai tindak kriminalitas yang terjadi di masyarakat.
 Terlepas dari pertumbuhan ekonomi yang signifikan, sementara kemiskinan yang terus bertambah seringkali diikuti oleh masalah pengangguran. Pengangguran masih menjadi salah satu masalah terbesar dalam perekonomian nasional. Presiden SBY dalam pidato awal tahun 2007 secara jujur mengakui bahwa pengangguran adalah salah satu dari tiga masalah mendasar bangsa ini selain kemiskinan dan besarnya utang pemerintah (Republika, 1/2/2007).
Masalah pengangguran adalah salah satu potret paling kelabu dalam proses pemulihan ekonomi nasional pasca krisis 1997. Seiring pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, jumlah pengangguran tidak pernah berkurang, bahkan ikut meningkat. Sepanjang 2001-2006, ketika pertumbuhan ekonomi menguat dari 3,8 persen menjadi 5,5 persen, pada saat yang sama pengangguran bertambah 620 ribu orang setiap tahun.
Hal ini secara jelas menyiratkan lemahnya kualitas pertumbuhan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja. Pertumbuhan yang tidak ramah lapangan kerja ini merupakan hasil dari kombinasi pertumbuhan tinggi di sektor padat modal dan gelembung di sektor finansial (bubble economy). Selain berimplikasi pada masalah pengangguran dan kemiskinan, fenomena ini juga sekaligus berimplikasi pada semakin lebarnya kesenjangan struktural di mana sebagian besar penduduk tidak mampu mengambil manfaat dari pertumbuhan yang tinggi.
Dari permasalahan yang kompleks ini, kami mencoba menganalisis tentang kebijakan pemerintah dalam menangani masalah kemiskinan, pengangguran dan besarnya utang pemerintah. Adakah kebijakan atau program yang tepat untuk mengatasi hal tersebut?. Melihat potensi Indonesia sebagai negara agraris dan mempunyai lahan pertanian yang luas, angka kemiskinan tersebut semestinya dapat dikurangi. Dalam pembahasan ini kami coba memfokuskan pada instrument syariah  yakni zakat profesi. Sumber dana zakat dapat dijadikan sebagai solusi yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan kemiskinan. (http://prasetya.brawijaya.ac.id/okt06.html).

B. SEKILAS TENTANG ZAKAT PROFESI
Zakat profesi adalah zakat yang dikenakan kepada penghasilan para pekerja karena profesinya. Akan tetapi, pekerja profesi mempunyai pengertian yang luas, karena semua orang bekerja dengan kemampuannya, yang dengan kata lain mereka bekerja karena profesinya.
Di dalam kamus bahasa Indonesia, disebutkan bahwa: profesi adalah bidang pekerjaaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejujuran dan sebaginya) tertentu. Professional adalah yang bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khususuntuk menjalankannya.
Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara mudah, melalui suatu keahlian tertentu. Zakat Profesi (Penghasilan) adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil profesi seseorang, baik dokter, aristek, notaris, ulama/da'i, karyawan guru dan lain-lain.
Dari definisi diatas ada point-point yang perlu digaris bawahi berkaitan dengan profesi yang dimaksud, yaitu: 1. Jenis usahanya halal; 2. Menghasilkan uang relative banyak; 3. Diperoleh dengan cara yang mudah; 4. Melalui suatu keahlian tertentu. Dari kriteria tersebut dapat diuraikan jenis-jenis usaha yang berhubungan dengan profesi seseorang.
Apabila ditinjau dari bentuknya, usaha profesi tersebut bisa berupa: a. Usaha fisik, seperti pegawai dan artis. b. Usaha pikiran, seperti konsultan, desainer dan dokter. c. Usaha kedudukan, seperti komisi dan tunjangan jabatan. d. Usaha modal, seperti investasi. Sedangkan apabila ditinjau dari hasil usahanya profesi bisa berupa: 1. Hasil yang teratur dan pasti, baik setiap bulan, minggu atau hari; seperti upah pekerja dan gaji pegawai. 2. Hasil yang tidak tetap dan tidak dapat diperkirakan secara pasti; seperti kontraktor, pengacara, royalty pengarang, konsultan dan artis.
Hal tersebut didasarkan pada firman Allah SWT:
             
“ Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. “ (Al-Baqarah: 267)
Firman Allah SWT:
       
“dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak dapat bahagian". (QS. Adz-Dzaariyaat (51): 19)
Hadist Nabi SAW: "Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak harta itu".(HR. AL Bazar dan Baehaqi)
Hasil dari profesi (pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, notaris, wiraswasta, dll) merupakan sumber pendapatan (kasab) yang tidak banyak dikenal di masa generasi terdahulu, oleh karenanya bentuk kasab ini tidak banyak dibahas, khususnya yang berkaitan dengan "zakat". Lain halnya dengan bentuk kasab yang lebih populer saat itu, seperti pertanian, peternakan dan perniagaan, mendapatkan porsi pembahasan yang sangat memadai dan detail. Meskipun demikian bukan berarti harta yang didapatkan dari hasil profesi tersebut bebas dari zakat, sebab zakat pada dasarnya/hakekatnya adalah pungutan harta yang diambil dari orang-orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin diantara mereka (sesuai dengan ketentuan syara').
Dengan demikian apabila seseorang dengan penghasilan profesinya ia menjadi kaya, maka wajib atas kekayaannya itu zakat, akan tetapi jika hasilnya tidak mencukupi kebutuhan hidup (dan keluarganya), maka ia menjadi mustahiq (penerima zakat). Sedang jika hasilnya hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan hidupnya, atau lebih sedikit maka baginya tidak wajib zakat. Kebutuhan hidup yang dimaksud adalah kebutuhan pokok, yakni, papan, sandang, pangan dan biaya yang diperlukan untuk menjalankan profesinya.
Zakat profesi memang tidak dikenal dalam khasanah keilmuan Islam, sedangkan hasil profesi yang berupa harta dapat dikategorikan ke dalam zakat harta (simpanan/kekayaan). Dengan demikian hasil profesi seseorang apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat maka wajib baginya untuk menunaikan zakat.

C. MEKANISME PENGHITUNGAN ZAKAT PROFESI
Dalam zakat profesi ada sedikitnya dua permasalahan yang disikapi berbeda menurut pandangan beberapa ulama. Pertama, penentuan nisab dan kadar zakat profesi. Mohammad Taufik Ridho di dalam bukunya Zakat Profesi dan Perusahaan yang diterbitkan oleh Institut Manajemen Zakat bekerja sama dengan BAMUIS BNI mengemukakan bahwa ada 4 pendapat dalam mengqiyaskan hukum untuk menentukan nisab dan tarif zakat profesi sebagaimana table berikut.
Kedua, cara menghitung zakat profesi apakah dari penghasilan netto atau bruto. Untuk cara yang pertama, untuk menentukan besarnya zakat profesi yang dikeluarkan pemilik harta terlebih dahulu mengurangi penghasilan yang mereka terima dengan kebutuhan pokok minimum pemilik harta tersebut. Ada beberapa versi dalam menentukan standar hidup minimal. Sekedar contoh, menurut Bank Dunia standar hidup minimal adalah $2 per jiwa perhari. Jika menggunakan cara yang kedua, begitu menerima penghasilan pemilik harta tersebut segera menentukan zakatnya tanpa menguranginya dengan kebutuhan pokok minimum.Berikut akan dijelaskan dengan ilustrasi
Perhitungan zakat profesi:
a. Iwan Darsawan adalah seorang karyawan swasta yang berdomisili di kota Bekasi, memiliki seorang istri dan 2 orang anak. Penghasilan bersih perbulan Rp. 1.500.000,-.
b. Bila kebutuhan pokok keluarga tersebut kurang lebih Rp. 625.000 per bulan maka kelebihan dari penghasilannya = (1.500.000 - 625.000) = Rp. 975.000 perbulan.
c. Apabila saldo rata-rata perbulan 975.000 maka jumlah kekayaan yang dapat dikumpulkan dalam kurun waktu satu tahun adalah Rp. 11.700.000 (lebih dari nishab).
d. Dengan demikian Iwan  berkewajiban membayar zakat sebesar 2.5% dari saldo.
e. Dalam hal ini zakat dapat dibayarkan setiap bulan sebesar 2.5% dari saldo bulanan atau 2.5 % dari saldo tahunan.
Perhitungan Zakat Pendapatan/Profesi
Nisab zakat pendapatan / profesi setara dengan nisab zakat tanaman dan buah-buahan sebesar 5 wasaq atau 652,8 kg gabah setara dengan 520 kg beras, kadar zakatnya sebesar 2,5 %. Waktu untuk mengeluarkan zakat profesi pada setiap kali menerima diqiyaskan dengan waktu pengeluaran zakat tanaman yaitu setiap kali panen. "Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya ( dengan dikeluar kan zakat nya ). ( QS : Al-An'am : 141 ).
Contoh perhitungan:
f. Nisab sebesar 520 kg beras, asumsi harga beras 2000 jadi nilai nisab sebesar 520 x 2000 = 1.400.000
g. Jumlah pendapatan perbulan Rp 2.000.000,-
h. Zakat atas pendapatan ( karena telah mencapai nisab ) 2,5 % x 2.000.000,- = 50.000,-
Sebagaimana mengacu pada 2 permasalahan di atas pula, ada yang berpendapat pula jika seseorang professional muda (belum menikah) memiliki total penghasilan Rp. 10.000.000,- per bulan dengan metode penghitungan pertama yakni penghasilan netto dengan asumsi kebutuhan pokok minimum professional muda tersebut adalah Rp. 2.500.000 per bulan, maka zakat yang harus dikeluarkan ditunjukkan sebagaimana tabel berikut:
1. Penghasilan netto = (Rp. 10.000.000 – Rp. 2.500.000)
= Rp. 7.500.000,- (wajib zakat karena telah melampaui nisab baik zakat pertanian maupun zakat emas (uang)
Zakat Profesi = Rp. 7.500.00 x 2,5 % = Rp. 375.000,00
dengan cara yang sama, zakat profesi untuk kategori (B) = Rp. 187.500,00, (C) = Rp. 187.500,00 dan (D) = Rp. 187.500,00
Keberagaman pendapat dalam menentukan zakat profesi yang dikemukakan oleh kalangan ulama identik dengan selalu adanya pilihan alternative, keringanan dan kemudahan dalam membayar zakat. Di tambah dengan berbagai fasilitas yang disediakan oleh Lembaga Pengelola Zakat baik BAZ maupun LAZ, membayar zakat menjadi mudah, praktis dan menyenangkan.

D. ZAKAT SEBAGAI INSTRUMEN PENGENTASAN KEMISKINAN
Potensi Zakat
Zakat sesungguhnya merupakan instrumen fiskal Islami yang sangat luar biasa potensinya. Jika digarap dengan baik, zakat bisa jadi sumber dana yang sangat besar untuk mendorong pemberdayaan ekonomi umat dan pemerataan pendapatan. Namun sayang, perhitungan potensi yang ada bersifat perkiraan kasar. Sebagian besar hanya mengacu pada perhitungan potensi minimal. Angka terkecil pernah dihitung Dompet Dhuafa sekitar Rp. 5.1 triliun. Sementara realisasi pengumpulan zakat masih jauh dari potensi yang ada.
Penulis mencoba menghitung potensi zakat dengan pendekatan yang lebih akurat. Dalam tulisan ini, yang dihitung hanya potensi salah satu zakat di Indonesia yakni zakat penghasilan/profesi. Pertimbangannya, jika bersumber dari penghasilan maka sifatnya akan rutin dan tetap. Penulis menggunakan data dari Badan Pusat Statistik antara lain, Sensus Penduduk, Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE).
Dari data-data tersebut, antara lain akan diperoleh angka persentase penduduk Muslim di Indonesia, jumlah pekerja, rata-rata penghasilan pekerja dan profesional, jumlah total penghasilan pekerja dan profesional serta pertumbuhan rata-rata penghasilannya. Penulis menggunakan perhitungan di mana jumlah potensi zakat dihitung dari perkalian antara nisab zakat penghasilan (2.5 persen), prosentase penduduk Muslim Indonesia dan total penghasilan pekerja yang nilai penghasilannya di atas nisab.
Dengan asumsi rasio penduduk jumlah Muslim (88%) sama dengan rasio tenaga kerja muslim di Indonesia, maka diketahui zakat penghasilan/profesi yang dapat digali dari tenaga kerja Muslim di Indonesia dalam satu tahun adalah sebesar Rp 12,274 triliun. Dipersempit pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) saja, maka terdapat potensi zakat Rp 249,8 milliar per tahun. Itu belum termasuk zakat dari anggota DPR/DPRD dan MPR dan eksekutif lainnya baik di pemerintahan maupun swasta yang penghasilannya beberapa kali lipat dari nisab.
Potensi zakat ini tentu akan bertambah besar bila dimasukkan pula zakat pertanian, perkebunan, kehutanan, harta terpendam, pertambangan, perdagangan, saham, infak, dan lainnya. Sumber dana tersebut melebihi anggaran APBN 2004 untuk subsektor kesejahteraan yang hanya mengalokasikan Rp 1,7 triliun, dan subsektor kesehatan sebesar Rp 5,3 triliun. Artinya, dengan potensi dana zakat sebesar Rp 12,3 triliun banyak yang bisa dilakukan untuk kesejahteraan umat. Asalkan, masih dalam koridor delapan kelompok yang berhak menerima zakat.
Namun, realisasi zakat sulit diketahui lantaran sebagian besar masih menyerahkan langsung zakatnya kepada mustahik. Survei PIRAC 2004 menunjukkan hanya 12,5 persen masyarakat Muslim menyalurkan zakatnya melalui lembaga resmi seperti Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat (LAZ) atau yayasan amal lainnya. Adapun data yang tercatat pada Departemen Agama, realisasi zakat tahun 2004 sebesar Rp 199,3 miliar. Artinya, hanya 1,6 persen dari potensi zakat yang bisa dikumpulkan.
Potensi Zakat dari pembahasan diatas tampak bahwa zakat memenuhi semua persyaratan pajak-pajak yang baik yaitu akuntabel, netral, memiliki basis pemungutan yang stabil dan kokoh, serta sederhana secara administrasi. Selain itu, zakat juga memiliki potensi yang besar jika dilaksanakan secara optimal. Bahkan potensi ini lebih besar dibandingkan penerimaan daerah dari pajak dan retribusi daerah yang ada. Karena itu zakat sangat layak untuk dipungut.
Bila di asumsi bahwa zakat diterapkan secara luas dengan tarif 5% untuk produk pertanian, 20% untuk barang tambang, dan 2,5% untuk basis secara umum, maka akan di dapatkan potensi zakat sebesar Rp 64,75 triliun di tahun 2001 dan Rp 71,24 triliun di tahun 2002. Angka ini sekitar 12 kali lebih besar dari PAD seluruh kabupaten/kota di Indonesia yang di tahun 2001 dan 2002 berturut-turut hanya mencapai Rp 5,23 triliun dan Rp 5,69 triliun. Jika kita terapkan asumsi minimal dimana cakupan zakat hanya mencapai 10 persen saja, kita tetap akan mendapatkan potensi zakat 1,25 kali lebih besar dari PAD seluruh Kabupaten/Kota. Jika kita bandingkan potensi zakat ini dengan penerimaan pajak dan retribusi daerah, maka perbandingan tadi akan melonjak menjadi 1,60. Dengan kata lain, penerimaan zakat mampu sepenuhnya menutup penerimaan pajak dan retribusi daerah. Maka dimungkinkan untuk menghapus pajak dan retribusi daerah jika penerapan zakat optimal. Bagi daerah-daerah yang potensi PAD-nya kecil, penerapan zakat menjadi sangat menjanjikan.
Salah satu contoh yang telah menerapkan zakat dan hasil yang memuaskan. Hal ini terjadi di Kabupaten Bulukumba yang telah menerapkan zakat berdasarkan Perda No. 2/2003 tentang Pengelolaan Zakat profesi, Infaq dan Shadaqah. Potensi zakat di daerah ini mencapai Rp 90 miliar, atau 9 kali lebih besar dari PAD-nya. Pemkab Bulukumba juga telah merencanakan untuk menghapus pajak dan retribusi daerah ketika penerimaan zakat telah optimal (Harian Fajar, 21/8/2004).
Pengelolahan Zakat
Hubungan antara zakat dan pemberdayaan masyarakat lemah harus memperhatikan hal-hal berikut:1)    apakah orang fakir-miskin yang diberi zakat itu, dengan sendirinya akan terentas dari kemiskinan; 2)    penyataan pertama itu perlu dipertegas agar mekanisme pengentasan kemiskinan tidak semata-mata ditafsirkan secara konseptual dengan hanya bersandar pada petunjuk-petunjuk nash, melainkan harus dijelaskan secara rasional, empirik, dan sistemik, sehingga pola pengentasan kemiskinan akan menjadi jelas dan terarah; 3)    perlu diidentifikasi problematika kemiskinan, apakah bercorak fungsional (misalnya dengan melihat penghasilan yang rendah) atau struktural (karena hambatan struktur atas, seperti penguasa dan pemilik modal yang tidak memberikan kesempatan pada si miskin untuk meningkatkan status sosial-ekonominya); ataukah 4)    dana bantuan zakat akan mampu memberdayakan para penerima zakat sehingga mereka menjadi tidak menerima zakat lagi, bahkan; bisa menjadi pemberi zakat?
Untuk membedah permasalahan-permasalahan di atas, perlu diajukan suatu konsep atau mekanisme kerja zakat produktif yang mampu memberdayakan dan menjadikan penerima zakat sebagai manusia mandiri dan produktif. Ini perlu dikaji sekaligus dicarikan solusi alternatifnya sehingga fungsi dan pelaksanaan zakat tidak terkesan hanya sebagai realisasi seremonial-keagamaan dan regulasi admisnistrasi belaka.
Untuk tujuan di atas, beberapa pemikiran dan langkah strategis yang perlu diperhatikan adalah: Pertama, dimulai dengan mencari “kebutuhan masyarakat” yang strategis. Dalam hal ini bukan sekedar kebutuhan obyektif untuk memenuhi kebutuhan pokok, namun dikembangkan menjadi seperangkat keahlian dasar yang mampu menopang masyarakat bawah untuk mandiri. Kedua, yang pertama itu dapat ditindaklanjuti dengan menerapkan program terpadu dengan cara melibatkan berbagai unsur masyarakat dalam satu kesatuan, atau dengan menerapkan pendekatan sistemik. Ketiga, penggunaan keterampilan dan teknologi tepat guna dan hemat guna perlu diperkenalkan pada masyarakat, terutama dalam pengelolaan zakat. Dengan demikian, dana zakat yang ditabung pada bank selama masa sebelum dibagikan pada yang berhak menerima (baik berupa deposito, giro wadiah, sertifikat suku bunga, qardh al-hasan, dan lainnya), oleh masyarakat dapat dibuat usaha-usaha produktif yang mampu menjadikan anggota-anggotanya menjadi mandiri. Keempat, partisipasi dari bawah, dalam arti bahwa ide atau program yang ditawarkan mendapat kesepakatan masyarakat lemah (mustadh’afūn) atau datang dari mr sendiri. Dengan demikian, program pengelolaan zakat misalnya, dapat dimengerti sekaligus diterapkan untuk memberdayakan masyarakatnya sendiri.

Refleksi ke Depan
1. Memperluas Cakupan Objek Zakat Yang Sesuai Dengan Kaidah Syari’ah
Pola pikir dan mentalitas umat Islam yang memandang zakat hanya sebatas kewajiban keagamaan yang berfungsi menyucikan jiwa (tazkiyyah al-nafs), perlu di rekonstruksi. Zakat harus dibumikan dan ditarik pada spektrum yang lebih luas; meliputi ranah sosial-kemasyarakatan dan dikembangkan dalam kerangka membe-rantas kemiskinan dan memberdayakan masyarakat ekonomi lemah.
Dr. Didin Hafiduddin mengatakan sumber zakat dalam Islam menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan ijmali/global segala macam harta yang dimiliki yang memenuhi persyaratan zakat, dengan pendekatan ini semua jenis harta yang belum ada dizaman Rasulullah, tetapi karena perkembangan ekonomi, menjadi benda yang bernilai, maka harus dikeluarkan zakatnya. Adapun pendekatan kedua yakni pendekatan tafshili/terinci, yaitu menjelaskan berbagai jenis harta yang apabila telah memenuhi persyaratan zakat, wajib dikeluarkan zakatnya (Dr. Didin Hafiduddin, Zakat dalam perekonomian modern)
2. Mengembangkan Harta Zakat Menjadi Usaha Produktif
Upaya mewujudkan keadilan sosial dan menghapus ketimpangan ekonomi melalui zakat, dapat ditempuh dengan cara mengadakan pelatihan, pengelolaan, dan bimbingan bagi masyarakat, sehingga pendayagunaannya menjadi lebih optimal, hemat guna, dan tepat guna. Upaya ini juga diharapkan mampu membangun empowerment (pemberdayaan) masyarakat, khususnya mereka yang lemah secara kultural maupun struktural, dengan cara menanamkan kesadaran dan meng-access seperangkat keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk mengatur, menga-rahkan, dan membimbing kehidupannya sendiri, sehingga pada akhirnya mereka menjadi masyarakat mandiri yang tidak selalu bergantung pada arahan dan bim-bingan negara (pemerintah).
Harta zakat yang selama ini dirasakan oleh mustahiq (penerima) zakat lebih bersifat konsumtif –karitatif, ia hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup jangka pendek, yang secara tidak disadari juga berpeluang menjadikan mustahiq zakat akan begitu bergantung dengan dana zakat, ini tentu akan menjadikan mereka selama-lamanya mustahiq zakat, padahal salah satu tujuan pemberian zakat kepada mereka, seperti apa yang dipahami oleh Umar bin Khaththab adalah agar mereka berubah menjadi muzakki (pembayar zakat), oleh karena itu perlu reaktualisasi pengelolaan dan menejemen zakat secara profesional, demikian pula dalam pendistribusian zakat, mustahiq zakat harus diberikan ‘makanan’ yang berjangka panjang, seperti pemberian bea siswa, dan lain-lain.
Simposium yayasan zakat internasional III, yang diselenggarakan di Kuwait pada tanggal 2 Desembar 1992 mengeluarkan fatwa bahwa harta zakat boleh diinvestasikan dengan syarat :
a. Harta tersebut tidak dibutuhkan segera
b. Investasi dilakukan dalam bidang yang legal
c. Ada jaminan bahwa modal investasi tetap sebagai uang zakat
d. Uang mudah dicairkan ketika mustahiq zakat sangat membutuhkan segera.
e. Ada jaminan bahwa usaha tersebut menguntungkan
Simposium juga memfatwakan bolehnya harta zakat untuk membangun proyek jasa seperti rumah sakit, perpustakaan, sekolah dan lain-lain dengan syarat:
a. Pihak yang mendapakan jasa tersebut adalah mustahiq zakat saja, sedangkan selain mereka hanya dibolehkan dengan dipungut biaya.
b. Modal tetap atas nama mustahiq, sekalipun bukan mereka yang mengelola langsung.
c. Bila proyek tersebut dijual maka hasilnya tetap berstatus uang zakat.
3. Mengoptimalkan Kerja Lembaga ‘Amil Zakat (LAZ)
Setidaknya ada 4 prinsip yang harus diperhatikan dalam pengelolaan zakat: 1) transparansi; 2) akuntabilitas; 3) otonomisasi; dan 4) desentralisasi. Keempat prinsip ini sangat penting karena akan menjadi indikator kuat terhadap sukses atau gagalnya pengelolaan dan pengembangan zakat produktif.
Dengan demikian, upaya memaksimalkan fungsi dan peran zakat dalam masyarakat dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan bottom-up yang aspirasi dan pengambilan keputusannya diserahkan pada masyarakat bersangkutan. Dari sini, keberadaan zakat diharapkan mampu menciptakan masyarakat emansipatorik yang mampu menyangga pembangunan Indonesia Baru seutuhnya, amien.


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Lintas Umum

Baca juga yang ini :



0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.